AREA BASAH

Thursday, May 12, 2016

Cerita Dewasa , My Sexy Wife Part 3.

AGEN POKER

Cerita Dewasa / Cerita Sex / Cerita ABG / Cerita Dewasa Hot / Cerita Dewasa SMA / Kumpulan Cerita Dewasa


 
Biarpun orangtuanya pengusaha sukses, sejak kecil Sovi terbiasa bergaul dengan orang-orang kalangan bawah. Ketika kuliah pun Sovi sering aktif dalam kegiatan bakti sosial sehingga sering bertemu dengan golongan kurang berada. Sovi memang punya kepedulian sosial yang besar, dan patut diacungi jempol karena konsisten mempraktekkannya dalam kehidupan nyata. Salah satu wujudnya adalah dalam kebiasaan Sovi berbelanja. Sementara nyonya-nyonya kalangan atas biasanya ogah berbelanja di pasar atau di tukang sayur dan memilih belanja di pasar swalayan, Sovi lebih suka belanja kebutuhan dapur sehari-hari di tukang sayur.

Dan hari itu pun, seperti biasa, seorang tukang sayur langganan Sovi lewat di depan rumah. Sovi membuka garasi membiarkan gerobak tukang sayur masuk. Tukang sayur langganan Sovi adalah seorang laki-laki berumur 40-an tahun, namanya Legiman, tapi lebih terkenal di kalangan ibu-ibu pelanggannya dengan nama “Pak Giman”.  Wajah bulatnya yang berkulit hitam biasa tertutup caping. Ketika datang ke rumah Sovi pagi itu, Pak Giman mengenakan kaos partai bekas kampanye bertahun-tahun lalu yang belel dan agak kekecilan sehingga perutnya yang membuncit tampak menonjol, juga celana panjang usang dan sandal jepit.

Memang bisnis tukang sayur itu tak besar-besar amat untungnya, tapi Pak Giman tidak mempermasalahkan jalan hidupnya, yang penting ada kerjaan biar bisa makan. Apalagi kalau dia mengingat bahwa masih banyak ibu-ibu yang menunggu kehadirannya Tiap pagi. Pak Giman harus mengakui, salah satu langganannya tampil agak beda hari ini. Ya, Bu Sovi memang masih muda dan lumayan menarik, tapi pagi ini, dengan baju lebih pendek dan rias wajah, dia terlihat lebih menarik. Tapi sebagai tukang sayur profesional yang berpengalaman, Pak Giman tetap melayani Sovi dengan baik seperti biasa.

Sovi memilih-milih tomat, bawang, terong, toge, pepaya. Belum terpikir mau masak apa untuk Bram nanti malam. Ah, ikan saja. Dengan sop sayuran. Cuci mulutnya pepaya segar. Dimintanya Pak Giman memilih dua ekor ikan yang kemudian dibersihkan sisik dan dibuang isi perutnya. Sovi memperhatikan lengan Pak Giman yang bergerak-gerak ketika pemiliknya menyiapkan ikan. Lengan berkulit hitam itu ternyata berotot dan tegap, maklum karena waktu muda pemiliknya Tiap hari berolahraga mencangkul sawah di kampung, dan sampai sekarang pun masih terus latihan mendorong gerobak yang lumayan berat berkeliling kompleks. Sepintas Sovi membayangkan bagaimana rasanya dirangkul oleh lengan-lengan itu…

“Semuanya empat puluh empat ribu, Bu Sovi,” suara Pak Giman membuyarkan lamunan Sovi.
Pak Giman menyodorkan dua kantong plastik berisi belanjaan Sovi, ikan dan sayuran dan pepaya, dengan sopan. Sovi menerimanya lalu membuka dompet. Ada beberapa lembar uang Rp100.000 di dalamnya tidak ada uang kecil.

“Saya adanya seratus ribuan Pak, ada kembaliannya?” tanya Sovi sambil menyodorkan selembar Rp100.000.

“Tunggu sebentar ya Bu,” Pak Giman kemudian membuka tas pinggang kumal yang melingkari perutnya. Dikeluarkannya beberapa lembar uang yang kucel, lalu dihitungnya.
“Wah, nggak ada kembaliannya, Bu. Saya tinggal dulu ya? Mau tukar duit.”

Pak Giman pergi meninggalkan garasi rumah Sovi dan gerobak sayurnya di sana sebagai jaminan, kalau-kalau dia tidak balik lagi Sovi bisa menyita gerobak tersebut. Nah, rumah Sovi terletak agak jauh dari warung, toko, pangkalan ojek, dan tempat-tempat lain di mana orang bisa menukar uang untuk kembalian, jadi sepertinya Pak Giman akan pergi agak lama. Dengan dua kantong plastik agak berat di tangan, Sovi memutuskan untuk membawa belanjaannya ke dalam rumah dulu. Tapi…Setelah ada di dalam rumah, Sovi terpikir mengenai salah satu barang yang baru dibelinya dari Pak Giman. Jadilah dia berhenti di ruang tamu, duduk di kursi terdekat, sambil merogoh ke dalam kantong berisi sayuran mencari barang itu.

Dapat! Sovi memegangi sebuah terong yang tadi dibelinya. Ungu, panjangnya sekitar 20 senti, dan cukup tebal. Padahal yang mau dimasak Sovi ikan goreng dan sop sayuran… kenapa dia juga beli terong? Bukan, Sovi bukan mau memasak terong itu. Entah kenapa, sayuran yang bersangkutan mengingatkannya kepada sesuatu. Atau lebih tepatnya, menyerupai fantasinya tentang sesuatu. Sovi menggenggam terong itu penuh rasa sayang, sambil mengamat-amatinya. Pelan-pelan disingkapnya sedikit daster pendeknya, sehingga seluruh pahanya terlihat, terus sampai ke celana dalamnya yang polos dan tipis. Lalu… meskipun tak mengerti benar mengapa dia melakukannya Sovi kemudian mengeluskan ujung terong yang dipegangnya ke bagian depan celana dalamnya.

Sentuhan lembut ujung terong yang bulat dan masih keras itu terhadap vagina di balik celana dalam membuat Sovi merinding. Tambah merinding dia karena dia tak membayangkan terong itu sebagai sayuran, melainkan kejantanan penjualnya. Betul, Sovi sedang membayangkan tukang sayur langganannya yang berkulit hitam dan berlengan kekar itu. Dalam bayangannya, agar seimbang dengan lengannya yang keras dan Gimannya yang ganas, senjata pusaka Pak Giman mestilah gelap dan mantap seperti terong yang dipegangnya. Berulangkali Sovi menggosok-gosok celana dalamnya dengan terong itu, kadang sampai menekannya agar ujungnya sedikit melesakkan bahan celana dalam di antara belahan kewanitaannya.

Sovi mulai mendesah selagi nafsunya terbangkitkan. Dia jadi tidak puas dengan hanya menggoda kemaluannya sendiri dari balik kain, dan menggeser sedikit celana dalamnya sehingga terong yang beruntung itu mengelus-elus kedua bibir luar vagina Sovi. Setelah kewanitaannya mulai basah, Sovi pun tak ragu lagi untuk memberi kesempatan kepada si terong untuk mempenetrasi vaginanya. Ujung terong itu diterima dengan hangat dan becek oleh vagina Sovi. Yang dibayangkan Sovi tentunya bukan bercinta dengan terong, melainkan Pak Giman tukang sayur langganannya itu. Terong itu pun mulai pelan-pelan digerakkan tangan Sovi keluar masuk. Sambil mengangkat paha kirinya, tanpa sengaja bibir Sovi membocorkan apa yang sedang ada di pikirannya.

“Ah… ammm… Pak giman… engg…”

GEDUBRAK! Tiba-tiba pintu depan rumah Sovi terbuka mendadak dan terjatuhlah tukang sayur yang bersangkutan ke lantai di samping kursi yang diduduki Sovi. Sovi dan Pak Giman sama-sama terkejut.

Sedikit Intro… Jadi begini ceritanya: Pak Giman sudah berhasil menukar uang 100 ribu yang diberikan Sovi, dan dia kembali ke rumah Sovi membawa kembalian. Waktu dia kembali, dilihatnya Sovi sudah tidak ada di garasi, dan pintu depan rumah Sovi setengah terbuka. Menganggap Sovi sudah di dalam, Pak Giman mendekati pintu, bermaksud mengetuk pintu untuk menyerahkan kembalian kepada Sovi. Tapi dia tanpa sengaja malah mengintip Sovi yang sedang menjebloskan sebuah terong ke vaginanya, dan sejenak dia tak berani beranjak dari posisinya di depan pintu yang terbuka sedikit itu. Ketika Sovi menyebut namanya tadi, saking kagetnya, Pak Giman sampai terpeleset, mendorong pintu sampai meneungkup, dan jatuh ke dalam rumah.

“Adudududuh…” Pak Giman meringis karena mencium lantai marmer.
“Ahhnnnh…” Sovi meringis karena desakan terong di celah kewanitaannya.
Dua-duanya sama-sama terpaku beberapa saat, lalu tiba-tiba sadar akan anehnya situasi. Pak Giman buru-buru berusaha bangun dan keluar, tapi kalah cepat dengan Sovi yang langsung bangkit, dan menutup pintu tanpa membiarkan Pak Giman keluar dari rumah ataupun terong keluar dari kemaluannya.

“Eh, Bu Sovi…? mmMmmMM??”

Sovi mendorong Pak Giman ke tembok di belakang pintu, sambil menutup mulut Pak Giman… dengan bibirnya. Saking kagetnya akan kegesitan gerakan Sovi, Pak Giman hanya bisa pasrah ketika bibir merah nyonya muda langganannya itu memaksa bibirnya terbuka lebar, dan lidah Sovi merangsek ke dalam rongga mulutnya. Dengan buas Sovi memberi french kiss kepada si tukang sayur, tanpa memedulikan gesekan Giman tebal Pak Giman yang kasar ke kulit sekitar bibirnya. Satu tangan Sovi kembali memain-mainkan terong di kemaluannya, tangan lainnya menelusuri dada dan perut Pak Giman, turun terus, ke bawah tas pinggang kumalnya, sampai ke bagian depan celana Pak Giman.

Pak Giman bukanlah orang yang suka main perempuan, dia cukup setia dengan istrinya yang dia tinggal di kampung halaman agar mengurus anak, tapi menghadapi seorang perempuan muda berpenampilan seksi yang dengan ganas melumat bibirnya dan mengelus-elus burungnya, tukang sayur itu tak berdaya. Dia tak kuasa melawan ketika Sovi menarik turun resleting celananya dan langsung mengocok penisnya. Selesai menciumi habis bibir Pak Giman, Sovi langsung berjongkok di hadapan Pak Giman, mengamati terong yang masih juga dia sodok-sodokkan sendiri ke vaginanya, lalu barang aslinya yang memang hitam dan sekarang keras di depannya. Tanpa memedulikan apapun termasuk kata-kata penolakan setengah hati dari Pak Giman, Sovi menggesekkan pipinya ke batang hitam tegap itu, mengendus baunya, menjulurkan lidah untuk mencicipi rasanya.

“Aduh… Bu Sovi… jangan Bu Sovi…” keluh Pak Giman, yang konak sekaligus ketakutan karena tidak tahu apa yang terjadi pada langganannya itu.

Tapi dia tidak berbuat apa-apa untuk menjauh dari Sovi. Dia hanya bengong sambil melihat burungnya yang sudah tegang dipermainkan Sovi. Sovi makin berani, dan sekarang mulai memasukkan penis Pak Giman ke mulutnya. Bibir atas Sovi menjepit daging kemaluan Pak Giman sementara bibir bawahnya menjepit terong paling beruntung di dunia. Pak Giman merasa bulu kuduknya berdiri ketika gigi dan lidah Sovi menyentuh urat-urat di barangnya. Dia tak tahu apakah harus merasa senang atau khawatir selagi membiarkan kemaluannya dilumat Sovi. Sementara yang mengisap tidak peduli, yang Sovi pikirkan hanyalah betapa besarnya kejantanan Pak Giman, dan betapa kerasnya terong yang menjolok kewanitaannya. Ada yang bilang perempuan lebih mampu melakukan multitasking, mengerjakan beberapa tugas sekaligus, daripada laki-laki. Setidaknya Sovi memang seperti itu, karena dia menyodok vaginanya sendiri makin cepat dan dalam dengan terong betulan sambil memperhebat godaannya terhadap ‘terong’ Pak Giman.

Sementara Pak Giman yang tidak bisa multitasking itu akhirnya tak bisa berbuat apa-apa karena urutan penalaran di otaknya sudah dibajak oleh kenikmatan badani yang diberikan mulut Sovi. Tubuh Sovi ikut menggelinjang selagi nafsunya terus meningkat menuju puncak. Terong di kemaluannya digerakkan makin dahsyat… sampai akhirnya membuat Sovi menjerit keenakan dalam klimaks.

Mendengar suara kenikmatan Sovi yang begitu menggoda, Pak Giman merasa tak kuat lagi menahan. Muncratlah burungnya tepat di depan Sovi, gairahsex.com sehingga wajah cantik Sovi ternoda cairan kelelakian si tukang sayur. Sovi terduduk lemah, merasakan hangatnya benih terlarang Pak Giman menerpa hidung dan pipinya. Pak Giman yang masih agak panik melihat ada kesempatan dan segera menutup celananya, lalu mencoba beranjak selagi Sovi terduduk lemas akibat orgasme. Sambil memalingkan muka dia berusaha keluar, tapi ketika dia membuka pintu dan mau meninggalkan ruang tamu Sovi, dia merasakan celananya ditarik. Pak Giman menoleh dan melihat wajah Sovi yang belepotan sperma itu menunjukkan ekspresi lapar. Lapar akan laki-laki.

“Aduh, Bu Sovi… tolong jangan… Saya nggak bisa…” pinta Pak Giman dengan wajah memelas. Kurang pantas sebenarnya tampang memelas dengan Giman se-sangar itu. Saat itu juga Sovi berdiri pelan-pelan, lalu mendekatkan mukanya ke muka Pak Giman yang ketakutan, lalu berbisik:
“Maafin yang tadi Pak… tolong jangan cerita ke siapa-siapa… Dan ambil aja kembalian yang tadi.”
Nada suaranya begitu kalem sehingga Pak Giman jadi tenang lagi. Sovi berbisik lagi, kali ini nadanya agak manja.

“Jangan nggak balik lagi ya Pak Giman… saya tetap mau langganan belanja sama Pak Giman, ya? Janji deh, nggak akan terjadi lagi yang seperti ini…”

“…Iya …iya …” Pak Giman mengiyakan dengan lirih. Setelah itu, Sovi melepaskan tangannya, dan Pak Giman bergegas pergi. Dengan terburu-buru Pak Giman mendorong gerobak sayurnya keluar. Karena masih panik, gerobaknya sampai menabrak pagar rumah Sovi sewaktu mau keluar.

Setelah Pak Giman pergi, Sovi baru merasakan betapa tak wajarnya tindakannya tadi. Cepat-cepat dia buang terong yang tadi membuatnya orgasme. Kenapa dia sampai begitu? Berfantasi mengenai tukang sayur sampai-sampai ‘tanpa sengaja’ membeli terong untuk memuaskan dirinya sendiri, dan memaksa melakukan oral seks terhadap Pak Giman yang sejenak terjebak dalam rumahnya? Sovi bingung sendiri.

Setelah pagi hari yang tak terduga itu, Sovi akhirnya bisa menenangkan diri kembali. Dia melanjutkan lagi rutinitasnya, membaca laporan dan berkas-berkas yang berkaitan dengan usaha keluarganya, melakukan beberapa perhitungan, sambil menyiapkan makan siang untuk dirinya sendiri. Dia tak mengganti baju daster pendek biru-nya. Dia juga sudah mencuci muka, dan memulas kembali mukanya dengan make-up sehingga dia kembali tampak secantik penampilannya tadi pagi. Sovi makan siang sendirian, hanya nasi dengan lauk seadanya. Dia juga membelah pepaya yang tadi pagi dibelinya dari Pak Giman. Pepaya itu terlalu besar. Kalau hanya dimakan berdua dengan Bram, tidak akan habis dengan cepat. Ah, kalau begitu separonya nanti sore kukasih Kak Citra, pikir Sovi. Sepinya siang itu tiba-tiba terpecah suara genjrengan gitar, tepuk tangan, dan nyanyian asal-asalan dari depan pintu.

AGEN POKER TERPERCAYA

“Ibu-ibu bapak-bapak siapa yang punya anak bilang aku aku yang tengah malu sama teman-temanku karena cuma diriku yang tak laku-laku” khas pengamen jalanan yang ga ngerti nada.

Terdengar suara dua orang laki-laki, suara ‘tanggung’ seperti baru pecah, peralihan dari suara anak-anak ke dewasa. Sovi yang sedang duduk di depan meja makan sambil mengunyah seiris kecil pepaya dan menghadapi piring bekas makan siang segera minum dan mengelap mulut, lalu bergerak ke depan untuk mengintip sumber suara itu dari balik jendela depan. Di luar pagar dilihatnya dua bocah tanggung, seperti seumuran anak kelas 3 SMP atau 1 SMA. Salah satu membawa gitar akustik yang ditempeli banyak stiker, sementara kawannya cuma mengandalkan tepuk tangan untuk mengiringi nyanyian. Sovi kembali ke dalam untuk mengambil sedikit uang dari dompetnya, bermaksud berbagi rezeki dengan kedua pengamen muda itu. Sovi lalu membuka pintu samping yang terhubung dengan ruang makan dan dapur, dan berjalan keluar.

Setelah keluar, Sovi bisa melihat lebih jelas kedua pengamen itu, keduanya tampak seperti halnya anak jalanan, lusuh, kurus, dan berkulit gelap terbakar matahari. Keduanya mengenakan jeans belel dan kaos hitam bertuliskan nama-nama band beraliran gahar. Gaya rambut keduanya sama-sama tak biasa, yang bertepuk tangan rambutnya dibuat spike, mencuat di sana-sini seperti duren atau landak, sementara kawannya yang main gitar membotaki pelipis kiri-kanan sehingga mirip gaya mohawk walaupun rambutnya yang tersisa di tengah tidak diberdirikan, mungkin karena kurang modal. Terlihat tindikan menghiasi tempat-tempat yang umum di muka mereka.

“Makasih tante…” kata si rambut mohawk ketika menerima dua lembar uang seribuan dari tangan Sovi. Yang memberi dan yang menerima sama-sama tersenyum, Sovi tersenyum tulus karena senang bisa beramal, kedua pengamen itu tersenyum bahagia karena bisa ketemu perempuan secantik bidadari pada siang yang panas itu. Biasanya mereka ketemu pembantu, nenek-nenek, atau anjing penjaga. Senyum si rambut mohawk tapi berubah ketika dia mengingat sesuatu.

“Lho… ini Kak Sovi kan?”
Sovi cukup kaget juga mendengar si pengamen rambut mohawk menyebut namanya. Tahu dari mana… eh, memang sepertinya… Dia kan…
“Marvel?”

Si mohawk nyengir memamerkan giginya yang menguning dan bolong satu.
“Iya Kak, saya Marvel, yang dulu di rumah singgah!“

“Ooo, Marvel! Iya iya, inget. Yang waktu dulu itu ya. Kamu udah gede, ya?”
“Hehehe, iya dong kak, kan udah tambah umur sekarang.”

Kegiatan bakti sosial Sovi waktu mahasiswa juga mencakup menjadi guru bagi anak-anak terlantar di suatu rumah singgah. Salah seorang anak yang sempat dia ajar adalah Marvel, yang sekarang kebetulan ngamen di depan rumahnya. Marvel dulu bandel dan liar karena ditempa kerasnya kehidupan di jalan, tapi di rumah singgah itu dia paling menurut pada Sovi.

“Eh, Marvel, ayo masuk dulu! Kak Sovi pengen ngobrol sama kamu sebentar, ya. Lagian sekarang kan panas, kalian mau minum dulu kan?” Sovi menawarkan.

“Gimana, Elang?” Marvel menengok, bertanya ke temannya yang berambut landak. Temannya mengangguk. Sovi membukakan pintu garasi lalu mempersilakan keduanya masuk. Marvel dan kawannya yang dia panggil Elang itu masuk, lalu duduk di teras.
“Ayo masuk aja, gak usah malu-malu,” ajak Sovi.

“Jangan repot-repot Kak Sovi, kita di luar aja,” tampik Marvel sopan. Elang langsung menyindir kawannya,

“Ceileh, sopan amat lu Vel, kalo ngadepin cewek cantik aja langsung sok keren, kayak ganteng aja lu…” yang mengakibatkan kepala landak Elang ditoyor Marvel.
“Kirik, diem lu, dia kakak gue yang ngajarin gue dulu, masa’ gue ga sopan ama dia?” balas Marvel. Sovi tertawa kecil melihat tingkah kedua pengamen itu.

“Marvel dan… siapa tadi, Elang? Tunggu di sini dulu ya. Biar Kak Sovi ambil airnya dulu.”
Sovi masuk kembali ke rumah lewat pintu samping, yang menuju ke ruang makan. Diambilnya sebotol air es dari kulkas. Di dalam kulkas dilihatnya pepaya yang sebagian sudah dia makan tadi. Dia putuskan untuk berbagi cemilan juga dengan kedua bocah tadi. Maka diiriskannya dua potong besar pepaya untuk Marvel dan Elang. Marvel dan Elang yang meneruskan adu cela sambil duduk di lantai teras terdiam ketika Sovi muncul lagi. Keduanya terpesona dengan sosok Sovi yang tampak begitu cantik di mata mereka. Apalagi nyonya muda itu datang membawa sebotol air sejuk dan sepiring buah segar. Seolah-olah bidadari datang dari kahyangan membawa berkah kenikmatan bagi manusia-manusia hina seperti mereka berdua. Sungguh bersyukur Marvel dan Elang siang itu, bisa duduk sambil mendinginkan tenggorokan mereka yang kering dengan minum air dingin dan makan pepaya ditemani seorang wanita jelita.

Sambil menemani kedua pengamen itu, Sovi ngobrol lebih lanjut dengan Marvel tentang keadaan di rumah singgah. Sovi berhenti mengajar di sana waktu mulai membuat skripsi, dan tidak pernah ke sana lagi setelah lulus dan menikah. Menurut Marvel, kegiatan belajar di sana terus berlanjut, tapi Marvel sendiri yang sudah tambah besar mulai jarang ikut, dan dia menyambung hidup dengan ngamen bersama kawan-kawannya sesama anak jalanan, termasuk Elang. Sovi menasihati agar Marvel jangan melupakan sekolah, supaya tetap bisa punya masa depan. Elang tidak banyak bicara karena baru kenal dengan Sovi, tapi Sovi memperhatikan bahwa mata teman Marvel itu tak lepas-lepas mengamatinya. Tak lama kemudian suguhan air es dan pepaya pun habis. Untuk pertama kali, Elang berbicara dengan Sovi.

“Kak, makasih ya. Kalau boleh, biar kita cuci-in piring dan gelas bekas kita.” Setelah berpikir sebentar Sovi setuju.

“Silakan. Di dalam aja ya nyucinya. Ayo ikut Kakak.”
Elang dan Marvel membawa piring dan gelas mengikuti Sovi yang masuk ke rumah lewat pintu samping. Di balik pintu samping itu ada koridor pendek sempit menuju ruang makan dan dapur rumah Bram dan Sovi. Sovi menunjukkan wastafel tempat cuci piring dan kedua pengamen itu pun mencuci alat makan yang tadi mereka pakai. Setelah selesai, keduanya berbalik untuk keluar rumah. Sovi berjalan mendahului mereka ke arah pintu, bermaksud membukakan pintu samping. Elang berada tepat di belakang Sovi. Ketika Sovi hendak membuka pintu, dengan iseng Elang mencolek pantat Sovi.

“Aww!?”
Sovi memekik dan langsung menangkap tangan Elang yang belum jauh dari pantatnya. Marvel yang berada di belakang Elang menyadari apa yang baru dilakukan temannya, dan langsung menarik kerah kaos Elang dari belakang.

“WOY!” teriak Marvel langsung ke kuping Elang.
“Lu jangan berani kurang ajar sama kakak gue ya, kirik!”
“Aduh, maaf banget Kak Sovi, si kirik ini emang brengsek, biasa nongkrong di rumah emaknya di lokalisasi soalnya, makanya tangannya jail. Ayo lu minta maaf sama kakak gue! Sekarang!”
Bukannya insyaf, Elang malah menghardik balik.

“Jangan bawa-bawa emak gue juga dong, bangke!”
“Sudah, sudah!” seru Sovi. Kedua pengamen itu memandangi muka Sovi dan anehnya Sovi terlihat sangat tenang, tidak marah ataupun malu sebagaimana biasanya perempuan kalau habis dilecehkan.
“Marvel, nggak usah marah sama dia, Kakak nggak apa-apa kok,” kata Sovi kalem.
“Tapi Kak… dia udah gak sopan sama Kakak! Emang pantas dihajar dia Kak!” Marvel masih panas.
Tangan Sovi yang satu lagi meraih tangan Marvel yang mencengkeram leher kaos Elang, lalu menggenggamnya dengan lembut sehingga cengkeraman Marvel lepas.

“Makasih ya Marvel, kamu mau ngebelain Kakak. Nggak apa-apa kok. Elang nggak salah.”
Genggaman lembut Sovi membuat amarah Marvel mereda. Padahal tadi dia sudah siap menonjok Elang.

“Elang,” kata Sovi,
“Dari tadi kamu ngelihatin Kakak kan?”
“I… iya…” kata Elang pelan.
“Kenapa, Elang?”

“Habisnya… Kakak seksi, sih… gimana gak ngelihatin…” jawab Elang dengan jujur.
“Udah gue bilangin lu jangan kurang ajar sama kakak gue!” lagi-lagi Marvel mendamprat Elang.
“Marvel, udah dong, jangan marah sama dia…” Dan tanpa disangka-sangka Marvel, tangan Sovi melepas genggaman di tangan Marvel, membelai lembut pipi Marvel, lalu kembali menggenggam tangan Marvel. Sovi kembali ke Bolaank.

“Emangnya tadi kamu lihatin apa, Elang?”
“…Uh…”
“Ya?” Sovi tersenyum ke arah Elang yang sekarang tersipu. Elang bingung apakah harus menjawab atau tidak.

“…ya… ngelihatin muka Kakak… kulit Kakak… habisnya Kak Sovi cantik ih…”
Sovi menarik tangan Elang yang tadi mencoleknya ke dekat mukanya sendiri… dan menggigit lembut jari telunjuk Elang.

“Elang bohong ya sama Kakak…” kata Sovi dengan nada nakal.
“Bilang yang jujur, kalo enggak Kak Sovi gigit lebih keras ni…”
Elang tidak yakin gigitan Sovi bakal serius, tapi dia kemudian merasakan tekanan gigi Sovi, dan dia memutuskan untuk segera menjawab.

“Iyaiyaiya Elang ngaku… Tadi Elang ngelihatin… toket Kakak.”
“Hmm…” gumam Sovi. “Terus?”

“…ngelihatin pantat Kakak juga, habis bohay sih, apalagi waktu jalan di depan Elang tadi…”
Marvel berusaha menarik tangannya dari genggaman Sovi, mau menghajar Elang, tapi Sovi tidak melepasnya. Bukan cuma itu,setelah melepas jari telunjuk Elang dari gigitan, giliran tangan Marvel yang Sovi tarik ke dekat mukanya. Marvel tertegun melihat Kak Sovi yang selalu dikaguminya itu menjilat dan mengulum telunjuk dan jari tengahnya. Kedua pengamen muda itu kini dalam posisi berhadapan dengan Sovi di koridor sempit yang menghubungkan pintu samping menuju luar rumah dan ruang makan, tangan kiri Sovi menggenggam tangan kanan Elang yang tadi digigit, dan tangan kanan Sovi menggenggam tangan kanan Marvel yang barusan dikulum. Jantung keduanya berdebar-debar akibat tindakan Sovi yang berani itu.

“Makanya kamu tadi nyolek pantat Kakak, ya Elang?” tanya Sovi.
“Ehm…” Elang tak berani menjawab karena malu.
“Kalau gitu kamu mau nyolek toket Kakak juga kah?” tanya Sovi lagi.
“…” Elang tambah tidak bersuara.
“Hayooo…” sindir Sovi.

“Kak…” Malah Marvel yang menanggapi, biarpun tidak jelas mau bicara apa.
Saat itu juga, tanpa menunggu persetujuan yang punya tangan, Sovi menarik tangan Elang sampai menyentuh payudaranya. Daster birunya tidak memberi perlindungan memadai kepada sepasang keindahan di dada Sovi itu, dan sejak tadi memang Elang sudah bisa menikmati lembah dan dua bukit mulus nan sekal yang mengintip di balik kain tipis. Elang menatap muka Sovi dengan tak percaya, dan Sovi membalas tatapan Elang dengan anggukan setuju. Dengan malu-malu Elang mengembangkan jemarinya dan mulai menjamah kelembutan buah dada Sovi.

“Elang!” teriak Marvel tak setuju. Dia mau protes lagi, tapi keburu merasakan sensasi aneh tapi menyenangkan ketika tangannya dibawa ke payudara Sovi yang satunya. Marvel merasa bulu kuduknya berdiri ketika jarinya berkenalan dengan empuknya payudara Sovi.

“Kak… Sovi…” Marvel hanya bisa berkomentar lirih ketika dia tak kuasa melarang tangannya mengikuti tangan Elang mencengkeram sepasang payudara Sovi. Rasanya tak percaya dia melihat Kak Sovi yang begitu baik dan pintar dan cantik itu membiarkan tubuhnya dipegang-pegang orang. Lebih dari itu: Sovi malah membuat tangan mereka berdua meremas-remas payudaranya. Namun sebagai remaja di tengah masa puber Marvel tak bisa melawan gelora nafsu yang dipicu Kak Sovi idolanya.

“Emmm…” Sovi menggumam karena remasan tangan kedua pengamen muda itu mulai membangkitkan gairahnya. Dia kemudian menjauhkan tangan Marvel dan Elang dari payudaranya, dan mendekat ke keduanya.
“Marvel, Elang… Gimana rasanya dada kakak?” tanya Sovi dengan bibir tersenyum manis. Marvel tidak berani menjawab. Elang berani.
“Kenyal… empuk…”
“Pengen lihat?” pancing Sovi. Elang mengangguk.

Sovi melepas tangan Elang, dan segera memelorotkan kedua tali bahu dasternya. Kedua pengamen menahan nafas melihat sepasang buah ranum terbebaskan dari bungkusannya, menantang mereka berdua untuk menikmati. Tadi keduanya tidak berani bertindak. Sovi tertawa kecil melihat mereka berdua salah tingkah.

“Kak… Kak Sovi…” Dari tadi Marvel tidak bisa berkata yang lain. Sovi tersenyum ke arah Marvel, lalu merangkul kepala Marvel, dan mendekatkan muka Marvel ke dadanya. Elang menelan ludah karena iri, sementara Marvel tiba-tiba merasa sangat nyaman, damai, dan nikmat ketika pipinya bersandar di bantalan empuk payudara Sovi. Saat itu Marvel bersyukur, dalam kehidupannya yang kurang bahagia dia berkesempatan bertemu Sovi, tidak hanya karena Sovi cantik dan baik dan mengajarinya banyak hal, tapi juga karena Sovi telah memberinya kebahagiaan seperti itu. Sovi mendekap dan mengelus-elus kepala Marvel seolah-olah Marvel itu bayi yang sedang digendongnya. Sentuhan paku logam yang menyelip di alis Marvel membuat Sovi geli.

“Elang mau juga?” tanya Sovi kepada Elang yang sudah menanti, dan tanpa menunggu ditarik, Elang langsung mendekatkan mukanya ke payudara Sovi yang satunya. Seperti yang tadi disebut Marvel, Elang memang besar di lingkungan pelacuran, dan meski masih sangat muda dia bukan orang yang polos dalam hal menyentuh wanita. Kalau Marvel cuma bersender, Elang malah buka mulut dan menjulurkan lidahnya menyentil-nyentil puting Sovi. Sovi terpekik lagi akibat ulah nakal Elang, tapi dia membiarkan Elang melakukan itu.

Sambil merangkul Elang, Sovi meraih muka Marvel. Sovi berbisik,
“Marvel kamu pernah ciuman nggak?” yang dijawab Marvel dengan gelengan kepala.
Dan serta-merta Sovi memberikan pengalaman ciuman pertama untuk anak jalanan yang pernah diajarnya itu. Tidak tanggung-tanggung, ciuman pertama Marvel bukan sekadar kecupan singkat dari Sovi, melainkan french kiss penuh nafsu. Marvel kaget, dia tak menyangka Kak Sovi-nya bisa bersikap seperti ini. Selama ini Marvel mengagumi Sovi seolah seorang dewi, dengan kebaikan dan kasih sayang serta kecantikan sederhana yang anggun, namun imej itu dikacaukan tindakan Sovi. Namun itu tidak membuat rasa kagum Marvel terhadap Sovi pudar. Hanya saja dia tidak mudah mengerti mengapa Sovi jadi seperti ini. 

Ataukah dia saja yang tak pernah tahu sifat Sovi yang sebenarnya? Sementara lidah Sovi bertemu dengan lidah Marvel di dalam rongga mulut Marvel, lidah Elang terus beraksi di seputar puting kiri Sovi. Elang tidak hanya menjilat dan menyentil, tapi juga menggigit dan mengulum puting Sovi. Elang makin berani ketika dia merasa tangan Sovi di belakang kepalanya justru menekan kepalanya mendekat, pertanda Sovi suka dengan perbuatannya. Sovi mulai melakukan gerakan lain, kedua tangannya kini sudah tak lagi menggenggam tangan Marvel dan Elang, tapi mulai menyelip di balik kaos Marvel untuk mengelus perut dan dada Marvel, dan merangkul Elang. Bukan tubuh atas mereka berdua yang menjadi sasarannya… tak lama kemudian tangan Sovi sudah turun sampai jendulan di balik celana kedua pengamen itu. Tidak heran kalau mereka ngaceng, siapa yang tidak demikian kalau sedari tadi digoda Sovi. Sovi tersenyum ke kedua bocah itu, seolah-olah baru menangkap mereka berdua berbuat kenakalan.

“Hihihi… kok kalian konak sih…?” goda Sovi, pura-pura tidak tahu penyebabnya.
Marvel membuang muka, masih malu, sementara Elang balas nyengir. Dasar Elang sudah berpengalaman, dengan kurang ajarnya dia membuka resleting celana dan mengeluarkan burungnya, yang disambut tangan Sovi tanpa ragu. Sementara Marvel tetap terpaku, bingung antara ingin ikut-ikutan berani seperti Elang atau tetap bersikap menghormati Sovi. Sovi menyadari kebingungan Marvel.
“Marvel… tenang aja ya? Kamu ikutin Kakak aja.”

Di sisi lain, tangan Elang menggenggam tangan Sovi yang sekarang mulai membungkus ereksinya, dan mulai menggerakkannya naik-turun, membuat Sovi mengocok anunya. Sovi menoleh dan tersenyum ke arah Elang, membiarkan saja si rambut landak menyalahgunakan tangannya. Perhatian Sovi kembali ke Marvel. Sambil tetap mengocok Elang, Sovi mengecup lembut bibir Marvel, lalu pelan-pelan berlutut. Begitu mukanya sudah sejajar dengan selangkangan Marvel, seperti seorang pelacur profesional Sovi menggigit resleting celana Marvel dan menurunkannya, kemudian menjilati jendulan hangat yang masih terbungkus celana dalam.

“Kak… jangan Kak… kan kotor…” pinta Marvel. Sovi melirik ke atas, melihat wajah Marvel yang khawatir, dan dengan cueknya dia malah membuka kancing dan memelorotkan celana Marvel sekaligus dalamannya. Sovi membelai-belai dan memijit-mijit penis Marvel. Marvel tak bisa menahan desah keenakan keluar dari mulutnya ketika sentuhan jemari Sovi memanjakan kemaluannya. Apapun yang mau diperbuat Sovi, Marvel sudah tak ambil pusing lagi, dia hanya mau menikmati. Pandangan Marvel terpaku kepada wajah, tangan, dan payudara Sovi yang menggoda, menyihirnya sehingga terperangkap dalam hasrat.
 
Sovi melepas pegangannya terhadap penis Marvel dan Elang, lalu menarik selangkangan Marvel makin dekat dengan tubuhnya. Sovi lalu mengangkat tubuhnya sehingga selangkangan Marvel sejajar dengan dadanya. Sekali lagi diajaknya tangan Marvel menjamah buah dadanya. Di depan muka langsung, Sovi memandangi batang Marvel yang berdiri tegak. Ketika Sovi mencium kepala penis Marvel, Marvel menahan nafas. Sovi melanjutkan dengan memberi gigitan-gigitan halus sepanjang bagian bawah batang itu. 

Sementara itu salah satu lengan Sovi meraih ke belakang tubuh Marvel, menggenggam dan mendorong pantat Marvel supaya tubuh Marvel makin merapat. Kemudian si nyonya muda memutuskan memberi kenikmatan bentuk lain kepada Marvel. Memang payudaranya berukuran hanya sedikit di atas rata-rata, tidak besar sekali, tapi cukup untuk melakukan yang ingin dia lakukan. Kedua tangan Sovi menggenggam kedua payudaranya sendiri, lalu menjepitkan keduanya ke penis Marvel. Kelembutan kedua gundukan itu membuat Marvel serasa terbang. Dia mengikuti refleks tubuhnya sendiri dan menggesek-gesekkan batangnya maju-mundur menembus jepitan belahan dada Sovi. Elang tidak mau ketinggalan, dia berlutut di belakang Sovi dan merangkul pinggang Sovi. Jemarinya bergerak ke arah bibir vagina Sovi. Anak itu jelas-jelas tidak polos, dia tahu apa yang mau dia lakukan. Dia menjulurkan jemarinya ke dalam vagina Sovi dan mendapati bagian dalamnya sudah becek. Sambil nyengir ditaruhnya kepala kontolnya di bibir vagina Sovi, tapi.

“Eit, maaf ya Elang… boleh pegang, gak boleh dimasukin,” kata Sovi sambil meraih ke belakang dan menggenggam penis Elang. Elang dilarang mempenetrasi. Tapi Sovi lantas menggesek-gesekkan belahan memeknya mengelus batang Elang.

Sovi menyadari bahwa posisinya belum memungkinkan dia menyervis kedua pengamen muda itu berbarengan, sehingga kemudian dia menyuruh Marvel duduk. Marvel duduk di lantai, mengangkang, ereksinya tetap tegak menantang. Sovi menjauh lagi dari Elang untuk berlutut dan kemudian berposisi merangkak di depan Marvel, kedua buah dadanya menggantung, tangannya kembali mengocok batang Marvel. 

Sovi menempatkan kejantanan Marvel di antara kedua buah dadanya, lalu menurunkan tubuh depannya sehingga batang Marvel kembali terjepit dalam kenikmatan. Gerak maju-mundur tubuh Sovi membuat kedua buah dadanya melumat penis Marvel, menimpakan godaan badani yang dahsyat kepada alat kelamin yang belum pernah merasakan lawan jenis itu. Sementara itu Sovi sepertinya maklum Elang akan bertindak sendiri, dan melihat Sovi kini berposisi nungging di depannya, mana bisa Elang diam saja? Tapi Elang tetap menuruti permintaan Sovi tadi untuk tidak mempenetrasi, dan dia memilih memuaskan diri dengan menyibak bagian belakang daster Sovi sehingga menyingkapkan pantat bahenol perempuan yang diidolakan Marvel itu, mencengkeram kedua belah pantat Sovi, dan menggesek-gesekkan batangnya di lembah antara keduanya. Marvel tak kuasa menahan sensasi lembut yang membekap kemaluannya. Setelah hampir satu menit digeluti kedua tetek Sovi, jebol juga pertahanan Marvel. 

Dia memejamkan mata dan meringis ketika tak bisa lagi menahan maninya muncrat ke dada dan leher Kak Sovi yang begitu dikaguminya. Mungkin karena jarang dikeluarkan, ejakulasi Marvel cukup banyak, terciprat menodai tubuh Sovi. Elang bertahan lebih lama, apalagi dia dilarang memasuki vagina atau anus Sovi yang sudah menantang di depannya. Cukup lama dia menggesek-gesekkan batangnya di belahan pantat dan bibir memek Sovi, menikmati kehangatan dan kelembutan tubuh bagian bawah Sovi. Sekali-sekali dikemplangnya pantat Sovi.

Tak lama kemudian, Sovi merasakan seciprat-dua ciprat cairan kental menimpa punggung bawahnya. Elang keluar juga akhirnya. Untuk beberapa lama mereka bertiga tetap terdiam, Marvel terduduk, Sovi meringkuk dan kepalanya menyandar di perut Marvel, Elang juga terduduk lelah di belakang Sovi. Yang pertama kali tersadar dan merasa tidak enak adalah Marvel, buru-buru dia bangkit dan membantu Sovi bangun. Marvel langsung menaikkan dan mengancingkan lagi celananya, lalu mengulurkan tangan seolah ingin membantu Sovi membetulkan pakaiannya yang tersingkap, tapi kemudian ragu dan menarik lagi tangannya. Marvel melihat ke kanan dan kiri, menemukan sekotak tisu, lalu mengambil beberapa lembar dan menyodorkannya ke Sovi sambil menunduk.

“Ka… Kak Sovi… maaf… Marvel…” Suara Marvel tercekat, seperti mau menangis, agaknya dia merasa bersalah karena perbuatannya barusan. Sovi menerima tisu yang disodorkan, dan menyeka sperma Marvel dan Elang yang menodai tubuhnya. Dihampirinya Marvel dan diciumnya kening Marvel.

“Kamu gak salah Marvel… ga usah minta maaf. Mestinya Kakak yang minta maaf soalnya udah ngegodain kamu,” kata Sovi lembut sambil mengelus rambut Marvel. Marvel mengangguk dengan agak takut. Sementara di sisi lain, Elang senyum-senyum sendiri.

Tanpa banyak kata, kedua pengamen itu pamit dan meninggalkan rumah Sovi dengan perasaan campur aduk. Sebelum mereka pergi, Sovi sekali lagi meminta maaf kepada Marvel dan mengatakan Marvel boleh mampir ke rumahnya kapan saja. Tinggallah Sovi sendiri. Satu sisi dirinya bertanya-tanya, mengapa dia bisa bertindak seberani itu. Sisi lain dirinya puas karena berhasil menggoda kedua pengamen itu. Dia memang belum mencapai klimaks, tapi dia menyadari bahwa dia sangat menikmati menggunakan tubuhnya untuk merangsang dan menguasai kedua remaja tanggung itu. Dia senang bisa membuat keduanya lepas kendali dan jatuh dalam pelukan birahi. Sovi sedang berubah…

AGEN POKER TERPERCAYA INDONESIA

Cerita Dewasa / Cerita Sex / Cerita ABG / Cerita Dewasa Hot / Cerita Dewasa SMA / Kumpulan Cerita Dewasa


No comments:

Post a Comment