AGEN POKER
Cerita Dewasa / Cerita Sex / Cerita ABG / Cerita Dewasa Hot / Cerita Dewasa SMA / Kumpulan Cerita Dewasa
Nabila meloncat dari ranjangnya dengan wajah kaget. Jam di samping
ranjang menunjukkan Pukul 07.30, Nabila khawatir mereka akan
ditinggalkan oleh rombongan yang berangkat pukul 09.00 waktu setempat
dengan tepat. Bagaimana tidak, sejak kemaren sore mereka bermain
gila-gilaan hingga semalam suntuk, mungkin ini sebuah pemanasan yang
berlebihan untuk bulan madu mereka yang tertunda.
Namun Nabila terpaksa
sedikit lebih lama menyabuni tubuhnya, setiap bagian tubuhnya terasa
lengket, entah oleh keringat mungkin juga karena cairan mereka yang
menghambur keluar. Nabila tersenyum sendiri saat teringat aksinya tadi
malam, dirinya berhasil meyakinkan Bandi suaminya bahwa sperma yang
mengalir keluar dari vaginanya adalah milik Pak Regar dan disebabkan
keadaan yang sangat memaksa. Busa sabun yang menutupi sebagian kulitnya
membuat tubuh itu semakin eksotis, baru kali ini dia merasa bangga
ketika Pak Regar memuji tubuhnya dan mencumbunya dengan sangat bernafsu.
Padahal sebelumnya dirinya selalu jijik jika pria itu memandangi nya
dengan penuh nafsu. Nabila berdecak kagum dihadapan cermin kamar
mandinya, dibiarkannya shower manyapu busa sabun yang tersisa. Jika
suaminya memang mengizinkannya untuk bersenang-senang pada liburan
nanti, lalu kenapa dia harus menahan diri untuk mencari kesenangan,
begitulah yang ada di otak Nabila saat ini. Air shower yang hangat
membuatnya betah untuk berlama-lama melihat tubuh telanjangnya dialiri
air yang menciptakan sungai-sungai kecil, mengalir disela bukit
payudaranya yang membusung dan akhirnya menyelusup keselangkangannya.
Komentar apa yang akan keluar dari bibir teman-teman suaminya itu jika
dirinya membiarkan tubuhnya ditelanjangi oleh pandangan mereka. Adakah
kekaguman bila dirinya membiarkan payudaranya tersenggol oleh ulah
mereka yang usil? Adakah celoteh-celoteh nakal yang terlontar bila
dirinya membiarkan selangkangannya diintip oleh mata nakal mereka?.
Oohhh,,, tampaknya Nabila sangat ingin menikmati petualang-petualangan
yang mendebarkan. Tapi Nabila kemudian mendesah panjang, tidak mungkin
semua itu terjadi, dia adalah seorang istri yang baik-baik dari suami
yang baik-baik pula. Biarlah kegilaan yang kemarin menjadi intermezzo
dalam kehidupannya yang takkan terulang lagi.
“Dok,dok,dok,,,”
“Sayang, buka dong pintunya, bisa telat nih kita,” teriak Bandi, yang
bergegas masuk kedalam kamar mandi setelah dibukakan pintu oleh Nabila.
######################
Bandi hanya bisa tersenyum kecut, ketika kedatangannya disambut oleh
ocehan Darto dan Hanif. Tapi setidaknya pria itu bisa bernafas lega
karena bis wisata yang mereka carter belum datang. Bandi menurunkan
istrinya beserta tas dan koper dan memarkir mobil di basemen gedung.
Setelah meyakinkan tidak ada yang tertinggal dimobil, Bandi bergegas
untuk berkumpul dengan teman-temannya. Dari kejauhan Bandi melihat
Nabila sedang asik berbincang dengan Zahra dan Bu Sofia tepat didepan
pintu masuk kantor. sementara disamping mereka Rahadi bersama istrinya
Anjani yang masih sangat muda sedang bercengkrama dengan Shita, rupanya
diam-diam Rahadi mencoba menjalin keakraban antara Anjani dengan Shita.
Tak jauh dari mereka, Pak Tama, Hanif dan Darto asik mengisap rokok
mild mereka, tapi yang membuat Bandi jengah adalah tatapan ketiga cowok
itu yang tak pernah lepas dari tubuh para wanita, khususnya Nabila yang
mengenakan celana jeans ketat selutut dipadu kaos lengan panjang yang
cukup kebesaran untuk tubuh rampingnya. Sambil berjalan mendekati Aida,
Istri Hanif yang duduk terpisah disamping gedung, Bandi mengeluarkan
rokoknya. Aida mencoba tersenyum ketika melihat Bandi mendekat namun
kemudian kembali asik dengan telpon celuler yang dipegangnya.
Bandi
mencoba menilai-nilai wanita disampingnya, Hanif sering bercerita
tentang istrinya yang pemalu dan agak kuper dalam bersosialisasi. Tak
heran jika dirinya menyendiri agak jauh dari yang lain. Namun yang
membuat Bandi terkesima adalah dandanan Aida yang sedikit nakal dari
yang biasa dikenakannya. Rok putih lebar yang sangat pendek dipadu kaos
merah menyala tanpa lengan yang ngepres dibadannya.
“Kostum yang bagus untuk liburan,” seru Bandi sambil menyulutkan api ke rokoknya.
Aida langsung mengangkat kepalanya, dengan wajah memerah Aida mencoba
mengapitkan kedua lengannya untuk melindungi dadanya yang menjadi
pemandangan indah bagi Bandi, tapi payudara itu justru semakin
membusung.
Bandi yang ikut kikuk karena komentarnya sendiri tertangkap basah melototi dada istri temannya itu.
“Kamu semakin terlihat cantik dengan baju itu, dan aku rasa liburan
ini akan semakin menarik dengan kehadiranmu,” ucap Bandi berusaha
membuat suasana lebih santai.
Wajah wanita berkacamata dengan lesung pipit dikedua pipinya itu
semakin memerah, namun apa yang diucapkan Bandi membuatnya sedikit
rileks.
“suami ku yang memilihkan baju-baju ini, karena tidak ingin dirinya malu dihadapan teman-teman,” kata Aida jujur.
“Hei, apakah itu gambar mu,” sela Bandi ketika melihat sebuah gambar
kecil dengan pose yang menantang di sebuah laman jejaring sosial pada HP
yang tengah dipegang Aida.
Aida sontak tertawa dan dengan cepat menyembunyikan HP nya kedalam tas,
“Hahaha,,, kamu ga boleh melihat ini”.
“Lalu siapa yang berhak, ayolah,,, sepertinya banyak sekali komentar
yang kau kumpulkan untuk gambar itu, pasti gambar itu benar-benar
menarik minat para lelaki,” seloroh Bandi penasaran.
“Tidak juga, hanya beberapa gambar request dari beberapa teman yang
tidak pernah aku kenal,” jawab Aida dengan sedikit ragu menyerahkan HP
nya ke telapak tangan Bandi.
Dengan cepat Bandi menyambut, dan dengan cepat pula decak kagum
mengalir dari mulutnya seiring jempolnya yang mengekplorasi beberapa
gambar menantang lainnya.
“Aku ga percaya, kau dapat berubah menjadi begitu menggairahkan,
lihatlah ratusan komentar yang kau dapat, sepertinya kau benar-benar
memikat mereka,” ucap Bandi ketika mendapati sebuah gambar yang begitu
menantang, tubuh montok dengan rambut yang masih basah dan hanya
mengenakan handuk.
“Mungkin,,, tapi dalam dunia nyata aku tetap saja menjadi seorang
pecundang, dan tidak akan pernah mampu menyaingi istri mu atau bu Zahra
yang selalu menjadi pusat perhatian, dan begitu mudah bergaul dengan
siapa saja.” lirih wanita berkacamata itu.
“Dan kau dapat melihat sendiri, hanya didunia maya aku berani
berekspresi, karena disitu tidak seorang pun yang mengenal jati diriku
sebenarnya,”
Ada nada kecewa akan keterbatasan yang dimilikinya sebagai wanita
desa yang dipinang oleh perjaka Kota dan harus bergaul dengan
istri-istri suaminya yang selalu tampil modis dan percaya diri. Tepat
seperti yang diceritakan Hanif, Hanif sendiri sudah ribuan kali berusaha
membangkitkan kepercayaan diri istrinya itu.
“Aku tidak melihat satupun cacat pada diri mu yang dapat membuat mu
malu, bahkan bibir mungil dipadu dengan lesung pipit yang manis, dan
mata lentik berhias kacamata yang manis itu dapat membuat para lelaki
tergila-gila pada mu, yaa,, seperti aku ini,,”
Aida terkekeh, “Hahaha,,, kamu bisa saja, lelaki mana yang melirik
wanita yang sudah beranak satu ini, bahkan suami ku pun kini sudah
jarang memuji, apalagi sampai memuji tubuh yang sudah mulai berantakan
setelah melahirkan,”
“O, ya? Maaf, bolehkah aku meminta mu untuk berdiri sebentar,”
Dengan ragu-ragu Aida mengikuti permintaan pria yang sempat beberapa kali diajak oleh Hanif untuk bertamu ke rumah mereka.
“Eemmmhhh,,, bisakah kamu berdiri agak tegak, yaaa,, mungkin kamu
dapat sedikit membusungkan dada mu, yaa begitu,,”
Bandi terus memberi
intruksi, matanya tak melihat adanya gumpalan lemak pada perut yang
ramping itu, bahkan bukan hanya payudaranya saja yang menggairahkan,
kakinya yang membunting padi dengan pangkal paha yang sekal membuat
gairah Bandi semakin menggelitik. Namun mata nakal Bandi agak kesulitan
untuk mengamati pantat yang terbalut rok dengan lipatan-lipatan lebar.
Tampaknya Hanif berhasil menyulap istrinya untuk liburan ini. Seakan
mempersiapkan istrinya untuk disantap. Sebuah perubahan yang sempurna
dari seorang gadis desa menjadi seorang wanita yang menggairahkan, hanya
saja yang menjadi kendala adalah rasa percaya dirinya yang bermasalah.
“Bila kamu berdiri seperti itu, mungkin tidak akan yang mengira bila
kamu sudah memiliki satu anak, dan ku rasa dada mu tidak kalah dengan
istri ku, bahkan lebih besar,”
Walau birahinya bergejolak saat menyaksikan dengan bebas bagaimana
wanita yang sangat pemalu itu membusungkan payudaranya yang terbilang
besar dan masih kencang, namun Bandi berusaha membuat suaranya setenang
mungkin. Entah bagaimana, gairahsex.com obrolan yang awalnya kaku itu
semakin mencair bahkan lebih terbuka. Aida merasa senang dengan pujian
yang dilontarkan Bandi. percaya dirinya menyeruak dengan malu-malu.
Matanya berkali-kali memergoki pria disampingnya itu memandangi
payudaranya berlama-lama dengan binar kagum.
“Aku berani bertaruh, aku dapat membuat mu memiliki percaya diri dan
menjadi pusat perhatian pada liburan ini, asalkan kamu mengikuti saran
yang ku berikan,” ucap Bandi setelah Aida kembali duduk disampingnya.
Jarak mereka yang cukup jauh dari rombongan membuat rasa malu Aida
sedikit berkurang, setidaknya tidak ada yang memperhatikan dirinya
cairann Bandi.
“Ah,,, Kamu ada-ada saja. Sudahlah,,, kamu terus saja mengomentari
tubuhku, Apa kamu tidak tertarik dengan wanita-wanita yang lebih
menggairahkan itu” jawab Aida tidak percaya.
Sesaat Bandi mengalihkan pandangannya, tampak Zahra yang megenakan
rok panjang lengkap dengan penutup kepala nya sedang merangkul Darto
yang ikut bergabung dengan Nabila dan Bu Sofia. namun Aida yang kini
dihadapan lebih menarik perhatiannya.
“Ayolah,,, Aku berani berbugil ria keliling monas bila aku gagal,”
Sontak Aida mengernyitkan dahinya namun sesaat kemudian bibir mungil
itu tertawa lebar. Baru kali ini Aida dapat bercanda lepas dengan pria
teman suaminya.
“Tapi, apabila Aku berhasil, mungkin Aku dapat sedikit mengambil upah
atas tubuhmu ini,” kalimat yang dilontarkan Bandi semakin nakal, Aida
yang tertawa langsung terdiam.
“Aaa,, apa yang akan kamu minta dari tubuh aku?” dengan tergagap Aida bertanya.
Ada tekad dihati Bandi untuk dapat meraih satu orgasme dari tubuh
istri temannya itu, apalagi secara tidak sengaja tiupan angin nakal
menyingkap kain rok yang ringan, sepasang paha mulus yang sekal
terpampang di depannya. Dengan malu-malu Aida segera merapikan roknya,
mengapit sisi kain diantara pahanya.
“Mungkin akan ku pikirkan nanti, setelah usaha ku menumbuhkan rasa
percaya diri mu berhasil. Tapi satu yang pasti, aku sangat berminat
dengan apa yang tersembunyi di balik kaos merah ini, bahkan jika
diizinkan aku ingin sedikit berkenalan dengan milik mu yang tersembunyi
dalam kain indah ini,” ucap Bandi sambil meletakkan telapak tangannya
diatas paha Aida yang tertutup rok.
“Eehh,ehm,,jangan nakal ya,,” seru Aida, menepis tangan Bandi dengan cepat.
“Shit,,,” Bandi mengumpat dalam hati, hanya gara-gara tak mampu
membendung nafsu, telapak tangannya itu telah merusak semua rencana,
mungkin dirinya harus sedikit bersabar, Aida memang bukan wanita seperti
Shita atau wanita lainnya yang begitu mudah diajak ke tempat tidur.
“Upss,,, maaf,,, aku terlalu bergelora saat melihat kulit mulus mu,”
Ujar Bandi serampangan, dan hatinya kembali mengumpat, kenapa mulutnya
harus begitu jujur menturkan isi hatinya.
Suasana kembali kaku, Bandi tidak lagi memiliki kata-kata yang tepat untuk mencairkan suasana.
“Kemana eemm,,anak mu dititipkan,” ucapnya asal, meski tak yakin
kalimat itu dapat memperbaiki suasana, bahkan suara yang keluar dari
mulutnya agak serak dan terbata.
“Sial, sial,sial,,” umpatnya dalam hati, saat melihat Aida justru
tertawa melihat kegugupannya. Bahkan tubuh wanita itu sampai terguncang
membuat payudara turut bergoyang.
“Apakah kata-kataku memang lucu,” hati Bandi menjadi kesal dengan sikapnya sendiri.
“Eemmm,, lalu apa yang harus aku lakukan untuk menumbuhkan rasa
percaya diriku,” ucap Aida tanpa menjawab pertanyaan Bandi, Aida sadar
lelaki di depannya kini merasa bersalah dan menjadi serba salah.
“Yaa,, mungkin kita bisa memulai dari sekarang,” ucap Bandi.
“Apakah harus menggunakan telapak tanganmu,” balas Aida cepat, sepertinya wanita itu justru ingin meledek Bandi.
“Tidak, tidak, maaf atas perbuatanku tadi. seperti yang kubilang
tadi, kamu dapat memulai dengan belajar menegakkan punggung, sehingga
payudara itu semakin membusung, dan biarkan kedua bukit itu mendominasi
pemandangan dari tubuhmu,” Bandi kembali berusaha menguasai keadaan
setelah sadar dirinya sedang dikerjai oleh istri temannya itu.
Dan benar saja, kini giliran Aida yang kembali kikuk dan bingung,
haruskah dirinya mengikuti saran lelaki yang hanya dikenal dari
suaminya. Tapi tak urung saran itu diikutinya juga.
“Apakah seperti ini?” ucapnya menahan malu, payudaranya memang terbilang besar, apalagi jika harus duduk tegak seperti itu.
“Ya,ya,,, mungkin kamu bisa sedikit bersandar agar tidak terlalu
capek, tapi jangan pernah lagi menekuk pundak dan menundukkan kepala,
biarkan kepala mu tetap tegak, dan yakinlah kamu tidak kalah cantik
dengan wanita manapun…dan mungkin sekarang saat yang tepat untuk menguji
kelebihan yang kamu miliki, aku yakin dengan keindahan tubuh yang kau
miliki, kamu dapat menggoda penjaga kantor itu,” ucap Bandi sambil
menunjuk seorang pria paruh baya di sebrang mereka, Mang Engkus.
“Tapi apa yang harus ku lakukan,” balas Aida yang kebingungan,
“Sekarang ikuti intruksiku,,, Ok, coba rentangkan kedua kakimu,,,
ya,, terus,, biarkan angin menyapa kulit, bagus,,,dan tetaplah menatapku
seolah kita sedang mengobrol,, bagus,,,” Mata Bandi yang begitu tajam
menatap Aida seakan memberikan semangat kepada ibu muda yang berusaha
menahan malu mengikuti intruksinya.
Tak urung aksi itu membuat jantung Aida berdegup kencang, ini adalah
untuk pertama kalinya Aida memperlihatkan selangkangannya yang hanya
tertutup oleh pakaian dalam kepada pria lain. Jemarinya meremas bangku
kayu dengan kuat, Aida sangat yakin jika penjaga kantor itu memang
tengah menatap selangkangannya pasti mendapati sepasang paha montok yang
menggairahkan.
“berapa lama aku harus melakukan ini,” Tanya Aida, dirasakannya
semilir angin dengan mesra menjamahi kulit pahanya, membuat bulu-bulu
halus yang menghias paha sintalnya berdiri.
“Teruslah, Biarkan rasa malu menguasai dirimu, biarkan rasa malu
menyelimuti seluruh tubuhmu, rasakanlah wajah mu yang mulai terasa panas
dan memerah, dan terus nikmati rasa malumu,” Aida memejamkan matanya,
membayangkan ekspresi pria di hadapannya yang siap menerkam tubuhnya.
“Nikmati rasa malu itu, hingga kamu mampu menguasai tatapan nakal
pria itu,” kata-kata Bandi bagai menghipnotis geraknya, Tanpa sadar Aida
semakin membuka pahanya semakin lebar.
“Dan sekarang tarik sedikit rok mu, biarkan pria itu menikmati paha
dalam mu, biarkan pria itu menerkam kemaluan mu dengan matanya.”
Sontak mata Aida terbuka, Wajahnya menunjukkan kata-kata protes, jika
hanya mengangkangkan kakinya mungkin tidak terlalu masalah, tapi dengan
membuka roknya semakin keatas sama saja memberi undangan terbuka kepada
Mang Engkus. Meski wajah Bandi dan Aida tetap saling menatap, tapi mata
mereka sesekali melirik dan memperhatikan apa yang tengah dilakukan
Mang Engkus.
“Tidak Bandi, Aku tidak mau jika harus melakukan itu,”
“Ayolah, Aku yakin kamu dapat menggoda pria itu, lihatlah dia mulai
memperhatikanmu, Oowwhh,, pria itu mulai menundukkan tubuhnya mengambil
sesuatu tapi aku yakin dirinya hanya ingin mencari tau apa yang
tersembunyi dibalik rok mu itu, mungkin kau bisa memberinya sedikit
rejeki di pagi hari,” goda Bandi.
“Tapi aku tidak mengenakan apapun selain celana dalam,” balas Aida cepat.
Lagi-lagi Bandi menganggukkan kepalanya menegaskan kepada wanita muda
itu bahwa inilah waktu yang tepat untuk mengubah pribadinya. Sementara
hati Aida mencoba mencari-cari pembenaran atas apa yang dilakukannya
saat ini.
Setelah menghela nafas panjang, jemari nya secara pasti
menarik rok itu semakin ke atas. Meski tidak yakin dapat merubah sifat
pemalunya, setidaknya Aida ingin menikmati sedikit kenakalan yang tidak
pernah dilakukannya. Sepasang paha putih nan sekal, perlahan mulai
terpampang dengan lebih jelas berujung pada secarik kain pelindung,
seandainya Bandi sedikit menundukkan kepalanya maka dirinya akan dapat
pula menikmati suguhan indah di pagi hari nan indah itu.
“Apakah ini cukup,” suara Aida terdengar berat. Beberapa tetes
keringat menetes diwajah wanita berkacamata itu. Sementara jemarinya
kini meremas tangan Bandi dengan kuat, seakan meminta dukungan atas apa
yang dilakukannya.
“Ya, kurasa cukup,” ada nada-nada cemburu dan iri dimata Bandi atas
keburuntungan yang tengah dinikmati Mang Engkus. Tekad Bandi untuk dapat
menyetubuhi Aida semakin menggebu, dan ini adalah jalan pintas terdekat
untuk cita-cita nya tersebut.
Mang Engkus yang memang sedang menikmati pemandangan indah itu,
semakin dibuat kelimpungan ketika dua paha sekal yang membuat batangnya
berdenyut keras mulai memberikan akses pemandangan yang lebih gila,
Sepasang paha mulus yang berujung pada segitiga bermuda berbalut kain
biru muda, yang menjadi misteri bagi lelaki yang tak pernah lulus SD
ini.
Aida merasakan vaginanya mulai basah, seandainya Mang Engkus berada
lebih dekat mungkin pria paruh baya itu dapat melihat bagaimana celana
dalam itu mulai lengket dan basah. Sementara Bandi berulangkali
mengumpat dalam hati atas kemujuran yang didapat Mang Engkus, ingin
sekali Bandi menyibak rok Aida dan melihat bagaimana keindahan
selangkangan wanita di sampingnya itu. Tanpa diduga, Aida memalingkan
wajahnya dan menatap Mang Engkus yang hampir terjengkang karena kaget
dan berlalu pergi dengan cepat.
“Kenapa pria itu pergi,,,” keluh Aida, padahal dirinya hanya ingin
melihat wajah lelaki yang telah menikmati keindahan tubuh yang
ditawarkannya.
“Tidak,tidak,,, justru kau telah berhasil menguasai rasa malumu
dengan berani menatap pria itu, lihat pada akhirnya dia yang malu, bukan
kamu, kaulah pemenangnya”
“Ya kurasa ini sudah lebih dari cukup, pria itu tak mampu melawan godaanku,” ucap Aida dengan senyum lebar.
“Teeett,,,Teeet,,,” suara klakson bis wisata yang begitu kencang membuat Bandi dan Aida terkaget.
Mang Engkus yang sempat menghilang dibalik gedung kembali menunjukkan
batang hidungnya dan bergegas mengarahkan bis besar yang memasuki
halaman kantor. Sesekali matanya mencoba melirik Aida berharap menemukan
pemandangan seperti yang dinikmatinya tadi.
“Lihatlah, apa yang telah dilakukan selangkangan mu pada pria paruh
baya itu, ternyata kau memang nakal,” bisik Bandi sambil beranjak.
“Tapi ku rasa bukan hanya pria itu yang menikmati,,,” balas Aida
menggoda. Entah kenapa Aida merasa memiliki kebebasan untuk bercanda dan
sedikit menggoda pria yang telah berhasil ‘menelanjangi’ tubuhnya
ditengah umum.
Bandi hanya terkekeh,
“Eitss,, ingat tubuh mu harus selalu tegak, dan biarkan aku menikmati
keindahan payudara mu, ehmm,, maksud aku para lelaki,” ucap Bandi
mencoba mengiringi langkah kaki Aida menuju rombongan yang sibuk
mengepak tas mereka kebagasi.
Mungkin ada benarnya yang diinginkan Pak Tama, dengan menggunakan bis
wisata, mereka akan lebih cepat akrab dibanding menggunakan mobil
pribadi masing-masing.
############################
Nabila merentangkan kedua tangannya dan mengambil nafas panjang untuk
mengisi rongga parunya dengan udara pantai yang begitu segar. Zahra
yang ada disampingnya hanya tersenyum melihat ulahnya. Di hadapan mereka
tampak sebuah cottage yang keseluruhan bangunannya menggunakan kayu dan
atap dari rumbia, dikeliling sebuah pagar yang cukup tinggi.
Sebuah
pemandangan yang sangat artistik dengan nuansa natural, mungkin pencipta
bangunan ini sengaja mempertahankan kealamian pemandangan yang ada,
walaupun disana-sini terdapat beberapa tambahan bangunan permanen untuk
menjaga keamanan dan penunjang fasilitas. Dengan ditemani Hanif, Bandi
menemui penjaga cottage yang dijaga oleh seorang lelaki berumur 40an dan
seorang wanita muda yang bertugas sebagai juru masak bagi para tamu
yang menginap, kulit mereka yang hitam seakan memberi tanda bahwa mereka
memang telah lama mendekam dipulau tersebut.
Sementara Pak Tama terlihat sibuk memberikan beberapa isyarat kepada
Shita, memang cukup sulit menjaga kerahasiaan hubungan dengan
simpanannya itu. Walau bagaimanapun Shita adalah wanita normal yang
mengharapkan kemesraan perlakuan penuh kasih sayang dari pasangannya.
Untungnya semua wanita, teman Bu Sofia, telah mengetahui skandal itu,
dan mereka mencoba menemani Shita.
“Hei,,hei,,, disini menyediakan 7 kamar, dan pada kunci-kunci ini
terdapat nomor dari kamar, dan aku bersama Nabila akan mengambil kamar
nomor lima, dan untuk menghormati Pak Tama yang akan meninggalkan kita,
ada baiknya kamar dengan nomor satu kita persilahkan kepada bapak untuk
menempati,” terang Bandi sambil menyerahkan kunci kamar kepada Pak Tama.
Bandi sengaja mengambil kamar nomor lima karena kamar tersebut ada
dilantai dua dengan jendela tepat mengarah ke kolam renang dibawahnya.
Sedangkan Hanif mengambil kamar paling belakang. Setelah membagi kunci
yang akan menentukan dikamar mana mereka akan tidur, ruang lobby
sekaligus ruang untuk bersantai itu perlahan kembali sepi. Matahari
masih memberikan mereka beberapa menit untuk melepas lelah sebelum
bersama-sama menyaksikan sunset pertama dipantai yang indah itu.
###############################
Pak Tama menghisap dalam-dalam rokok yang masih tersisa setengah,
pandangannya tidak lepas dari tubuh sekal Aida yang asik menanti ombak
yang datang silih berganti, menyapa jemari kaki, membuat kaki indah itu
sedikit terbenam dalam timbunan pasir. Telah lama memang dirinya
menyimpan hasrat pada wanita berkacamata itu. Dan mungkin inilah
masa-masa yang tepat untuk menjajal kehebatannya pada tubuh wanita yang
memiliki tubuh bohay itu. Sesekali roknya terangkat tertiup angin laut
yang nakal, memperindah pemandangan dengan latar belakang sunset
dipantai eksotis itu. gairahsex.com Bandi yang ada disampingnya masih
sibuk mengotak-atik GPS yang dipinjamnya dari Mang Kholil, si penjaga
cottage.
Sesekali Bandi tersenyum menyaksikan keberhasilannya menyulap
pribadi seorang Aida, Bandi sangat yakin jika wanita itu menyadari
tatapan nakal Pak Tama karena matanya sesekali melirik kearah Pak Tama
yang tak bergeming dari pandangannya. tampaknya ia tengah menguji saraf
rasa malunya di hadapan Pak Tama.
“The party is begin, tentukan targetmu, taklukkan dan nikmati sepuasmu,” seru Darto yang datang diiringi Hanif dan Rahadi.
“Naf, sepertinya sudah ada yang menjadikan istrimu sebagai target,”
tambah Darto melontarkan umpan. Sementara yang disinggung mengangkat
kedua bahunya dan tertawa lebar, Hanif sepertinya memang sudah
mempersiapkan hatinya untuk pesta ini, bahkan dirinya mendadani Aida
seindah mungkin seakan menawarkan kepada para gladiator yang berminat.
“Terus terang saja, aku telah menetapkan seluruh wanita disini
sebagai target ku, dan tentu saja termasuk istrimu,” ucap Hanif sambil
menepuk bahu Darto, lelaki itu memang terbiasa bicara ceplas-ceplos
namun solidaritasnya kepada teman patut diacungi jempol.
“Silahkan saja, jika kau mampu menaklukkannya,” jawab Darto tak ingin kalah.
“Aidaaa,,, ayo sini,,,” terdengar suara Zahra yang tengah menuju gazebo bersama para wanita lainnya.
Sore itu Zahra tampak anggun dengan penutup kepala berwarna biru
muda, senada dengan kaos yang dikenakannya, celana panjang dari bahan
tisyu yang dikenakannya cukup sukses mencetak kaki indah yang tak pernah
terekspos didepan umum. Siapa pulakah yang beruntung mengayuh tubuh
indah dengan paras yang cantik itu.
“Ok, agar liburan ini lebih berarti aku ingin menawarkan beberapa
acara, dan untuk diketahui acara ini tidak mengikat siapapun jadi
apabila ada diantara kita tidak dapat ikut ataupun malas untuk ikut
berkumpul tak mengapa,,,” Sebagai calon pemimpin yang baru pada anak
perusahaan, Bandi mencoba menunjukkan power dengan gayanya sendiri.
Bibir Bandi dengan tenang memaparkan beberapa ide acara yang ada
dikepalanya, dan tampaknya semua yang ada disitu mengaggukkan kepala
tanda setuju. Tanpa disadari yang lain, tampak sepasang mata penuh rasa
kagum terhadap pribadi Bandi yang tenang dan terkadang cukup humoris.
Obrolan berlanjut pada hal-hal yang ringan.
Hanif yang mencoba mendekati
Anjani dengan menawarkan sepotong kentang goreng yang sudah jatuh
kelantai, ulah Hanif itu tentu saja membuat Anjani terpingkal. Rahadi
yang paham dengan gelagat Hanif mencoba memberi tempat dengan alasan
mengambil wedang jahe untuk gelasnya yang memang telah kosong. Gazebo
itu memang terbilang cukup besar dengan atap daun nipah, dengan beberapa
tempat duduk yang terbuat dari batangan-batangan pohon dipotong
seukuran kursi yang diletakkan secara acak.
Empat buah meja dari batu besar berwarna hitam sepanjang satu meter
terletak disetiap sudutnya. Suara canda dan tawa mulai mengalir
menandakan keakraban yang mulai terjalin, sungguh suasana keakraban yang
sangat hangat, sehangat wedang jahe yang dihidangkan Lik Marni, istri
Mang Kholil. Namun siapa yang menduga kehangatan tersebut dalam beberapa
jam kedepan akan menjadi sangat panas, dihias berbagai desahan dan
jeritan yang tertahan dari para betina, berselimut rasa solidaritas
penjantan terhadap pemiliknya.
Pak Tama sesekali melirik tubuh Lik Marni
yang telah menyulap dirinya dengan pakaian ala pelayan dengan kain
kebaya lengkap dengan jariknya, sementara Mang Kholil mengenakan celana
hitam yang longgar dengan kain sarung yang dilipat rapi. Harus diakui,
Lik Marni memang memiliki wajah yang hitam manis khas wanita jawa
pesisir, meski kulitnya sawo matang namun tubuhnya begitu kencang
mendukung gerakannya yang lincah dalam melayani berbagai permintaan para
tamu cottage.
Pak Tama meneguk ludahnya ketika Lik Marni berjalan
menjauh, meninggalkan pemandangan yang begitu indah, bokongnya yang
cukup besar berayun gemulai seakan mengundang untuk dicicipi. Dan
sepertinya bukan hanya Pak Tama yang tertarik dengan olah gerak dari
tubuh wanita muda itu, karena tatapan Rahadi dan Hanif pun tak terlepas
dari geol nakal tubuh yang terbalut erat kain khas wanita desa itu. Mang
Kholil yang menangkap tatapan nakal para lelaki hanya tersenyum,
dirinya telah terbiasa menghadapi para tamu yang menunjukkan minat pada
tubuh istrinya.
“Silahkan disantap tuan-tuan, kalo ada keperluan lain bisa memanggil
saya atau istri,” ucap Mang Kholil sambil tersenyum penuh makna, lalu
pergi meninggalkan gazebo.
Bandi yang sibuk meladeni celoteh manja Nabila beberapa kali melotot
melihat ulah Aida sepeninggal Hanif. Tampaknya wanita itu telah begitu
pandai menonjolkan keindahan tubuhnya, dengan tatapan genit sesekali
Aida merentangkan akup pahanya dengan begitu lebar memamerkan paha sekal
dan selangkangan yang terbalut kain putih. Ada sensasi luar biasa pada
diri Bandi dan Aida ketika berusaha untuk saling memberi dan menerima
keindahan ditengah hiruk pikuk tawa dan canda. Untuk kesekian kalinya
Aida merentangkan kakinya, hanya saja kali ini lebih lama dari
sebelumnya, seakan mempersilahkan kepada Bandi untuk lebih mengenali
bagian paling sensitifnya. Sementara matanya bersiaga mengawasi
sekelilingnya.
AGEN POKER TERPERCAYA
Untung tak dapat dicegah, Zahra yang masih penasaran dengan keindahan
pulau itu mengajak Nabila untuk sedikit berjalan-jalan. Bagi Zahra
sinar mentari senja yang menapaki setiap bulir pasir dapat menyajikan
ketenangan. Langkah kaki Zahra dan Nabila tampaknya juga diiringi oleh
yang lain. Kini tinggallah Bandi yang semakin bebas melumat pemandangan
di hadapannya, tapi Bandi harus mendengus kecewa ketika Aida beranjak
dari tempat duduknya dan menuju kearahnya. Dan kini wanita itu telah
duduk di sampingnya, dan terhentilah semua pemandangan itu.
“Aku lebih berharap kau tetap duduk di sana dan menikmati hidangan yang kau tawarkan,” ucap Bandi dengan suara sepelan mungkin.
“Ooo Ya?,, apakah kau tidak ingin mencicipi hidangan itu,” jawab Aida dengan suara tak kalah pelan.
“kapan lagi kau akan mengambil upah atas terapi nakal mu ini,” belum
sempat Bandi menjawab Aida telah beranjak, namun wanita itu tidak menuju
pintu cottage tapi kearah samping kebagian salah satu sisinya.
Dengan pandangan penuh kemenangan Bandi menatap Rahadi dan Pak Tama yang tertinggal di cottage.
“Ban,,, jangan langsung dihabisin, sisain gue buat ntar malam,”
teriak Pak Tama sambil tertawa, yang dijawab Bandi dengan mengacungkan
jari tengah.
“Om, Ntar malam, Hadi pinjam tante ya?,,,” ucap Rahadi dengan sedikit ragu dan takut.
Sontak Pak Tama tertawa terbahak,
“Emang kamu sanggup ngeladenin tantemu itu? Hati-hati lho dia itu
predator daun muda,” bisik Pak Tama menggoda Rahadi. Wajah Rahadi
sumringah setelah mendapatkan lampu hijau dari Pamannya.
Aida yang melangkah cepat agak kebingungan mencari ruang yang sedikit
terlindung. Gairahnya begitu menggebu, sejak obrolannya bersama Bandi
tadi pagi Aida terus mengeksploitasi tubuhnya di hadapan para pria. Ada
kepuasan tersendiri ketika dirinya menikmati tatapan nakal para lelaki.
“Ibu bisa pakai kamar aku dan istri aku,” terdengar sebuah suara
bariton yang ternyata adalah Mang Kholil, pria berjambang dan berkumis
lebat itu tersenyum ramah sambil menunjukkan sebuah kamar dekat dengan
dapur. Sepertinya Mang Kholil sudah sangat hapal dengan ulah para
tamunya.
Aida melangkah cepat, tepat dipintu dirinya berpapasan dengan Lik
Marni yang tengah memasak untuk makan malam mereka. Lagi-lagi keduanya
melemparkan senyum, Maaf Bu kamarnya aku pinjam ya, ucap Aida sambil
menahan malu, namun Lik Marni justru tersenyum dan membukakan pintu
kamarnya yang berada tepat di samping pintu dapur. Bandi yang menyusul
Aida harus sedikit berbasa-basi dengan Lik Marni namun perempuan kalem
itu justru memberi isyarat agar Bandi secepatnya masuk kekamar.
“Kasian lho mas warungnya kelamaan nunggu, kalo warungnya tutup kan
situ yang repot,” ujarnya sambil tersenyum simpul setelah Bandi
memaksakan sedikit obrolan yang tidak penting.
Mendapat sindiran yang begitu menohok akhirnya Bandi membuka pintu kamar tidur pasangan penjaga cottage itu.
“Nanti malam warung aku juga buka lho, kalo mau mampir boleh koq,” seru Lik Marni cepat sebelum Bandi menutup pintu.
Bandi sempat kaget mendengar undangan itu, namun kemudian dirinya
tersenyum, diundang untuk mampir ke ‘warung’ milik wanita semontok Lik
Marni tentunya tak akan ada lelaki yang menolak. Apalagi Bandi yang
setelah menikah tidak pernah lagi mencicipi warung milik wanita lain. Di
dalam kamar yang gelap hanya diterangi bias lampu luar yang menorobos
dari sela ventilasi, Bandi dapat dengan jelas melihat sosok Aida yang
bertelungkup pada sebuah bantal.
Body sekal dengan pantat montok yang
sedari tadi pagi telah menghantui pikirannya kini tergeletak pasrah
menunggu untuk dijamah. Apalagi dengan posisi telungkup tubuh itu
semakin menggoda, rok pendek yang dikenakan tak lagi mampu menutupi dua
buah pantat yang membulat padat. Bandi mencoba memanggil Aida namun
tidak mendapatkan jawaban. Bandi bisa mengerti karena ini adalah
perselingkuhan pertama wanita itu. Dengan perlahan Bandi menyingkap
semakin keatas kain yang menutupi bagian bawah tubuh.
Dengan pandangan takjub tangannya meremas dengan gemas dua bongkahan
daging kenyal yang kini berada dalam teritorialnya, sadar waktu yang
dimiliki hanya sebentar Bandi bergegas melepas levi’s pendek dan kaos
yang dikenakan, dan segera menduduki kedua paha putih mulus. Tangannya
kembali bermain, meremas dan menekan bokong yang ditelantarkan
pemiliknya dalam kebisuan. jemarinya dengan nakal mengusap klitoris yang
masih terbungkus pengaman membuat pemiliknya harus mengerang geli.
Bandi mencoba mengukur panjang penisnya ditengah-tengah bongkahan, agak
ragu Bandi, apakah penisnya dapat masuk sepenuhnya seperti saat dirinya
menjejalkan penis panjang dan gemuk itu ke vagina istrinya, Nabila.
Hal
itu tak membuatnya pusing, namun kepasrahan Aida yang hanya membenamkan
wajahnya dibantal itulah yang membuatnya bingung. Apakah wanita itu
tengah menyembunyikan rasa malu untuk perselingkuhan pertamanya ataukah
memang telah pasrah untuk disetubuhi. Bandi mencoba menyulusupkan kedua
tangannya kedalam kaos Aida, cukup sulit memang karena terhimpit oleh
tubuh, tapi Aida mengerti dan sedikit mengangkat tubuhnya, membiarkan
jemari Bandi bertandang kepayudaranya.
“Hati-hati neng, ntar balonnya pecah lho kalo ditindih terus,” goda Bandi yang dijawab dengan sikutan Aida ketubuhnya.
“Cepatlah, ambil imbalan yang kau mau, sebentar lagi makan malam,”
balas Aida dengan memalingkan wajahnya kesamping. Bandi semakin
menyadari kecantikan dari istri temannya itu, kaca mata yang menghias
wajah bundarnya membuat wanita itu semakin menggoda.
Dengan telunjuknya Bandi mencoba menyibak kain yang menutupi lubang
kemaluan, pikirnya tak perlu melepas segitiga pengaman itu, tapi kain
itu terlalu ketat membungkus vagina dan bongkahan pantat yang cukup
besar. Dengan dibantu Aida, Bandi akhirnya memilih melepas kain yang
menghalangi usaha birahinya. Debaran jantung Aida yang berdetak cepat
menanti sentuhan dari pertemuan kedua kulit kemaluan mereka, dapat
dirasakan oleh Bandi.
“Eemmhhpp,,,” erangan Aida tertahan ketika vaginanya mulai menerima
kepala penis Bandi, cukup sulit memang bagi Bandi untuk melesakkan
penisnya ke vagina yang ternyata belum terbiasa dengan batang sebesar
miliknya, apalagi dengan posisi memeluk Aida yang telungkup. Dengan
berdiri pada kedua lututnya Bandi menarik bongkahan pantat semakin
menungging membuat vagina Aida semakin merekah. Mungkin dengan begini
penisnya dapat lebih mudah melakukan ekspansi pikir Bandi.
“Baaannn Bandii,,” Aida terpekik ketika Bandi sedikit memaksakan
kepala penisnya menjelajah lebih jauh, meskipun sudah sangat basah tetap
saja begitu sulit. Jemari Aida mencengkram tangan Bandi dengan kuat
untuk meredam perih yang dirasakannya.
Tapi pantat itu terus saja menyorong ke belakang, seakan meminta
Bandi untuk terus menghujamkan penisnya. Sesekali bergoyang untuk
memuluskan jalan masuk dari batang besar yang terus menohok semakin
dalam.
“Taahhaaannn,, duluu,,Bannn,,” dengus Aida, sambil meminta Bandi kembali memeluk tubuhnya yang telungkup.
“Asal kau tauuu,, penismuu ituu terlalu besar untuk kemaluankuu,, dan
ini adalah penis pertama teman suamiku yang kubiarkan memasuki
tubuuhhkuuu,,” seru Aida ketelinga Bandi yang sibuk menciumi pipinya.
“Lalu,,,” jawab Bandi dengan enteng.
Jawaban Bandi yang begitu santai tentu saja membuat Aida menjadi
jengkel. Bandi yang melihat wajah Aida yang cemberut dengan bibir yang
manyun segera mendaratkan bibirnya dan dengan dengan cepat lidahnya
masuk mencari-cari tuan rumah dari bibir indah itu.
Aida memang tidak begitu mahir dalam permainan lidah, karenanya
dirinya membiarkan saja lidah Bandi menulusuri rongga mulutnya. Sesekali
lelaki itu menyedot lidah Aida dengan kuat membuat wanita itu kalang
kabut tak dapat bernafas.
“Aaaarrgghhhmm,,” tiba-tiba bibir Aida terlepas, menggeram kencang.
“Sedalam apalaaagi kaaau mauu menusuk kemaluanku Ban..,,,” lengkingan
Aida semakin menjadi ketika Bandi terus saja menohok vaginanya meskipun
batang itu telah sampai kepangkal rahimnya.
Aida tidak menyangka jika penis itu masih dapat masuk lebih dalam
lagi, dan serangan Bandi yang begitu tiba-tiba membuatnya terkejut.
“Mungkin ini sudah cukup,” jawab Bandi setelah yakin penisnya tak
dapat masuk lebih jauh lagi. Dengan perlahan Bandi mengayun penisnya
mencari kenikmatan yang dihidangkan dengan sukarela oleh tubuh istri
temannya itu. Pantat Aida semakin terangkat, batang besar yang belum
pernah dirasakannya itu ternyata mampu memberikan kenikmatan baru bagi
dirinya. Mata Aida terpejam menikmati gesekan otot berselimut daging
yang semakin lama semakin keras. Dinding vaginanya mencoba mengenali
urat-urat yang menonjol di antara dinding kulit yang telah basah oleh
lendirnya.
“Bann,,, masukin yang daaalaammm,,,please,” lirih Aida. Dinding
rahimnya menagih untuk kembali disapa ketika Bandi asik bermain
dipermukaan vaginanya.
“Bandia,,,” teriaknya dengan kesal. Disaat vaginanya begitu mendamba
kembali disesaki oleh batang besar itu, Bandi justru mencabut penisnya.
Raut muka Aida yang jengkel membuat wanita itu semakin cantik.
“Sssttsss,,, aku ingin menidurimu, bukan menindihmu seperti ini,”
bisik Bandi sambil membalik tubuh Aida dan melepas kaos serta bra yang
masih melekat, dengan nakal telujuk dan jempol Bandi memelintir puting
merah muda yang telah terpampang di hadapannya.
Sesaat keduanya saling menatap dalam temaram bias cahaya, dengan
posisi seperti ini Aida tersadar dirinya yang selama ini berhasil
menjadi ibu rumah tangga yang baik sekaligus seorang guru teladan di
sekolahnya mengajar, kini bersiap melayani birahi seorang pria, teman
suaminya dengan keadaan yang sangat sadar.
Dan sialnya dirinya pun
memang menghendaki persetubuhan ini, entah mengapa seorang Bandi telah
berhasil menumbuhkan gairah liarnya, mengeksploitasi keindahan tubuhnya
di depan umum, memohon selangkangannya kembali disesaki oleh batang luar
biasa itu. Debaran jantungnya semakin cepat ketika merasakan vaginanya
yang merekah kembali menagih untuk dikayuh oleh penis yang kini berada
dalam genggamannya, berlumur lendir kenikmatan.
Dengan kesadaran penuh Aida membuka selangkangnnya lebih lebar,
memohon Bandi untuk mengambil tempat diantara kedua paha yang sekal.
Matanya yang terus menatap wajah Bandi sesekali melirik batang yang kini
berada tepat di depan gerbang kemaluannya.
Gemeretak gigi terdengar
cukup jelas ketika Aida menahan rasa penasaran dan gregetan karena
batang itu tak kunjung amblas ke lorong yang begitu berhasrat untuk
merasakan hujaman penuh nafsu. Ya,,,hanya bermain dipintu vagina yang
tembem, menggosok, terkadang menyapu hingga kerambut-rambut yang tumbuh
cukup lebat, dan sesekali mencelupkan sebagian kepalanya namun kembali
keluar untuk bermain.
“Ooohh,, please Ban,,, perkosa akuuuu,,, pleeaassse,” rintih Aida
seraya berusaha melepas kacamatanya yang berembun oleh deru nafasnya
yang memburu.
“Ohh,,, tidak, biarkan kacamata itu tetap menghias kacamata ibu
guru,” pinta Bandi sambil menyinggung profesi Aida yang notabene bekerja
sebagai guru Bahasa di sebuah SMU.
“Terserah kaulah, tapi cepatlah penuhi vaginaku,” rengek Aida semakin gregetan dan kesal.
Meski jemari Bandi yang kini bermain dengan payudaranya membuat
getaran nikmat Namun Aida tak ingin menunggu lebih lama, setelah
mengangkangkan kakinya dengan lebar, wanita itu memegang pinggul Bandi
dan menekannya ke bawah berharap penis yang menggantung di depan
kemaluannya kembali mengayuh vagina yang terus berdenyut minta diisi.
“Uuugghhh,,, yaaa,,yaaa,,,” tanpa melepaskan pandangan mata yang
saling bertaut Aida begitu menikmati setiap dentuman penuh birahi yang
menghentak keras.
Bandi sendiri dapat melihat dengan jelas bagaimana wajah cantik
berkacamata itu melotot meredam hentakan Bandi yang semakin cepat.
Sesekali mulutnya melenguh ketika hujaman Bandi mengenai daerah paling
dalam. “Ugghhhh,,,”
Kedua bibir mahluk berlainan jenis itu terus mendesis bersahutan, sesekali saling bertukar ludah dalam lumatan yang panjang.
“Yeeaahhh,, Gaaa,,, terusss,, yaa akuaang,,,”
“Ummghhh,,,,aaahhh,,aahhh”
Tubuh Aida melengkung, tak mampu lagi dirinya menahan orgasme yang
melanda, kedua paha sekalnya menjepit pinggang lawannya dengan kuat,
dengan tangan mencengkram punggung. Beberapa kali tubuhnya menghentak
mengikuti orgasme yang begitu dahsyat, mulutnya meneriakkan lolongan
kepuasan begitu keras, begitu nyaring. Tubuh putih nan sekal itu
beberapa kali masih terhentak, orgasme datang silih berganti akibat ulah
Bandi yang terus menghentak tak memberi kesempatan bagi Aida untuk
sejenak menikmati orgasme yang begitu dahsyat.
“Baaannndddhhii ,,, aahhh,,,” Setali tiga uang, ternyata Bandipun tak
mampu lagi menahan orgasmenya, bermili-mili sperma kental menghambur
memenuhi lorong kemaluan yang semakin banjir.
“Uuggghh,,ughh,ughh,” disisa orgasmenya Bandi kembali mengehentakkan
penisnya, mencari-cari kenikmatan yang tersisa sekaligus mengalirkan
tetesan sperma yang tertinggal.
Aida hanya tersenyum melihat ulah Bandi, dibiarkannya lelaki itu
terus menghentak vaginanya dengan segenap kekuatan yang dimiliki,
mengeksploitasi kepuasan diatas tubuh bugilnya. Menggeram kuat dengan
jemari mengcengkram erat kedua payudaranya, Mengejang penuh birahi di
sela selangkangannya. mengosongkan kantong spermanya hingga memenuhi
rongga vagina.
Meski dalam masa subur Aida tidak ingin memupus kenikmatan yang
tengah dinikmati pria diatas tubuhnya itu. Dibiarkannya aliran sperma
yang hangat memenuhi rongga rahimnya, apapun yang terjadi nanti biarlah
terjadi.
Namun yang pasti saat ini dirinya begitu menikmati kepuasan
yang terpancar dari wajah seorang pria yang bukan suaminya, terus
memburu rentetan kenikmatan orgasme dari tubuh telanjangnya. Ada
kepuasan dibatin Aida melihat wajah dan tubuh Bandi yang bermandikan
keringat tersenyum kelelahan, dipeluknya kepala Bandi dan menempatkan
wajah yang dihias kumis tipis itu diantara payudaranya. Obrolan ringan
mengalir dari mulut mereka tanpa ada niat memisahkan dua kemaluan yang
masih bertaut berselimut kehangatan lendir-lendir cinta mereka.
“Dugaanku tidak meleset, ternyata kau memang luar biasa,” ucap Bandi
sambil menyisir alis Aida dengan telunjuknya. Keringat dari pacuan
birahi yang baru saja selesai masih terus keluar dari pori-porinya yang
halus.
Tubuh Bandi memang lebih besar dari suaminya, dengan badan atletis
yang selalu terjaga. Dan Aida merasa tenang berada dalam rengkuhan dan
tindihan pria tersebut.
“Hahaha,,, sudahlah,, tak perlu merayuku lagi, kau sudah mendapatkan
segalanya dariku, aku harus mengakui pesonamu begitu mengagumkan, dan
aku yakin sudah banyak wanita yang telah berhasil kau gagahi dan sialnya
salah satunya adalah aku,,,. Jadi sekarang, sebaiknya cepatlah kau
kenakan pakaianmu dan berkumpul dengan teman-temanmu di meja makan,”
kata-kata Aida yang begitu panjang tak mendapatkan respon dari Bandi
yang kini mengukir bentuk bibir Aida dengan jemarinya.
“Ayolah Bandi,, kau tidak mungkin terus menindih tubuhku, lagipula
aku tidak ingin suamiku mendapati kemaluanku melebar karena terus
menelan batang besarmu ini,” dengus Aida dengan berpura-pura kesal.
Bandi yang lebih banyak diam dan hanya menatap wajah dan tubuh
telanjangnya membuatnya rikuh. Walau bagaimanapun ini adalah pengalaman
pertamanya mempersilahkan seorang pria, rekan suaminya, dengan bebas
menggasak selangkangannya. Bahkan suaminyapun tidak pernah melakukan
itu, biasanya Hanif langsung tergeletak tertidur di sampingnya begitu
berhasil menghamburkan sperma di rahimnya, dan kini ada seorang lelaki
yang belum begitu dikenalnya, berlama-lama menindih tubuhnya tanpa
melepaskan batang yang menghujam dan masih saja mengeras.
“Apakah kau benar-benar ingin aku turun dari tubuhmu?” Tanya Bandi
sambil mengambil ancang-ancang menjatuhkan tubuhnya ke samping.
“Emhh,, Bandi, jangan membuatku terus merasa malu dong,” rajuk Aida
sambil kembali memeluk tubuh Bandi dan menyembunyikan mukanya yang
memerah ke dada bidang Bandi.
Kedua pahanya menjepit erat pinggul Bandi menegaskan bahwa dirinya
tidak ingin batang besar itu lepas dari kemaluannya. Bandi hanya
tersenyum melihat tingkah Aida, namun kedua sikunya yang terus menahan
berat tubuhnya untuk menghindari beban di tubuh Aida sedikit membuatnya
capek, akhirnya Bandi berguling kesamping dan menempatkan Aida di atas
tubuhnya tanpa melepaskan penis yang masih mendekam manja. Wanita itu
sempat terpekik, namun setelah mendapati posisi yang memberikan dominasi
pada dirinya, Aida tersenyum.
Dengan percaya diri yang dipaksakan Aida menduduki penis Bandi dan
membiarkan lelaki itu memandangi tubuhnya yang terekspos bebas. Aida
sangat ingin memperlihatkan semua kelebihan yang dimilikinya. Aida
mengakui tubuhnya lebih berisi dibandingkan wanita lainnya, hampir
menyaingi kemontokan tubuh Bu Sofia.
Jemari kanan Bandi terulur menjemput payudara besar yang menggantung,
sementara tangan kirinya menyusuri pinggangnya yang ramping.
“Ternyata kau benar-benar gemuk, untungnya lemak itu berada sesuai
pada tempatnya,” desis Bandi saat meremasi kedua bokong Aida yang begitu
montok dan membuat batangnya terbenam semakin dalam.
“Tapi itu justu membuatmu sial, karena kau harus melayaniku sekali lagi,”
“Oh ya,,, tampaknya upah yang kuberikan masih kurang, baiklah,,, kau
boleh kembali mengambil upahmu,” balas Aida seraya mengarahkan
payudaranya kebibir Bandi.
Tak perlu waktu lama, bibir indah itu kini kembali mendesis menikmati
bibir Bandi yang bermain nakal, menjilat, menyedot bahkan mengigiti
kedua putingnya. Tak dihiraukannya telunjuk Bandi yang kini
mengusap-usap sekitar anusnya, namun ketika dirasakannya jari itu
mencoba memasuki anusnya, Aida terkaget dan dengan cepat mencengkram
tangan Bandi.
“Jangan sayang, itu jorok sekali,”
“Tapi aku ingin mengambil upahku di lubang kecil itu,” ucap Bandi dengan merengek manja.
“yang benar saja Bandi, milikmu tidak akan mungkin cukup masuk
kesana,” tubuh Aida bergidik, vaginanya saja begitu sulit melahap batang
besar itu, dan kini batang itu ingin menjajal anusnya yang begitu
sempit.
“Jujur saja, istriku telah melayani dua orang pria dengan anusnya,
dan itu sungguh nikmat, Ayolah,,,” Bandi bingung bagaimana lagi cara
merayu, dirinya begitu terpesona dengan pantat montok itu, dan terus
membayangkan bagaimana nikmatnya jika penis besarnya berhasil melesak
masuk dan terjepit diantaranya.
“Istrimu? Nabila? Telah melayani dua pria? Denga anusnya?” kening Aida berkerut terkejut oleh pernyataan Bandi.
“Ta,ta,tapi,,, aku tidak berani, itu pasti sakit sekali,” jawab Aida.
“Tuan, makan malam sudah siap, dan sepertinya tuan dan nyonya sudah
ditunggu oleh teman-teman untuk makan bersama,” terdengar suara lembut
Lik Marni, memutus perdebatan antara keduanya.
Bandi kembali memandang mata Aida penuh harap, sekaligus menyampaikan pesan bahwa waktu mereka tak banyak.
“Baiklah,,, kau menang Bandi, tapi lakukan dengan pelan,” Aida
menyerah, melepas penis Bandi yang masih menancap kemudian mengambil
posisi menunging sambil memeluk bantal.
Tampak penis Bandi begitu mengkilat, entah oleh spermanya tadi
ataukah oleh cairan vagina Aida yang kembali basah. Sekali lagi Bandi
meremasi pantat besar Aida, dengan posisi itu vagina dan anus Aida
terpampang jelas, begitu pasrah bersiap menerima tusukan penis pertama
yang sama sekali tidak pernah dilakukannya, terbayangkanpun tidak.
Setelah mengambil posisi diantara kaki Aida yang tertekuk, Bandi mencoba
menusuk-nusuk lubang yang telah basah oleh liurnya. Dan memang kepala
penisnya terlalu besar untuk lubang imut itu. Berkali-kali helm besar
itu meleset ke atas dan sesekali terpleset ke vagina Aida, membuat bibir
wanita itu mendesis.
“Sepertinya memang tidak bisa, sayang, dan mungkin aku akan
melakukannya lain kali,” ucap Bandi yang menyerah dan kemudian
menusukkan batangnya ke kemaluan Aida.
Aida menggeram tertahan, mendapati selangkanganya ditusuk dengan tiba-tiba.
“yaaa,yaa, teruusss,, kurasaaa iniii lebih baiiieek,” rintih Aida mengimbangi sodokan-sodokan keras dari Bandi.
Dengan erat kedua lengan kekar itu memegangi pinggul Aida, untuk
memantapkan serangannya, kamar gelap yang tadi senyap kini kembali riuh
oleh gemuruh birahi. Masing-masing ingin menunjukkan kelihaian dalam
memuaskan lawan mainnya. Aida berusaha mengejang untuk mempererat
cengkraman otot vaginanya, dan itu cukup membuahkan hasil, Bandi
berkali-kali mendengus garang ketika penisnya tertahan cukup lama
didalam lubang sempit itu, menikmati gerakan otot kelamin Aida yang
mengempot.
Aida tersenyum puas oleh usahanya. Namun ketika Bandi tiba-tiba
menghentak keras jauh kedalam kemaluannya pekiknya terlontar. Dinding rahimnya tak pernah mampu membungkam hentakan
nikmat batang yang terus menggedor ganas. Ranjang kayu dengan per busa
yang tak lagi kencang terus menghantam tembok kamar. Membuat suara
semakin gaduh. Aida mengangkat paha kanannya, memperlebar akses bagi
batang itu untuk bergerak lebih bebas.
“Adduuuuhhh,,, duhh,,Baaan,,,Bandi,,, masukiiin semuaaa,,, biar
kutelaaann smuaaa,,,” jeritan birahi Aida begitu nyaring membuat Lik
Marni yang ada didapur geleng-geleng kepala, meski telah terbiasa dengan
ulah tamu-tamunya, tapi tak ada yang seganas mereka berdua.
Tubuh Aida tak mampu menahan hentakan pinggul Bandi yang menggila,
membuat pipi mulusnya menempel kedinding, kedua tangannya mencoba
menahan di tembok kamar. Meski demikian pinggulnya masih memberikan
perlawanan, bergoyang mengikuti hentakan yang membabi buta.
“Aarrrgghhh,,, Baaann,,, keluaaarrr,,, Aiidaaa sampaaaii Bann,,”
“Aaahhm,, aahh,,, yang dalaaaamm,, daalaaam,,”
Aida tak lagi peduli dengan jeritannya yang memekik nyaring.
Orgasmenya begitu dahsyat saat Bandi memaksakan penis yang terlalu
panjang itu berhasil masuk sepenuhnya ke dalam lorong kemaluannya.
Tangan Bandi berusaha menahan pinggul Aida yang berkelojotan, dengan
punggung melengkung naik turun seiring orgasme yang perlahan mulai
menyurut. Sudut matanya melirik Bandi yang berusaha mengatur nafasnya
dengan senyum tersungging. Keegoan Bandi sebagai seorang lelaki melonjak
saat melihat orgasme gila yang dialami Aida. Bertambah satu lagi wanita
yang mengakui kehebatan barang pusaka miliknya. Terdampar di pantai
orgasme, melenguh bersahutan bagai ombak yang datang silih berganti.
Kini, lagi-lagi Bandi memeluk tubuh montok yang tertelungkup kehabisan
tenaga.
“Ban,,lakukanlah semua yang kau inginkan pada tubuhku, tapi beri aku waktu beberapa menit,” kata Aida tersengal-sengal.
Wajah cantik berkacamata yang kini bermandikan keringat memberikan pemandangan yang begitu indah.
“Mungkin aku akan membobol anusmu lain kali, dan hingga sampai
waktunya tak ada seorangpun yang boleh menjamah lubang itu, dan sekarang
berbaliklah,” bisik Bandi dengan lidah menjilati kuping Aida.
Aida bingung dengan apa yang akan dilakukan Bandi pada dirinya.
Dengan penuh nafsu Bandi mengangkangi payudara Aida yang terbaring
pasrah. Kini tampak dengan jelas di depan mata Aida bagaimana bentuk
dari batang yang telah memberikannya orgasme yang begitu dahsyat. Tepat
di depan hidungnya, Bandi mengocok batang raksasa yang menampakkan
urat-urat yang mengelilingi, membuat daging besar itu semakin sangar.
Entah dorongan dari mana Aida membuka bibirnya menawarkan batang itu
untuk bertandang ke dalam mulutnya. Padahal Aida selalu menolak
melakukan itu saat suaminya meminta dan memohon.
Rezeki tak boleh ditolak, dengan cepat batang itu memenuhi rongga
mulutnya, terkadang lidah Aida menyedot batang itu dengan kuat berharap
batang itu menghilangkan dahaganya dengan sperma cinta. Sekelebat Aida
teringat kesehariannya yang bekerja sebagai seorang guru, seorang guru
cantik yang menjadi idola di sekolah. Namun kini terbaring pasrah dengan
mulut penuh dijejali penis seorang pria yang bukan suaminya.
Namun
dalam setiap geraknya Aida justru ingin memastikan bahwa semua yang
dilakukannya itu benar-benar nyata, bukan sekedar mimpi. Dengan
jemarinya sesekali Aida menarik penis itu keluar dan memainkan di
wajahnya yang mulus, menyusuri hidung dan telinganya. Sementara lidahnya
menjilati kantung testis yang meggantung.
Aida sangat sadar dengan apa yang dilakukannya, hatinya ingin
mendobrak kungkungan moral dan hukum yang selama ini membelenggu.
Berbagai kejadian yang dialaminya selama mengajar disekolah silih
berganti hadir dipelupuknya, bagaimana mata para siswa cowok memandangi
belahan roknya dengan sangat liar, terkadang Aida merasa risih ketika
beberapa muridnya sengaja menundukkan badan untuk mengambil barang yang
sengaja mereka jatuhkan.
Aida harus mengakui sesekali murid-muridnya
kadang sedikit beruntung saat dirinya terlupa menurunkan dan menjepit
roknya yang selutut ketika duduk dibangku guru. Itu terlihat jelas dari
mata mereka berbinar ketika berhasil mendapatkan pemandangan yang indah.
Atau ulah penjaga sekolah yang mengiringinya setiap kali dirinya ke
kamar kecil yang sebenarnya dikhususkan bagi para guru. Akibat ulah
penjaga sekolah yang nakal tersebut Aida berusaha ekstra hati-hati
dengan memastikan tidak ada celah lubang untuk mengintip. Bahkan tidak
sekali dua kali, Pak Darno mengedipkan mata dan dengan sedikit isyarat
yang dipahaminya sebagai permohonan untuk sedikit mengintip dua bukit
yang tersembunyi di balik seragam PNSnya. Meski tidak mengabulkan
permohonan itu, Aida tidak dapat memungkiri ada gairah yang menggelegak
dalam dadanya.
Ada rasa bangga ketika setiap bagian tubuhnya dikagumi oleh para
lelaki. Hanya saja kenyataan dirinya sebagai gadis kampung yang diboyong
kekota dan berprofesi sebagai guru lah yang menjadi rambu-rambu akan
semua tingkah lakunya. Tetapi kini, dirinya terbaring pasrah di bawah
tindihan seorang lelaki, merelakan setiap lubang di tubuhnya dijejali
oleh batang berotot, gerakannya begitu pasrah mengikuti semua kehendak
pejantan yang mengayuh tubuhnya, gairahnya menderu mengejar kenikmatan
dan kepuasan yang dijanjikan oleh Bandi, teman suaminya.
Dengus nafasnya kadang tertahan, ketika tubuh Bandi yang berat
menduduki kedua payudaranya, menjepitnya dengan keras, tapi entah
mengapa tubuhnya justru semakin pasrah, menikmati bibir Bandi yang
mendesah dan merintih semakin keras di atas tubuhnya. Hatinya sangat
ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang wanita jalang yang
sanggup memuaskan para lelaki.
“Keluarkanlah semua saaayaaaang,,,” teriak Aida sambil membuka lebar
mulutnya, seakan memberi tanda bibir indah itu siap menampung setiap
tetes sperma Bandi yang mengalir keluar.
“Aaaarrgghhhh,,,, iseeeppp yang kuat,iseeppp, semuaaaa,,,” teriak
Bandi ketika tak mampu lagi bertahan atas pelayanan yang begitu sempurna
dari seorang guru yang cantik. Jemari Bandi menjambak rambut Aida
dengan kasar, memastikan penisnya tidak akan terlepas dari mulut Aida.
“Emmgghhhh,,mgghhh,,,” Aida menggeram berusaha memenuhi hajat
pejantan yang melenguh melepas orgasme dirongga mulutnya, lidahnya
berusaha menyedot batang yang berkedut kencang menghantar cairan kental
ke mulutnya.
Berkali-kali Aida meneguk untuk mengosongkan mulutnya yang telah
penuh. Wajahnya begitu pasrah ketika batang berlendir ditarik keluar dan
menghambur tetes terakhirnya di kacamata dan wajahnya. Aroma yang khas
membuat mulutnya terbuka lebar berharap batang besar itu kembali masuk
untuk mendapatkan pelayanan dari lidahnya.
Satu lagi pelayanan yang
begitu dahsyat dirasakan oleh Bandi, yang tak pernah didapatkannya dari
Nabila istrinya. Ada rasa puas dan bangga ketika berhasil melukis wajah
seorang guru yang cantik dengan aliran sperma. Dengan kekuatan yang
tersisa Bandi menjatuhkan tubuhnya ke samping Aida, perlahan mengatur
nafasnya. Wajahnya meringis ketika Aida menggoda dengan menggenggam
kepala penisnya dengan kuat, membuat kemaluannya terasa ngilu.
“Cepatlah berbenah, nanti kita dicari yang lain,” bisik Bandi seraya
mencari pakaiannya, jemarinya meraba-raba mencari kaosnya yang terlempar
entah kemana.
“Kamu duluan saja aku akan menyusul nanti, kau benar-benar luar biasa
dan aku harus beristirahat sebentar,” jawab Aida yang justru mengambil
selimut dan menutupi sebagian tubuh montoknya yang terbuka.
“Ok,, tapi jangan terlalu lama, aku takut suamimu cemas,” balas Bandi
sambil meremas payudara Aida dari balik selimut, membuat siempu-nya
tertawa.
“Kalau kau ada waktu, mungkin aku bersedia untuk sekali lagi
melayanimu malam ini,” jawab Aida sambil terkikik sebelum Bandi
menghilang di balik pintu.
No comments:
Post a Comment