AGEN POKER TERPERCAYA.
Cerita Dewasa / Cerita Sex / Cerita ABG / Cerita Dewasa Hot / Cerita Dewasa SMA / Kumpulan Cerita Dewasa
Sekitar 2 tahun yang lalu aku dan Sherly pergi jalan jalan ke Disney
World USA, karena keuangan kami sedang menipis jadi kita berangkat
dengan pesawat kelas ekonomis sepakat untuk memilih Malaysia Airline
sebagai alat transportasi kesana karena saat itu juga ada harga diskon.
Kami berangkat dari jakarta pukul 7 pagi semua segala persiapan sudah
kami siapkan jauh jauh hari, sesuai jadwal kami transit selama satu jam
di kuala lumpur setelah itu langsung perjalanan menuju bandara di New
York lupa aku namanya bandaranya.
Tapi tak taunya sebelum sampai disana kita harus transit lagi 1
setengah jam di dubai arab, sempat ada rasa kesal karena sebelumnya
tidak ada pemberitahuannya, aku sempat menanyakan tempat transit mana
saja yang akan kami jalani pada perusahaan travel tempat kami memesan
tiket namun mereka mengatakan bahwa kami hanya transit satu kali di
Kuala Lumpur .
Aku sempat mengira kami telah salah naik pesawat karena persinggahan
pesawat kami di Dubai itu. Setelah mengetahui kapal yang kami naiki
benar-benar menuju ke New York , kami hanya pasrah saja.
Pemeriksaan yang bertele-tele di bandara Dubai sungguh melelahkan.
Kami harus mengantri sekitar 1 jam untuk melewati pemeriksaan bagasi
saja.
Setelah barang-barang bawaan kami melewati alat sensor, seorang
petugas menghampiri tas koper istri saya dan berseru dengan suara agak
keras untuk menanyakan siapa pemilik koper tersebut. Istri saya maju dan
mengatakan kepadanya bahwa tas itu miliknya.
Petugas tersebut memandangi Sherly cukup lama. Salah satu hal yang
paling kuingat dari wajahnya adalah kumis yang lebat seperti Pak Raden
dalam film si Unyil. Lalu ia membuka koper itu dan mulai mengacak-acak
isinya.
Isi koper itu hanyalah pakaian-pakaian dan peralatan kosmetik Sherly.
Tangan pria itu (sebut saja si Kumis) mengeluarkan satu kantong berisi
bubuk hitam dari dalam koper.
What is this? tanyanya dengan logat yang sulit dimengerti.
Sherly menjawab gugup, Coffee.
Alis si Kumis mengkerut. Matanya menatap tajam Sherly. Lalu ia
mengatakan beberapa kalimat yang sulit dipahami. Kemungkinan besar apa
yang ingin dikatakan si Kumis (dengan menggunakan bahasa inggris yang
sangat aneh) adalah membawa kopi dilarang.
Aku mendekati petugas itu dan menanyakan lebih jelas permasalahannya.
Si Kumis masih saja mengacak-acak koper itu seakan mencari sesuatu yang
hilang. Tanpa merapihkan isi koper itu lagi, ia menutupnya dan
memandang aku dengan wajah curiga.
Who are you? aku menduga ia mengucapkan kata-kata tersebut.
Im her husband. Whats the problem, sir?
Ia terus memandangi kami berdua secara bergantian. Ia memanggil dua
orang petugas lain di belakangnya dengan gerak isyarat. Lalu ia berkata,
Follow me!
Dua koper kami diangkat oleh salah satu opsir yang baru dipanggil si
Kumis sedang yang satunya lagi menggiring kami untuk mengikuti si Kumis.
Si Kumis berjalan dengan cepat masuk ke dalam ruangan tertutup di pojok
lorong tak jauh dari WC.
Ruangan yang tak lebih dari 3 x 3 meter itu sangat terang dan seluruh
temboknya dilapisi cermin setinggi 2 meter dari lantainya. Koper kami
dilemparkan dengan kasar ke atas meja di pinggir. Ketiga pria itu
(termasuk si Kumis) telah masuk ke dalam ruangan. Pria yang memiliki
brewok lebat menutup pintu lalu menguncinya.
Kami berdua berdiri terpaku di hadapan mereka bertiga. Aku merasa
cemas akan semua ini. Apa yang akan terjadi? Apa masalah yang begitu
besar sehingga kami harus diperiksa di ruangan terpisah?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang memenuhi pikiranku (mungkin
tak beda jauh dengan benak Sherly).
Baru saja aku ingin membuka mulut untuk menanyakan permasalahannya,
si Kumis mengatakan sesuatu yang tak jelas. Kata-kata yang dapat
tertangkap oleh telingaku hanyalah stand, wall (dan against setelah
berpikir beberapa detik untuk mencernanya). Menurut perkiraanku mereka
ingin kami berdiri menghadap tembok. Informasi ini kuteruskan ke Sherly
yang tidak mengerti sama sekali perkataan si Kumis.
Dengan enggan kami membalik badan kami menghadap tembok. Dari
pantulan cermin di depan kami, aku melihat si Brewok dan pria yang
satunya lagi yang berbadan lebih tegap (sebut saja si Tegap) menghampiri
kami. Telapak tangan kami ditempelkan di tembok (cermin) di depan kami
dan kaki kami direnggangkan dengan menendang telapak kaki kami agar
bergeser menjauh.
Si Brewok mulai memeriksa seluruh tubuhku. Dimulai dari atas dan
bergerak ke bawah. Pemeriksaan berlangsung cepat. Beberapa benda di
kantong baju dan celanaku dikeluarkan dan diletakkannya di meja
terpisah.
Sama halnya seperti yang terjadi pada diriku, si Tegap memeriksa
Sherly dari atas ke bawah. Sekilas aku melihat dari cermin, si Tegap
menggerayangi payudara Sherly walau hanya sebentar. Tak ada ekspresi yang berubah dari wajah Sherly.
Sejak tadi ekspresi yang terlihat hanyalah ekspresi kecemasan. Aku
menepis pemikiran bahwa si Tegap mencari kesempatan dalam kesempitan
pada tubuh istriku. Mungkin saja memang ia harus memeriksa bagian dada
Sherly, toh dadaku juga diperiksa oleh si Brewok, pikirku. Benda-benda juga dikeluarkan dari kantong jaket, baju dan celana
Sherly. Meja itu dipenuhi oleh uang receh, permen, sapu tangan dan
kertas-kertas tak berguna dari isi kantong kami berdua.
Kemudian setelah harus mencerna hampir lima kali kata-kata yang tak
jelas dari si Kumis (yang ternyata adalah atasan si Brewok dan si
Tegap), aku menyadari bahwa ia menyuruh kami untuk membuka pakaian kami.
Jantungku seperti berhenti berdetak. Sherly masih belum dapat
mengira-ngira perkataan si Kumis itu. Tanpa memberitahu istriku, aku mencoba untuk memprotes kepada si
Kumis. Namun si Kumis membentak, yang kuduga isinya (jika
diterjemahkan):
Jangan macam-macam! Cepat laksanakan! Beberapa kata yang dapat tertangkap jelas oleh telingaku adalah Donaplay dan Quick. Aku membisikkan kepada istriku keinginan si Kumis. Mata Sherly membesar dan mulutnya terbuka sedikit karena kaget.
Si Tegap dan si Brewok sudah berdiri di samping kami dan mengawasi
kami dengan pandangan tajam. Aku melirik ke pinggang si Brewok.
Pandanganku tertumpu pada pistol yang menggantung di pinggang tersebut.
Perasaan takut sudah menguasai diriku. Aku mulai melepaskan pakaianku
dari sweater, kemeja, kaos dan celana panjang. Pada saat aku melepaskan
kemejaku, Sherly masih belum beranjak untuk melepaskan pakaiannya.
Karena takut istriku dilukai, aku memberi pandangan isyarat kepadanya
agar ia segera melepaskan pakaiannya.
Akhirnya dengan berat hati ia melepaskannya satu per satu. Jaket,
kemeja, kaos dalam dan terakhir celana jeansnya. Kami berdua berdiri
hanya dengan pakaian dalam kami.
Si Kumis berkata sesuatu yang sama sekali tidak dapat kumengerti.
Detik berikutnya si Tegap menarik tangan Sherly dan membawanya ke sisi
tembok yang bersebelahan dengan tembok di hadapan kami. Tangan si Brewok
menahanku ketika aku hendak mengikuti Sherly. Dona move! katanya
kepadaku dengan sangat jelas.
Aku masih dapat melihat Sherly (dari bayangan di tembok cermin)
berdiri tak jauh di sebelah kananku. Ia menghadap tembok namun pada sisi
yang berbeda dengan tembokku.
Lalu si Brewok menarik tanganku agar kedua telapak tanganku menempel
di tembok cermin dan merenggangkan kakiku. Si Tegap melakukan hal yang
sama pula terhadap Sherly.
Si Brewok yang berdiri di belakangku, meraba-raba bagian tubuhku yang
ditutupi oleh celana dalamku, mencari-cari sesuatu untuk ditemukan.
Setelah itu sambil menggelengkan kepalanya, ia mengatakan sesuatu kepada
si Kumis.
Pada saat itulah aku melihat tangan si Tegap menggerayangi tubuh
Sherly. Dengan jelas aku melihat tangannya meremas payudara Sherly
selama beberapa detik.
Tangannya bergerak ke bagian bawah tubuh Sherly. Kemudian si Tegap
berjongkok di belakang Sherly dan aku tak dapat lagi melihat apa yang
dikerjakannya setelah itu. Sherly memejamkan matanya. Alisnya sedikit
mengkerut.
Selama sekitar 20 detik, aku tak berani memalingkan wajahku untuk
melihat apa yang dikerjakan si Tegap pada istriku. Lalu ia berdiri dan
berkata pelan kepada si Kumis (lagi-lagi aku tak dapat menangkap
kata-kata yang diucapkan mereka).
Si Kumis berkata-kata lagi diikuti dengan ditariknya celana dalamku
ke bawah oleh si Brewok. Belum sempat kaget, aku mendengar Sherly
menjerit kecil. Rupanya celana dalamnya sudah ditarik ke bawah sampai ke
lututnya, sama seperti yang dilakukan si Brewok terhadap celana
dalamku.
Setelah itu si Tegap meraih kaitan di belakang BH Sherly dan
melepaskannya dengan cepat. Si Tegap meraih BH itu dan menariknya satu
kali dengan keras sehingga lepas dari tubuh Sherly.
Secepat kilat Sherly menutupi kedua dadanya. Aku pun menutupi
kemaluanku. Kami berdua berdiri tegang. Si Kumis berjalan perlahan
menghampiriku lalu bergerak ke arah Sherly. Untuk beberapa saat ia hanya
berdiri dan memperhatikan tubuh istriku.
Aku rasa, Sherly mulai akan menangis. Si Kumis memberi isyarat kepada
si Tegap. Lalu si Tegap menghampiriku dan berdiri menantang di
sampingku. Aku hanya melirik sekali dan mendapati wajahnya berubah
menjadi lebih kejam tiga kali lipat.
Sambil mengatakan sesuatu, si Kumis mendorong pentungan hitam (yang
biasa dibawa oleh polisi) yang dipegangnya ke arah tangan Sherly yang
menutupi buah dadanya. Aku dapat melihat istriku menjatuhkan kedua
tangannya ke sisi tubuhnya. Si Kumis kembali memandangi Sherly dan kali
ini pandangannya terkonsentrasi ke arah payudara istriku.
Hampir semenit penuh ia memandangi tubuh Sherly. Sherly hanya memejamkan matanya, mungkin karena takut (atau malu?).
Dengan menggunakan pentungan hitamnya itu, si Kumis menurunkan celana
dalam Sherly dari lutut sampai ke mata kakinya. Lalu ia memaksa Sherly
untuk merenggangkan kakinya sehingga mau tak mau ia melangkah keluar
dari celana dalamnya.
Pada saat si Kumis mulai menggerayangi payudara istriku, aku
beringsut dari tempatku untuk mencegahnya. Namun bukan aku yang mencegah
perbuatan si Kumis, si Tegap dibantu oleh si Brewok menahan tubuhku
untuk tetap berdiri di tempat.
Aku meneriaki si Kumis untuk menghentikan perbuatannya. Teriakanku
disambut dengan tamparan keras pada pipi kananku. Aku merasakan rasa
asin yang kutahu berasal dari darah yang mengalir dalam mulutku.
Akhirnya aku hanya berdiri dan berdiam diri.
Tak beberapa lama setelah itu, si Kumis berjongkok di depan Sherly
sehingga aku tak dapat melihat apa yang dilakukannya. Dari sudut
pandangku, aku hanya dapat melihat dari bayangan di cermin bagian
belakang tubuh si Kumis yang sedang berjongkok di antara kedua paha
Sherly.
Tidak terdengar suara apa pun selain suara detak jantungku yang
semakin keras dan cepat. Sherly tetap memejamkan matanya dengan alis
sedikit mengkerut, sama seperti tadi.
Sherly tidak mengeluarkan sepatah kata pun sejak tadi masuk ke dalam
ruangan itu. Istriku memang agak penakut dan kurang berani mengungkapkan
pendapatnya pada orang lain. Walaupun demikian, aku agak heran dengan
sikap istriku saat itu yang tidak memprotes sedikit pun atas perbuatan
si Kumis terhadap dirinya.
Atau mungkin saja si Kumis tidak melakukan apa-apa saat itu, batinku.
Setelah lima menit berlalu dalam keheningan, tiba-tiba istriku mengeluh
(lebih menyerupai mendesah), Aku melirik ke arahnya dan mendapati ia
tidak lagi menutup matanya. Matanya agak membelalak dan mulutnya terbuka
sedikit.
Setelah itu, si Kumis berdiri dan menghampiri si Tegap. Ia memberi
isyarat dengan tangannya kepada si Tegap dan si Brewok untuk
meninggalkan ruangan itu.
Aku yakin (sangat yakin, untuk lebih tepatnya) bahwa aku melihat
beberapa jari si Kumis mengkilap karena basah. Hanya dengan melihat hal
itu, cukup bagiku untuk menduga apa yang telah dilakukan si Kumis
terhadap istriku.
Si Kumis berkata-kata kepada kami. Kali ini aku yakin ia
mengatakannya dalam bahasa inggris. Walau aku hanya dapat menangkap
sepenggal kalimat (may pass), namun aku yakin bahwa ia menyuruh kami
mengenakan kembali pakaian kami dan memperbolehkan kami untuk
melanjutkan perjalanan kami. Awalnya aku tak mempercayai pendengaranku (dan tafsiranku terhadap
kata-katanya). Namun setelah mereka keluar dari ruangan itu dan
meninggalkan kami berdua saja, aku semakin yakin.
Aku menyuruh Sherly untuk mengenakan pakaiannya secepat mungkin. Dan ia mulai menangis terisak-isak sambil mengenakan pakaiannya. Setelah selesai mengenakan seluruh pakaian kami, aku memeluk istriku yang masih menangis. Dalam pelukanku tangisannya semakin menjadi. Aku hanya mengelus-elus rambutnya dan menenangkan hatinya dengan mengatakan bahwa semua itu sudah berakhir.
Sesampai kami di hotel (di Orlando), Sherly akhirnya menceritakan apa
yang diperbuat si Kumis terhadap dirinya. Ia bercerita bahwa sambil
menjilati klitorisnya, si Kumis menggesek-gesekkan jarinya ke kemaluan
istriku. Pada akhirnya si Kumis memasukkan satu dua jarinya ke dalam
liang kewanitaannya lalu mengocoknya beberapa kali.
Sherly mengatakan bahwa dirinya merasa jijik atas perbuatan si Kumis.
Setelah beberapa saat, aku menanyakan padanya apakah ia terangsang saat
itu. Mendengar pertanyaan itu, Sherly langsung mencak-mencak dan
mengambek. Dalam rajukannya, ia menanyakan kenapa aku berpikiran seperti
itu.
Aku mengungkapkan bahwa aku melihat jari-jari si Kumis basah pada
saat ia menghampiriku sebelum keluar dari ruangan itu. Sherly menjawab
bahwa jari-jari itu basah karena terkena ludah dari lidah yang menjilati
klitorisnya. Karena tak mau melihat dirinya merajuk lagi, akhirnya aku
menerima penjelasannya dan meminta maaf karena telah berpikiran seperti
itu.
Sebenarnya di dalam otak, logikaku terus berputar. Bagaimana mungkin
ludah si Kumis dapat membasahi sepanjang jari-jarinya itu, pikirku.
Dalam hatiku yang terdalam sebenarnya aku tahu bahwa jari-jari si Kumis
bukan basah oleh ludah melainkan oleh cairan yang meleleh dari kemaluan
istriku. Namun aku menepis pendapatku itu dan tidak berniat membahasnya lagi
dengan Sherly agar kami dapat menikmati sisa waktu kami di Amerika itu.
No comments:
Post a Comment