AGEN POKER
Cerita Dewasa / Cerita Sex / Cerita ABG / Cerita Dewasa Hot / Cerita Dewasa SMA / Kumpulan Cerita Dewasa
Biarpun orangtuanya pengusaha sukses, sejak kecil Sovi terbiasa
bergaul dengan orang-orang kalangan bawah. Ketika kuliah pun Sovi sering
aktif dalam kegiatan bakti sosial sehingga sering bertemu dengan
golongan kurang berada. Sovi memang punya kepedulian sosial yang besar,
dan patut diacungi jempol karena konsisten mempraktekkannya dalam
kehidupan nyata. Salah satu wujudnya adalah dalam kebiasaan Sovi
berbelanja. Sementara nyonya-nyonya kalangan atas biasanya ogah
berbelanja di pasar atau di tukang sayur dan memilih belanja di pasar
swalayan, Sovi lebih suka belanja kebutuhan dapur sehari-hari di tukang
sayur.
Dan hari itu pun, seperti biasa, seorang tukang sayur langganan Sovi
lewat di depan rumah. Sovi membuka garasi membiarkan gerobak tukang
sayur masuk. Tukang sayur langganan Sovi adalah seorang laki-laki
berumur 40-an tahun, namanya Legiman, tapi lebih terkenal di kalangan
ibu-ibu pelanggannya dengan nama “Pak Giman”. Wajah bulatnya yang
berkulit hitam biasa tertutup caping. Ketika datang ke rumah Sovi pagi
itu, Pak Giman mengenakan kaos partai bekas kampanye bertahun-tahun lalu
yang belel dan agak kekecilan sehingga perutnya yang membuncit tampak
menonjol, juga celana panjang usang dan sandal jepit.
Memang bisnis tukang sayur itu tak besar-besar amat untungnya, tapi
Pak Giman tidak mempermasalahkan jalan hidupnya, yang penting ada
kerjaan biar bisa makan. Apalagi kalau dia mengingat bahwa masih banyak
ibu-ibu yang menunggu kehadirannya Tiap pagi. Pak Giman harus mengakui,
salah satu langganannya tampil agak beda hari ini. Ya, Bu Sovi memang
masih muda dan lumayan menarik, tapi pagi ini, dengan baju lebih pendek
dan rias wajah, dia terlihat lebih menarik. Tapi sebagai tukang sayur
profesional yang berpengalaman, Pak Giman tetap melayani Sovi dengan
baik seperti biasa.
Sovi memilih-milih tomat, bawang, terong, toge, pepaya. Belum
terpikir mau masak apa untuk Bram nanti malam. Ah, ikan saja. Dengan sop
sayuran. Cuci mulutnya pepaya segar. Dimintanya Pak Giman memilih dua
ekor ikan yang kemudian dibersihkan sisik dan dibuang isi perutnya. Sovi
memperhatikan lengan Pak Giman yang bergerak-gerak ketika pemiliknya
menyiapkan ikan. Lengan berkulit hitam itu ternyata berotot dan tegap,
maklum karena waktu muda pemiliknya Tiap hari berolahraga mencangkul
sawah di kampung, dan sampai sekarang pun masih terus latihan mendorong
gerobak yang lumayan berat berkeliling kompleks. Sepintas Sovi
membayangkan bagaimana rasanya dirangkul oleh lengan-lengan itu…
“Semuanya empat puluh empat ribu, Bu Sovi,” suara Pak Giman membuyarkan lamunan Sovi.
Pak Giman menyodorkan dua kantong plastik berisi belanjaan Sovi, ikan
dan sayuran dan pepaya, dengan sopan. Sovi menerimanya lalu membuka
dompet. Ada beberapa lembar uang Rp100.000 di dalamnya tidak ada uang
kecil.
“Saya adanya seratus ribuan Pak, ada kembaliannya?” tanya Sovi sambil menyodorkan selembar Rp100.000.
“Tunggu sebentar ya Bu,” Pak Giman kemudian membuka tas pinggang
kumal yang melingkari perutnya. Dikeluarkannya beberapa lembar uang yang
kucel, lalu dihitungnya.
“Wah, nggak ada kembaliannya, Bu. Saya tinggal dulu ya? Mau tukar duit.”
Pak Giman pergi meninggalkan garasi rumah Sovi dan gerobak sayurnya
di sana sebagai jaminan, kalau-kalau dia tidak balik lagi Sovi bisa
menyita gerobak tersebut. Nah, rumah Sovi terletak agak jauh dari
warung, toko, pangkalan ojek, dan tempat-tempat lain di mana orang bisa
menukar uang untuk kembalian, jadi sepertinya Pak Giman akan pergi agak
lama. Dengan dua kantong plastik agak berat di tangan, Sovi memutuskan
untuk membawa belanjaannya ke dalam rumah dulu. Tapi…Setelah ada di
dalam rumah, Sovi terpikir mengenai salah satu barang yang baru
dibelinya dari Pak Giman. Jadilah dia berhenti di ruang tamu, duduk di
kursi terdekat, sambil merogoh ke dalam kantong berisi sayuran mencari
barang itu.
Dapat! Sovi memegangi sebuah terong yang tadi dibelinya. Ungu,
panjangnya sekitar 20 senti, dan cukup tebal. Padahal yang mau dimasak
Sovi ikan goreng dan sop sayuran… kenapa dia juga beli terong? Bukan,
Sovi bukan mau memasak terong itu. Entah kenapa, sayuran yang
bersangkutan mengingatkannya kepada sesuatu. Atau lebih tepatnya,
menyerupai fantasinya tentang sesuatu. Sovi menggenggam terong itu penuh
rasa sayang, sambil mengamat-amatinya. Pelan-pelan disingkapnya sedikit
daster pendeknya, sehingga seluruh pahanya terlihat,
terus sampai ke celana dalamnya yang polos dan tipis. Lalu… meskipun tak
mengerti benar mengapa dia melakukannya Sovi kemudian mengeluskan ujung
terong yang dipegangnya ke bagian depan celana dalamnya.
Sentuhan lembut ujung terong yang bulat dan masih keras itu terhadap
vagina di balik celana dalam membuat Sovi merinding. Tambah merinding
dia karena dia tak membayangkan terong itu sebagai sayuran, melainkan
kejantanan penjualnya. Betul, Sovi sedang membayangkan tukang sayur
langganannya yang berkulit hitam dan berlengan kekar itu. Dalam
bayangannya, agar seimbang dengan lengannya yang keras dan Gimannya yang
ganas, senjata pusaka Pak Giman mestilah gelap dan mantap seperti
terong yang dipegangnya. Berulangkali Sovi menggosok-gosok celana
dalamnya dengan terong itu, kadang sampai menekannya agar ujungnya
sedikit melesakkan bahan celana dalam di antara belahan kewanitaannya.
Sovi mulai mendesah selagi nafsunya terbangkitkan. Dia jadi tidak
puas dengan hanya menggoda kemaluannya sendiri dari balik kain, dan
menggeser sedikit celana dalamnya sehingga terong yang beruntung itu
mengelus-elus kedua bibir luar vagina Sovi. Setelah kewanitaannya mulai
basah, Sovi pun tak ragu lagi untuk memberi kesempatan kepada si terong
untuk mempenetrasi vaginanya. Ujung terong itu diterima dengan hangat
dan becek oleh vagina Sovi. Yang dibayangkan Sovi tentunya bukan
bercinta dengan terong, melainkan Pak Giman tukang sayur langganannya
itu. Terong itu pun mulai pelan-pelan digerakkan tangan Sovi keluar
masuk. Sambil mengangkat paha kirinya, tanpa sengaja bibir Sovi
membocorkan apa yang sedang ada di pikirannya.
“Ah… ammm… Pak giman… engg…”
GEDUBRAK! Tiba-tiba pintu depan rumah Sovi terbuka mendadak dan
terjatuhlah tukang sayur yang bersangkutan ke lantai di samping kursi
yang diduduki Sovi. Sovi dan Pak Giman sama-sama terkejut.
Sedikit Intro… Jadi begini ceritanya: Pak Giman sudah berhasil
menukar uang 100 ribu yang diberikan Sovi, dan dia kembali ke rumah Sovi
membawa kembalian. Waktu dia kembali, dilihatnya Sovi sudah tidak ada
di garasi, dan pintu depan rumah Sovi setengah terbuka. Menganggap Sovi
sudah di dalam, Pak Giman mendekati pintu, bermaksud mengetuk pintu
untuk menyerahkan kembalian kepada Sovi. Tapi dia tanpa sengaja malah
mengintip Sovi yang sedang menjebloskan sebuah terong ke vaginanya, dan
sejenak dia tak berani beranjak dari posisinya di depan pintu yang
terbuka sedikit itu. Ketika Sovi menyebut namanya tadi, saking kagetnya,
Pak Giman sampai terpeleset, mendorong pintu sampai meneungkup, dan
jatuh ke dalam rumah.
“Adudududuh…” Pak Giman meringis karena mencium lantai marmer.
“Ahhnnnh…” Sovi meringis karena desakan terong di celah kewanitaannya.
Dua-duanya sama-sama terpaku beberapa saat, lalu tiba-tiba sadar akan
anehnya situasi. Pak Giman buru-buru berusaha bangun dan keluar, tapi
kalah cepat dengan Sovi yang langsung bangkit, dan menutup pintu tanpa
membiarkan Pak Giman keluar dari rumah ataupun terong keluar dari
kemaluannya.
“Eh, Bu Sovi…? mmMmmMM??”
Sovi mendorong Pak Giman ke tembok di belakang pintu, sambil menutup
mulut Pak Giman… dengan bibirnya. Saking kagetnya akan kegesitan gerakan
Sovi, Pak Giman hanya bisa pasrah ketika bibir merah nyonya muda
langganannya itu memaksa bibirnya terbuka lebar, dan lidah Sovi
merangsek ke dalam rongga mulutnya. Dengan buas Sovi memberi french kiss
kepada si tukang sayur, tanpa memedulikan gesekan Giman tebal Pak Giman
yang kasar ke kulit sekitar bibirnya. Satu tangan Sovi kembali
memain-mainkan terong di kemaluannya, tangan lainnya menelusuri dada dan
perut Pak Giman, turun terus, ke bawah tas pinggang kumalnya, sampai ke
bagian depan celana Pak Giman.
Pak Giman bukanlah orang yang suka main perempuan, dia cukup setia
dengan istrinya yang dia tinggal di kampung halaman agar mengurus anak,
tapi menghadapi seorang perempuan muda berpenampilan seksi yang dengan
ganas melumat bibirnya dan mengelus-elus burungnya, tukang sayur itu tak
berdaya. Dia tak kuasa melawan ketika Sovi menarik turun resleting
celananya dan langsung mengocok penisnya. Selesai menciumi habis bibir
Pak Giman, Sovi langsung berjongkok di hadapan Pak Giman, mengamati
terong yang masih juga dia sodok-sodokkan sendiri ke vaginanya, lalu
barang aslinya yang memang hitam dan sekarang keras di depannya. Tanpa
memedulikan apapun termasuk kata-kata penolakan setengah hati dari Pak
Giman, Sovi menggesekkan pipinya ke batang hitam tegap itu, mengendus
baunya, menjulurkan lidah untuk mencicipi rasanya.
“Aduh… Bu Sovi… jangan Bu Sovi…” keluh Pak Giman, yang konak
sekaligus ketakutan karena tidak tahu apa yang terjadi pada langganannya
itu.
Tapi dia tidak berbuat apa-apa untuk menjauh dari Sovi. Dia hanya
bengong sambil melihat burungnya yang sudah tegang dipermainkan Sovi.
Sovi makin berani, dan sekarang mulai memasukkan penis Pak Giman ke
mulutnya. Bibir atas Sovi menjepit daging kemaluan Pak Giman sementara
bibir bawahnya menjepit terong paling beruntung di dunia. Pak Giman
merasa bulu kuduknya berdiri ketika gigi dan lidah Sovi menyentuh
urat-urat di barangnya. Dia tak tahu apakah harus merasa senang atau
khawatir selagi membiarkan kemaluannya dilumat Sovi. Sementara yang
mengisap tidak peduli, yang Sovi pikirkan hanyalah betapa besarnya
kejantanan Pak Giman, dan betapa kerasnya terong yang menjolok
kewanitaannya. Ada yang bilang perempuan lebih mampu melakukan
multitasking, mengerjakan beberapa tugas sekaligus, daripada laki-laki.
Setidaknya Sovi memang seperti itu, karena dia menyodok vaginanya
sendiri makin cepat dan dalam dengan terong betulan sambil memperhebat
godaannya terhadap ‘terong’ Pak Giman.
Sementara Pak Giman yang tidak bisa multitasking itu akhirnya tak
bisa berbuat apa-apa karena urutan penalaran di otaknya sudah dibajak
oleh kenikmatan badani yang diberikan mulut Sovi. Tubuh Sovi ikut
menggelinjang selagi nafsunya terus meningkat menuju puncak. Terong di
kemaluannya digerakkan makin dahsyat… sampai akhirnya membuat Sovi
menjerit keenakan dalam klimaks.
Mendengar suara kenikmatan Sovi yang
begitu menggoda, Pak Giman merasa tak kuat lagi menahan. Muncratlah
burungnya tepat di depan Sovi, gairahsex.com sehingga wajah cantik Sovi
ternoda cairan kelelakian si tukang sayur. Sovi terduduk lemah,
merasakan hangatnya benih terlarang Pak Giman menerpa hidung dan
pipinya. Pak Giman yang masih agak panik melihat ada kesempatan dan
segera menutup celananya, lalu mencoba beranjak selagi Sovi terduduk
lemas akibat orgasme. Sambil memalingkan muka dia berusaha keluar, tapi
ketika dia membuka pintu dan mau meninggalkan ruang tamu Sovi, dia
merasakan celananya ditarik. Pak Giman menoleh dan melihat wajah Sovi
yang belepotan sperma itu menunjukkan ekspresi lapar. Lapar akan
laki-laki.
“Aduh, Bu Sovi… tolong jangan… Saya nggak bisa…” pinta Pak Giman
dengan wajah memelas. Kurang pantas sebenarnya tampang memelas dengan
Giman se-sangar itu. Saat itu juga Sovi berdiri pelan-pelan, lalu
mendekatkan mukanya ke muka Pak Giman yang ketakutan, lalu berbisik:
“Maafin yang tadi Pak… tolong jangan cerita ke siapa-siapa… Dan ambil aja kembalian yang tadi.”
Nada suaranya begitu kalem sehingga Pak Giman jadi tenang lagi. Sovi berbisik lagi, kali ini nadanya agak manja.
“Jangan nggak balik lagi ya Pak Giman… saya tetap mau langganan
belanja sama Pak Giman, ya? Janji deh, nggak akan terjadi lagi yang
seperti ini…”
“…Iya …iya …” Pak Giman mengiyakan dengan lirih. Setelah itu, Sovi
melepaskan tangannya, dan Pak Giman bergegas pergi. Dengan terburu-buru
Pak Giman mendorong gerobak sayurnya keluar. Karena masih panik,
gerobaknya sampai menabrak pagar rumah Sovi sewaktu mau keluar.
Setelah Pak Giman pergi, Sovi baru merasakan betapa tak wajarnya
tindakannya tadi. Cepat-cepat dia buang terong yang tadi membuatnya
orgasme. Kenapa dia sampai begitu? Berfantasi mengenai tukang sayur
sampai-sampai ‘tanpa sengaja’ membeli terong untuk memuaskan dirinya
sendiri, dan memaksa melakukan oral seks terhadap Pak Giman yang sejenak
terjebak dalam rumahnya? Sovi bingung sendiri.
Setelah pagi hari yang tak terduga itu, Sovi akhirnya bisa
menenangkan diri kembali. Dia melanjutkan lagi rutinitasnya, membaca
laporan dan berkas-berkas yang berkaitan dengan usaha keluarganya,
melakukan beberapa perhitungan, sambil menyiapkan makan siang untuk
dirinya sendiri. Dia tak mengganti baju daster pendek biru-nya. Dia juga
sudah mencuci muka, dan memulas kembali mukanya dengan make-up sehingga
dia kembali tampak secantik penampilannya tadi pagi. Sovi makan siang
sendirian, hanya nasi dengan lauk seadanya. Dia juga membelah pepaya
yang tadi pagi dibelinya dari Pak Giman. Pepaya itu terlalu besar. Kalau
hanya dimakan berdua dengan Bram, tidak akan habis dengan cepat. Ah,
kalau begitu separonya nanti sore kukasih Kak Citra, pikir Sovi. Sepinya
siang itu tiba-tiba terpecah suara genjrengan gitar, tepuk tangan, dan
nyanyian asal-asalan dari depan pintu.
AGEN POKER TERPERCAYA
“Ibu-ibu bapak-bapak siapa yang punya anak bilang aku aku yang tengah
malu sama teman-temanku karena cuma diriku yang tak laku-laku” khas
pengamen jalanan yang ga ngerti nada.
Terdengar suara dua orang laki-laki, suara ‘tanggung’ seperti baru
pecah, peralihan dari suara anak-anak ke dewasa. Sovi yang sedang duduk
di depan meja makan sambil mengunyah seiris kecil pepaya dan menghadapi
piring bekas makan siang segera minum dan mengelap mulut, lalu bergerak
ke depan untuk mengintip sumber suara itu dari balik jendela depan. Di
luar pagar dilihatnya dua bocah tanggung, seperti seumuran anak kelas 3
SMP atau 1 SMA. Salah satu membawa gitar akustik yang ditempeli banyak
stiker, sementara kawannya cuma mengandalkan tepuk tangan untuk
mengiringi nyanyian. Sovi kembali ke dalam untuk mengambil sedikit uang
dari dompetnya, bermaksud berbagi rezeki dengan kedua pengamen muda itu.
Sovi lalu membuka pintu samping yang terhubung dengan ruang makan dan
dapur, dan berjalan keluar.
Setelah keluar, Sovi bisa melihat lebih jelas kedua pengamen itu,
keduanya tampak seperti halnya anak jalanan, lusuh, kurus, dan berkulit
gelap terbakar matahari. Keduanya mengenakan jeans belel dan kaos hitam
bertuliskan nama-nama band beraliran gahar. Gaya rambut keduanya
sama-sama tak biasa, yang bertepuk tangan rambutnya dibuat spike,
mencuat di sana-sini seperti duren atau landak, sementara kawannya yang
main gitar membotaki pelipis kiri-kanan sehingga mirip gaya mohawk
walaupun rambutnya yang tersisa di tengah tidak diberdirikan, mungkin
karena kurang modal. Terlihat tindikan menghiasi tempat-tempat yang umum
di muka mereka.
“Makasih tante…” kata si rambut mohawk ketika menerima dua lembar
uang seribuan dari tangan Sovi. Yang memberi dan yang menerima sama-sama
tersenyum, Sovi tersenyum tulus karena senang bisa beramal, kedua
pengamen itu tersenyum bahagia karena bisa ketemu perempuan secantik
bidadari pada siang yang panas itu. Biasanya mereka ketemu pembantu,
nenek-nenek, atau anjing penjaga. Senyum si rambut mohawk tapi berubah
ketika dia mengingat sesuatu.
“Lho… ini Kak Sovi kan?”
Sovi cukup kaget juga mendengar si pengamen rambut mohawk menyebut namanya. Tahu dari mana… eh, memang sepertinya… Dia kan…
“Marvel?”
Si mohawk nyengir memamerkan giginya yang menguning dan bolong satu.
“Iya Kak, saya Marvel, yang dulu di rumah singgah!“
“Ooo, Marvel! Iya iya, inget. Yang waktu dulu itu ya. Kamu udah gede, ya?”
“Hehehe, iya dong kak, kan udah tambah umur sekarang.”
Kegiatan bakti sosial Sovi waktu mahasiswa juga mencakup menjadi guru
bagi anak-anak terlantar di suatu rumah singgah. Salah seorang anak
yang sempat dia ajar adalah Marvel, yang sekarang kebetulan ngamen di
depan rumahnya. Marvel dulu bandel dan liar karena ditempa kerasnya
kehidupan di jalan, tapi di rumah singgah itu dia paling menurut pada
Sovi.
“Eh, Marvel, ayo masuk dulu! Kak Sovi pengen ngobrol sama kamu
sebentar, ya. Lagian sekarang kan panas, kalian mau minum dulu kan?”
Sovi menawarkan.
“Gimana, Elang?” Marvel menengok, bertanya ke temannya yang berambut
landak. Temannya mengangguk. Sovi membukakan pintu garasi lalu
mempersilakan keduanya masuk. Marvel dan kawannya yang dia panggil Elang
itu masuk, lalu duduk di teras.
“Ayo masuk aja, gak usah malu-malu,” ajak Sovi.
“Jangan repot-repot Kak Sovi, kita di luar aja,” tampik Marvel sopan. Elang langsung menyindir kawannya,
“Ceileh, sopan amat lu Vel, kalo ngadepin cewek cantik aja langsung
sok keren, kayak ganteng aja lu…” yang mengakibatkan kepala landak Elang
ditoyor Marvel.
“Kirik, diem lu, dia kakak gue yang ngajarin gue dulu, masa’ gue ga
sopan ama dia?” balas Marvel. Sovi tertawa kecil melihat tingkah kedua
pengamen itu.
“Marvel dan… siapa tadi, Elang? Tunggu di sini dulu ya. Biar Kak Sovi ambil airnya dulu.”
Sovi masuk kembali ke rumah lewat pintu samping, yang menuju ke ruang
makan. Diambilnya sebotol air es dari kulkas. Di dalam kulkas
dilihatnya pepaya yang sebagian sudah dia makan tadi. Dia putuskan untuk
berbagi cemilan juga dengan kedua bocah tadi. Maka diiriskannya dua
potong besar pepaya untuk Marvel dan Elang. Marvel dan Elang yang
meneruskan adu cela sambil duduk di lantai teras terdiam ketika Sovi
muncul lagi. Keduanya terpesona dengan sosok Sovi yang tampak begitu
cantik di mata mereka. Apalagi nyonya muda itu datang membawa sebotol
air sejuk dan sepiring buah segar. Seolah-olah bidadari datang dari
kahyangan membawa berkah kenikmatan bagi manusia-manusia hina seperti
mereka berdua. Sungguh bersyukur Marvel dan Elang siang itu, bisa duduk
sambil mendinginkan tenggorokan mereka yang kering dengan minum air
dingin dan makan pepaya ditemani seorang wanita jelita.
Sambil menemani kedua pengamen itu, Sovi ngobrol lebih lanjut dengan
Marvel tentang keadaan di rumah singgah. Sovi berhenti mengajar di sana
waktu mulai membuat skripsi, dan tidak pernah ke sana lagi setelah lulus
dan menikah. Menurut Marvel, kegiatan belajar di sana terus berlanjut,
tapi Marvel sendiri yang sudah tambah besar mulai jarang ikut, dan dia
menyambung hidup dengan ngamen bersama kawan-kawannya sesama anak
jalanan, termasuk Elang. Sovi menasihati agar Marvel jangan melupakan
sekolah, supaya tetap bisa punya masa depan. Elang tidak banyak bicara
karena baru kenal dengan Sovi, tapi Sovi memperhatikan bahwa mata teman
Marvel itu tak lepas-lepas mengamatinya. Tak lama kemudian suguhan air
es dan pepaya pun habis. Untuk pertama kali, Elang berbicara dengan
Sovi.
“Kak, makasih ya. Kalau boleh, biar kita cuci-in piring dan gelas bekas kita.” Setelah berpikir sebentar Sovi setuju.
“Silakan. Di dalam aja ya nyucinya. Ayo ikut Kakak.”
Elang dan Marvel membawa piring dan gelas mengikuti Sovi yang masuk
ke rumah lewat pintu samping. Di balik pintu samping itu ada koridor
pendek sempit menuju ruang makan dan dapur rumah Bram dan Sovi. Sovi
menunjukkan wastafel tempat cuci piring dan kedua pengamen itu pun
mencuci alat makan yang tadi mereka pakai. Setelah selesai, keduanya
berbalik untuk keluar rumah. Sovi berjalan mendahului mereka ke arah
pintu, bermaksud membukakan pintu samping. Elang berada tepat di
belakang Sovi. Ketika Sovi hendak membuka pintu, dengan iseng Elang
mencolek pantat Sovi.
“Aww!?”
Sovi memekik dan langsung menangkap tangan Elang yang belum jauh dari
pantatnya. Marvel yang berada di belakang Elang menyadari apa yang baru
dilakukan temannya, dan langsung menarik kerah kaos Elang dari
belakang.
“WOY!” teriak Marvel langsung ke kuping Elang.
“Lu jangan berani kurang ajar sama kakak gue ya, kirik!”
“Aduh, maaf banget Kak Sovi, si kirik ini emang brengsek, biasa
nongkrong di rumah emaknya di lokalisasi soalnya, makanya tangannya
jail. Ayo lu minta maaf sama kakak gue! Sekarang!”
Bukannya insyaf, Elang malah menghardik balik.
“Jangan bawa-bawa emak gue juga dong, bangke!”
“Sudah, sudah!” seru Sovi. Kedua pengamen itu memandangi muka Sovi
dan anehnya Sovi terlihat sangat tenang, tidak marah ataupun malu
sebagaimana biasanya perempuan kalau habis dilecehkan.
“Marvel, nggak usah marah sama dia, Kakak nggak apa-apa kok,” kata Sovi kalem.
“Tapi Kak… dia udah gak sopan sama Kakak! Emang pantas dihajar dia Kak!” Marvel masih panas.
Tangan Sovi yang satu lagi meraih tangan Marvel yang mencengkeram
leher kaos Elang, lalu menggenggamnya dengan lembut sehingga cengkeraman
Marvel lepas.
“Makasih ya Marvel, kamu mau ngebelain Kakak. Nggak apa-apa kok. Elang nggak salah.”
Genggaman lembut Sovi membuat amarah Marvel mereda. Padahal tadi dia sudah siap menonjok Elang.
“Elang,” kata Sovi,
“Dari tadi kamu ngelihatin Kakak kan?”
“I… iya…” kata Elang pelan.
“Kenapa, Elang?”
“Habisnya… Kakak seksi, sih… gimana gak ngelihatin…” jawab Elang dengan jujur.
“Udah gue bilangin lu jangan kurang ajar sama kakak gue!” lagi-lagi Marvel mendamprat Elang.
“Marvel, udah dong, jangan marah sama dia…” Dan tanpa disangka-sangka
Marvel, tangan Sovi melepas genggaman di tangan Marvel, membelai lembut
pipi Marvel, lalu kembali menggenggam tangan Marvel. Sovi kembali ke
Bolaank.
“Emangnya tadi kamu lihatin apa, Elang?”
“…Uh…”
“Ya?” Sovi tersenyum ke arah Elang yang sekarang tersipu. Elang bingung apakah harus menjawab atau tidak.
“…ya… ngelihatin muka Kakak… kulit Kakak… habisnya Kak Sovi cantik ih…”
Sovi menarik tangan Elang yang tadi mencoleknya ke dekat mukanya sendiri… dan menggigit lembut jari telunjuk Elang.
“Elang bohong ya sama Kakak…” kata Sovi dengan nada nakal.
“Bilang yang jujur, kalo enggak Kak Sovi gigit lebih keras ni…”
Elang tidak yakin gigitan Sovi bakal serius, tapi dia kemudian
merasakan tekanan gigi Sovi, dan dia memutuskan untuk segera menjawab.
“Iyaiyaiya Elang ngaku… Tadi Elang ngelihatin… toket Kakak.”
“Hmm…” gumam Sovi. “Terus?”
“…ngelihatin pantat Kakak juga, habis bohay sih, apalagi waktu jalan di depan Elang tadi…”
Marvel berusaha menarik tangannya dari genggaman Sovi, mau menghajar
Elang, tapi Sovi tidak melepasnya. Bukan cuma itu,setelah melepas jari
telunjuk Elang dari gigitan, giliran tangan Marvel yang Sovi tarik ke
dekat mukanya. Marvel tertegun melihat Kak Sovi yang selalu dikaguminya
itu menjilat dan mengulum telunjuk dan jari tengahnya. Kedua pengamen
muda itu kini dalam posisi berhadapan dengan Sovi di koridor sempit yang
menghubungkan pintu samping menuju luar rumah dan ruang makan, tangan
kiri Sovi menggenggam tangan kanan Elang yang tadi digigit, dan tangan
kanan Sovi menggenggam tangan kanan Marvel yang barusan dikulum. Jantung
keduanya berdebar-debar akibat tindakan Sovi yang berani itu.
“Makanya kamu tadi nyolek pantat Kakak, ya Elang?” tanya Sovi.
“Ehm…” Elang tak berani menjawab karena malu.
“Kalau gitu kamu mau nyolek toket Kakak juga kah?” tanya Sovi lagi.
“…” Elang tambah tidak bersuara.
“Hayooo…” sindir Sovi.
“Kak…” Malah Marvel yang menanggapi, biarpun tidak jelas mau bicara apa.
Saat itu juga, tanpa menunggu persetujuan yang punya tangan, Sovi
menarik tangan Elang sampai menyentuh payudaranya. Daster birunya tidak
memberi perlindungan memadai kepada sepasang keindahan di dada Sovi itu,
dan sejak tadi memang Elang sudah bisa menikmati lembah dan dua bukit
mulus nan sekal yang mengintip di balik kain tipis. Elang menatap muka
Sovi dengan tak percaya, dan Sovi membalas tatapan Elang dengan anggukan
setuju. Dengan malu-malu Elang mengembangkan jemarinya dan mulai
menjamah kelembutan buah dada Sovi.
“Elang!” teriak Marvel tak setuju. Dia mau protes lagi, tapi keburu
merasakan sensasi aneh tapi menyenangkan ketika tangannya dibawa ke
payudara Sovi yang satunya. Marvel merasa bulu kuduknya berdiri ketika
jarinya berkenalan dengan empuknya payudara Sovi.
“Kak… Sovi…” Marvel hanya bisa berkomentar lirih ketika dia tak kuasa
melarang tangannya mengikuti tangan Elang mencengkeram sepasang
payudara Sovi. Rasanya tak percaya dia melihat Kak Sovi yang begitu baik
dan pintar dan cantik itu membiarkan tubuhnya dipegang-pegang orang.
Lebih dari itu: Sovi malah membuat tangan mereka berdua meremas-remas
payudaranya. Namun sebagai remaja di tengah masa puber Marvel tak bisa
melawan gelora nafsu yang dipicu Kak Sovi idolanya.
“Emmm…” Sovi menggumam karena remasan tangan kedua pengamen muda itu
mulai membangkitkan gairahnya. Dia kemudian menjauhkan tangan Marvel dan
Elang dari payudaranya, dan mendekat ke keduanya.
“Marvel, Elang… Gimana rasanya dada kakak?” tanya Sovi dengan bibir tersenyum manis. Marvel tidak berani menjawab. Elang berani.
“Kenyal… empuk…”
“Pengen lihat?” pancing Sovi. Elang mengangguk.
Sovi melepas tangan Elang, dan segera memelorotkan kedua tali bahu
dasternya. Kedua pengamen menahan nafas melihat sepasang buah ranum
terbebaskan dari bungkusannya, menantang mereka berdua untuk menikmati.
Tadi keduanya tidak berani bertindak. Sovi tertawa kecil melihat mereka
berdua salah tingkah.
“Kak… Kak Sovi…” Dari tadi Marvel tidak bisa berkata yang lain. Sovi
tersenyum ke arah Marvel, lalu merangkul kepala Marvel, dan mendekatkan
muka Marvel ke dadanya. Elang menelan ludah karena iri, sementara Marvel
tiba-tiba merasa sangat nyaman, damai, dan nikmat ketika pipinya
bersandar di bantalan empuk payudara Sovi. Saat itu Marvel bersyukur,
dalam kehidupannya yang kurang bahagia dia berkesempatan bertemu Sovi,
tidak hanya karena Sovi cantik dan baik dan mengajarinya banyak hal,
tapi juga karena Sovi telah memberinya kebahagiaan seperti itu. Sovi
mendekap dan mengelus-elus kepala Marvel seolah-olah Marvel itu bayi
yang sedang digendongnya. Sentuhan paku logam yang menyelip di alis
Marvel membuat Sovi geli.
“Elang mau juga?” tanya Sovi kepada Elang yang sudah menanti, dan
tanpa menunggu ditarik, Elang langsung mendekatkan mukanya ke payudara
Sovi yang satunya. Seperti yang tadi disebut Marvel, Elang memang besar
di lingkungan pelacuran, dan meski masih sangat muda dia bukan orang
yang polos dalam hal menyentuh wanita. Kalau Marvel cuma bersender,
Elang malah buka mulut dan menjulurkan lidahnya menyentil-nyentil puting
Sovi. Sovi terpekik lagi akibat ulah nakal Elang, tapi dia membiarkan
Elang melakukan itu.
Sambil merangkul Elang, Sovi meraih muka Marvel. Sovi berbisik,
“Marvel kamu pernah ciuman nggak?” yang dijawab Marvel dengan gelengan kepala.
Dan serta-merta Sovi memberikan pengalaman ciuman pertama untuk anak
jalanan yang pernah diajarnya itu. Tidak tanggung-tanggung, ciuman
pertama Marvel bukan sekadar kecupan singkat dari Sovi, melainkan french
kiss penuh nafsu. Marvel kaget, dia tak menyangka Kak Sovi-nya bisa
bersikap seperti ini. Selama ini Marvel mengagumi Sovi seolah seorang
dewi, dengan kebaikan dan kasih sayang serta kecantikan sederhana yang
anggun, namun imej itu dikacaukan tindakan Sovi. Namun itu tidak membuat
rasa kagum Marvel terhadap Sovi pudar. Hanya saja dia tidak mudah
mengerti mengapa Sovi jadi seperti ini.
Ataukah dia saja yang tak pernah
tahu sifat Sovi yang sebenarnya? Sementara lidah Sovi bertemu dengan
lidah Marvel di dalam rongga mulut Marvel, lidah Elang terus beraksi di
seputar puting kiri Sovi. Elang tidak hanya menjilat dan menyentil, tapi
juga menggigit dan mengulum puting Sovi. Elang makin berani ketika dia
merasa tangan Sovi di belakang kepalanya justru menekan kepalanya
mendekat, pertanda Sovi suka dengan perbuatannya. Sovi mulai melakukan
gerakan lain, kedua tangannya kini sudah tak lagi menggenggam tangan
Marvel dan Elang, tapi mulai menyelip di balik kaos Marvel untuk
mengelus perut dan dada Marvel, dan merangkul Elang. Bukan tubuh atas
mereka berdua yang menjadi sasarannya… tak lama kemudian tangan Sovi
sudah turun sampai jendulan di balik celana kedua pengamen itu. Tidak
heran kalau mereka ngaceng, siapa yang tidak demikian kalau sedari tadi
digoda Sovi. Sovi tersenyum ke kedua bocah itu, seolah-olah baru
menangkap mereka berdua berbuat kenakalan.
“Hihihi… kok kalian konak sih…?” goda Sovi, pura-pura tidak tahu penyebabnya.
Marvel membuang muka, masih malu, sementara Elang balas nyengir.
Dasar Elang sudah berpengalaman, dengan kurang ajarnya dia membuka
resleting celana dan mengeluarkan burungnya, yang disambut tangan Sovi
tanpa ragu. Sementara Marvel tetap terpaku, bingung antara ingin
ikut-ikutan berani seperti Elang atau tetap bersikap menghormati Sovi.
Sovi menyadari kebingungan Marvel.
“Marvel… tenang aja ya? Kamu ikutin Kakak aja.”
Di sisi lain, tangan Elang menggenggam tangan Sovi yang sekarang
mulai membungkus ereksinya, dan mulai menggerakkannya naik-turun,
membuat Sovi mengocok anunya. Sovi menoleh dan tersenyum ke arah Elang,
membiarkan saja si rambut landak menyalahgunakan tangannya. Perhatian
Sovi kembali ke Marvel. Sambil tetap mengocok Elang, Sovi mengecup
lembut bibir Marvel, lalu pelan-pelan berlutut. Begitu mukanya sudah
sejajar dengan selangkangan Marvel, seperti seorang pelacur profesional
Sovi menggigit resleting celana Marvel dan menurunkannya, kemudian
menjilati jendulan hangat yang masih terbungkus celana dalam.
“Kak… jangan Kak… kan kotor…” pinta Marvel. Sovi melirik ke atas,
melihat wajah Marvel yang khawatir, dan dengan cueknya dia malah membuka
kancing dan memelorotkan celana Marvel sekaligus dalamannya. Sovi
membelai-belai dan memijit-mijit penis Marvel. Marvel tak bisa menahan
desah keenakan keluar dari mulutnya ketika sentuhan jemari Sovi
memanjakan kemaluannya. Apapun yang mau diperbuat Sovi, Marvel sudah tak
ambil pusing lagi, dia hanya mau menikmati. Pandangan Marvel terpaku
kepada wajah, tangan, dan payudara Sovi yang menggoda, menyihirnya
sehingga terperangkap dalam hasrat.
Sovi melepas pegangannya terhadap penis Marvel dan Elang, lalu
menarik selangkangan Marvel makin dekat dengan tubuhnya. Sovi lalu
mengangkat tubuhnya sehingga selangkangan Marvel sejajar dengan dadanya.
Sekali lagi diajaknya tangan Marvel menjamah buah dadanya. Di depan
muka langsung, Sovi memandangi batang Marvel yang berdiri tegak. Ketika
Sovi mencium kepala penis Marvel, Marvel menahan nafas. Sovi melanjutkan
dengan memberi gigitan-gigitan halus sepanjang bagian bawah batang itu.
Sementara itu salah satu lengan Sovi meraih ke belakang
tubuh Marvel, menggenggam dan mendorong pantat Marvel supaya tubuh
Marvel makin merapat. Kemudian si nyonya muda memutuskan memberi
kenikmatan bentuk lain kepada Marvel. Memang payudaranya berukuran hanya
sedikit di atas rata-rata, tidak besar sekali, tapi cukup untuk
melakukan yang ingin dia lakukan. Kedua tangan Sovi menggenggam kedua
payudaranya sendiri, lalu menjepitkan keduanya ke penis Marvel.
Kelembutan kedua gundukan itu membuat Marvel serasa terbang. Dia
mengikuti refleks tubuhnya sendiri dan menggesek-gesekkan batangnya
maju-mundur menembus jepitan belahan dada Sovi. Elang tidak mau
ketinggalan, dia berlutut di belakang Sovi dan merangkul pinggang Sovi.
Jemarinya bergerak ke arah bibir vagina Sovi. Anak itu jelas-jelas tidak
polos, dia tahu apa yang mau dia lakukan. Dia menjulurkan jemarinya ke
dalam vagina Sovi dan mendapati bagian dalamnya sudah becek. Sambil
nyengir ditaruhnya kepala kontolnya di bibir vagina Sovi, tapi.
“Eit, maaf ya Elang… boleh pegang, gak boleh dimasukin,” kata Sovi
sambil meraih ke belakang dan menggenggam penis Elang. Elang dilarang
mempenetrasi. Tapi Sovi lantas menggesek-gesekkan belahan memeknya
mengelus batang Elang.
Sovi menyadari bahwa posisinya belum memungkinkan dia menyervis kedua
pengamen muda itu berbarengan, sehingga kemudian dia menyuruh Marvel
duduk. Marvel duduk di lantai, mengangkang, ereksinya tetap tegak
menantang. Sovi menjauh lagi dari Elang untuk berlutut dan kemudian
berposisi merangkak di depan Marvel, kedua buah dadanya menggantung,
tangannya kembali mengocok batang Marvel.
Sovi menempatkan kejantanan
Marvel di antara kedua buah dadanya, lalu menurunkan tubuh depannya
sehingga batang Marvel kembali terjepit dalam kenikmatan. Gerak
maju-mundur tubuh Sovi membuat kedua buah dadanya melumat penis Marvel,
menimpakan godaan badani yang dahsyat kepada alat kelamin yang belum
pernah merasakan lawan jenis itu. Sementara itu Sovi sepertinya maklum
Elang akan bertindak sendiri, dan melihat Sovi kini berposisi nungging
di depannya, mana bisa Elang diam saja? Tapi Elang tetap menuruti
permintaan Sovi tadi untuk tidak mempenetrasi, dan dia memilih memuaskan
diri dengan menyibak bagian belakang daster Sovi sehingga menyingkapkan
pantat bahenol perempuan yang diidolakan Marvel itu, mencengkeram kedua
belah pantat Sovi, dan menggesek-gesekkan batangnya di lembah antara
keduanya. Marvel tak kuasa menahan sensasi lembut yang membekap
kemaluannya. Setelah hampir satu menit digeluti kedua tetek Sovi, jebol
juga pertahanan Marvel.
Dia memejamkan mata dan meringis ketika tak bisa
lagi menahan maninya muncrat ke dada dan leher Kak Sovi yang begitu
dikaguminya. Mungkin karena jarang dikeluarkan, ejakulasi Marvel cukup
banyak, terciprat menodai tubuh Sovi. Elang bertahan lebih lama, apalagi
dia dilarang memasuki vagina atau anus Sovi yang sudah menantang di
depannya. Cukup lama dia menggesek-gesekkan batangnya di belahan pantat
dan bibir memek Sovi, menikmati kehangatan dan kelembutan tubuh bagian
bawah Sovi. Sekali-sekali dikemplangnya pantat Sovi.
Tak lama kemudian, Sovi merasakan seciprat-dua ciprat cairan kental
menimpa punggung bawahnya. Elang keluar juga akhirnya. Untuk beberapa
lama mereka bertiga tetap terdiam, Marvel terduduk, Sovi meringkuk dan
kepalanya menyandar di perut Marvel, Elang juga terduduk lelah di
belakang Sovi. Yang pertama kali tersadar dan merasa tidak enak adalah
Marvel, buru-buru dia bangkit dan membantu Sovi bangun. Marvel langsung
menaikkan dan mengancingkan lagi celananya, lalu mengulurkan tangan
seolah ingin membantu Sovi membetulkan pakaiannya yang tersingkap, tapi
kemudian ragu dan menarik lagi tangannya. Marvel melihat ke kanan dan
kiri, menemukan sekotak tisu, lalu mengambil beberapa lembar dan
menyodorkannya ke Sovi sambil menunduk.
“Ka… Kak Sovi… maaf… Marvel…” Suara Marvel tercekat, seperti mau
menangis, agaknya dia merasa bersalah karena perbuatannya barusan. Sovi
menerima tisu yang disodorkan, dan menyeka sperma Marvel dan Elang yang
menodai tubuhnya. Dihampirinya Marvel dan diciumnya kening Marvel.
“Kamu gak salah Marvel… ga usah minta maaf. Mestinya Kakak yang minta
maaf soalnya udah ngegodain kamu,” kata Sovi lembut sambil mengelus
rambut Marvel. Marvel mengangguk dengan agak takut. Sementara di sisi
lain, Elang senyum-senyum sendiri.
Tanpa banyak kata, kedua pengamen itu pamit dan meninggalkan rumah
Sovi dengan perasaan campur aduk. Sebelum mereka pergi, Sovi sekali lagi
meminta maaf kepada Marvel dan mengatakan Marvel boleh mampir ke
rumahnya kapan saja. Tinggallah Sovi sendiri. Satu sisi dirinya
bertanya-tanya, mengapa dia bisa bertindak seberani itu. Sisi lain
dirinya puas karena berhasil menggoda kedua pengamen itu. Dia memang
belum mencapai klimaks, tapi dia menyadari bahwa dia sangat menikmati
menggunakan tubuhnya untuk merangsang dan menguasai kedua remaja
tanggung itu. Dia senang bisa membuat keduanya lepas kendali dan jatuh
dalam pelukan birahi. Sovi sedang berubah…
No comments:
Post a Comment