AGEN POKER
Cerita Dewasa / Cerita Sex / Cerita ABG / Cerita Dewasa Hot / Cerita Dewasa SMA / Kumpulan Cerita Dewasa
“Hmmmm…” Sovi menggumam karena nikmatnya pijatan Prily di pundaknya.
Sore itu Sovi berada di salon Citra. Tadi Sovi mampir untuk
mengantarkan pepaya yang mau dia bagi untuk Citra, tapi setelah
ngobrol-ngobrol ngalor ngidul sampe lama, akhirnya Sovi malah mendapat
sesi pijat refleksi gratis dari asisten Citra, Prily.
“Enak kan pijitan Prily? Aku aja suka kok. Tiap hari pasti aku minta
dia pijat aku dulu sebelum dia pulang,” ujar Citra yang berada di
sebelah Sovi, sambil mengecat kuku.
Prilyane, biasa dipanggil Prily adalah kapster di salon Citra,
satu-satunya karyawati Citra. Keahlian utamanya adalah memijat. Prily
lebih muda daripada Citra dan Sovi, mungkin baru berumur sekitar 22,
bertubuh pendek tapi berisi dengan lekuk-lekuk menantang. Sovi bisa
melihat betapa sexynya celana pendek jeans dan T-shirt hijau ketat yang
Prily pakai sore itu kerepotan melingkupi bokong dan payudaranya yang
bahenol. Rias wajahnya tidak kalah meriah dibanding Citra, dengan
lipstik merah cemerlang dan eyeshadow berwarna gelap di bawah rambut
tebal yang agak megar dan sebagian di-highlight pirang.
“Eh, Mbak Sovi kok sekarang makin cantik aja ya? Biasanya juga
cantik, tapi akhir-akhir ini jadi tambah kinclong lhoo…” komentar Prily
dengan logat medok.
“Iya lah, kan gue yg permak,” ujar Citra dengan bangganya.
“Sovi ini baru dapat pencerahan, makanya perlu ganti imej. Gimana Vi? Mempan gak saranku?”
Sovi tidak menjawab, namun bibirnya yang tersaput lipstik pink
tersenyum. Tapi dia sendiri merasa makin lama makin bisa masuk ke dalam
kepribadian yang disarankan Citra. Kepribadian pelacur. Kejadian pagi
dan siang itu menunjukkan kepada Sovi bahwa dia sebenarnya suka bisa
menarik perhatian laki-laki. Memancing birahi mereka dan menguasai
mereka. Seperti lonte-lontenya Bram. Seperti… Citra?
Sambil menikmati pijatan jari Prily yang sekarang mencapai
pelipisnya, Sovi terpikir lagi mengenai perubahan penampilannya. Memang,
waktu itu Citra menyarankan agar lebih berani dalam merias diri dan
berpakaian supaya bisa menandingi perempuan-perempuan penjaja cinta yang
sempat menarik perhatian Bram. Tapi Sovi baru sadar, bukan cuma mereka
yang penampilannya dia tiru. Citra juga seperti itu.
Sejak dulu, Citra suka menggoda laki-laki. Siapapun. Teman sekolah,
teman kuliah, karyawan orangtuanya, sembarang orang. Sovi tahu itu.
Entah sudah berapa laki-laki yang menikmati tubuh kakak iparnya. Sampai
akhirnya satu di antara mereka menghamili Citra. Lamunan Sovi terhenti
karena dia mendengar bunyi pintu dibuka. Masuklah seorang laki-laki
setengah baya ke dalam salon. Laki-laki itu bertubuh besar dan
berpakaian rapi ala pebisnis, dengan kemeja mahal, dasi, dan celana
bahan yang necis. Rambutnya yang dibelah pinggir mengkilap karena minyak
rambut, matanya kecil dan bibirnya lebar.
“Halo halo,” sapanya sok akrab.
“Eh Pak Carolus. Ke mana aja, kok jarang ke sini?” jawab Citra, juga dengan akrab.
“Waduh, baru juga minggu lalu aku ke sini, manggilnya kok udah jadi formal lagi gitu?” kata Pak Carolus.
“Iya deh… Om Carol,” balas Citra dengan centil.
“Tadi ada yang SMS aku katanya Prily udah masuk lagi, jadi kangen sama pijatannya.”
“Emang siapa yang ngabarin?… Oh.” Pertanyaan Citra langsung terjawab ketika melihat Prily nyengir sambil mengacungkan HP-nya.
Citra mendekati Sovi yang masih duduk di kursi salon.
“Sovi, sori, kamu pulang dulu yah? Aku ada customer nih.”
“Iya Kak,” jawab Sovi, yang segera berdiri dan meninggalkan ruangan.
Ketika berpapasan dengan Carol, Sovi mengangguk dan tersenyum, yang
dibalas dengan tindakan yang sama oleh laki-laki necis itu. Carol terus
memandangi Sovi sampai Sovi keluar dari salon.
“Ayo Om,” Citra dan Prily menghampiri Carol, membawanya ke satu ruangan lain dalam salon.
Ketika Sovi keluar, dilihatnya mobil Mercedes-Benz hitam terparkir di
depan salon. Pasti mobil Pak Carolus yang tadi, pikirnya. Sovi ingat
sesuatu, sesudah pertama kali dia di-makeover Citra dan terburu-buru
pulang karena masih tidak pe-de akan penampilan barunya, dia melihat
mobil itu.
Jadi waktu itu, dia yang datang…
Dua puluh menit kemudian, di rumahnya, Sovi menyadari dompetnya
ketinggalan di salon Citra. Dia langsung beranjak kembali ke salon
Citra.
“Gimana kabar bisnisnya, Om?”
Pak Carolus alias Om Carol sudah berbaring nyaman di atas tempat
tidur dalam ruang belakang salon Citra. Bagaimana tidak nyaman,
kepalanya berbantalkan paha Prily, sedangkan Citra mengelus-elus
tubuhnya yang sudah telanjang. Prily, yang tadi bertanya, sedang memijat
dahi Carol.
“Apa ndak ada pernyataan lain tho Pril, wis pusing aku sama bisnisku,
ee di sini malah ditanyai bisnis lagi. Mumet aku Pril, pesaing tambah
buanyak. Aku ke sini mau refreshing, jangan tanya yang serius gitu yo?”
“Maaf deh Om,” kata Prily.
“Prily kasih nenen aja biar Om ga marah ya?”
Serta-merta Prily membuka kaosnya dari bawah sehingga Carol yang di
pangkuannya bisa melihat jelas BH hitam berenda yang menutupi sepasang
gundukan yang sejahtera. Prily menarik BH-nya ke atas sehingga bagian
bawah teteknya bergandulan tepat di depan muka Carol. Pebisnis itu
langsung menengok dan menowel-nowel dasar tetek Prily dengan hidungnya.
“Prily… asu tenan iki susumu… ini nih yang orang sebut tobrut… toket
brutal… heeheehee…” Carol kegirangan, langsung saja dengan nakalnya dia
menjulur-julurkan lidah berusaha menjangkau ranumnya buah dada Prily.
Prily terkikik kegelian ketika lidah Carol mengenai sasaran.
Tangan Citra yang tadi memijati paha sekarang sudah pindah ke batang
dan biji Carol. Beberapa usapan kemudian, tegaklah kejantanan Carol. Si
pebisnis menghentikan sebentar wisata lidahnya di bawah tetek Prily
untuk menengok ke arah Citra. Sore itu Citra tampil glamor walaupun
hanya untuk kerja di salonnya, dalam blus biru muda tanpa lengan dan rok
mini hitam. Seperti biasa, dia memakai make-up tebal, kulit wajahnya
nyaris tanpa cela berkat foundation, bibirnya merah darah, garis matanya
tajam oleh maskara.
“Eh, Cit, kapan kamu mau upgrade toket biar kayak Prily, biar gak
jomplang, kan mukamu udah full modif gitu?” Carol memberi saran tanpa
diminta. Jawaban Citra adalah senyum disertai tatapan tajam ke arah
Carol, dan Carol pun merasakan cengkeraman keras dan tajam di pelirnya.
Rupanya Citra main kuku…
“Becanda, becanda. Ampun Mbakyu, biji saya jangan dipites, kasihan Prily ntar…” Carol langsung berhenti membanyol… atau tidak.
“Tapi kalo sampeyan mau operasi bikin gede, bilang aja, nanti Om bayarin.”
Memang bijinya tidak dipites Citra, tapi kena sentil-lah batang Om Carol yang terlanjur tegak itu!
Sovi mendapati pintu salon Sovi tidak dikunci. Dilihatnya dompetnya
tergeletak di meja rias yang tadi dihadapinya ketika dipijat Prily. Tapi
ke mana Citra, Prily, dan Pak Carolus? Tadinya Sovi kira, paling-paling
Pak Carolus datang untuk cukur rambut atau semacamnya. Mercy hitamnya
juga masih ada di depan. Sovi melihat sekeliling, memperhatikan ruangan
salon Citra. Memang salon tersebut tidak besar. Hanya tiga set kursi,
gairahsex.com plus satu tempat cuci rambut, dan satu tempat tidur di
ruang belakang untuk luluran. Tahun lalu, sesudah ditinggal suaminya
yang kabur entah ke mana, Citra datang ke Bram dan Sovi meminta tolong.
Walau Citra sudah diusir oleh keluarga, Bram tetap sayang dengan kakak
kandungnya itu, dan Sovi yang lama mengenal Citra juga peduli. Bram dan
Sovi membantu Citra dengan pinjaman modal dan sewa tempat untuk bisa
berusaha sendiri, dan Citra memilih membuka salon di sebelah rumah Sovi
dan Bram. Didengarnya suara-suara dari arah ruangan belakang yang
dipisahkan tembok dari ruang utama salon dan berpintu tirai. Sovi
mendekat…
Agaknya candaan Carol tadi tidak sampai membuat Citra sakit hati,
karena Citra kini sedang menjilati penis Carol yang tadi disentilnya,
bersama-sama Prily. Tambah ereksi Carol melihat dua muka penuh nafsu
menyervis kejantanannya. Tapi ada satu lagi yang mau dia tanyakan kepada
Citra.
“Cit, yang tadi itu siapa? Bempernya gede tuh, tampangnya cakep lagi.”
“Adik iparku tuh.” Jawab Citra
“Oo, adik ipar. Wuih. Sayang baru kenal. Adikmu mujur juga, ya?” Citra terkikik.
“Awas jangan diembat juga dia Om, udah ada yang punya!”
“Heeheehee, gimana ya? Kayaknya asyik tuh diulek bokongnya…”
“Sentil lagi nih,” ancam Citra sambil menyiapkan jarinya di samping kepala titit Carol.
“Iya deh, iya deh, ampun Ndoro Putri Ayu, kulo jangan disenthil lagi, atit…”
Sovi mendekat ke tirai yang menjadi pintu ruang belakang salon Citra.
Disibaknya sedikit tirai itu untuk mengintip. Dan dia sungguh tak siap
mendapati pemandangan di baliknya. Laki-laki perlente tadi—Pak
Carolus—telanjang bulat di atas tempat tidur, Prily yang kaosnya sudah
dilepas dan buah dadanya sedang dilahap mulut lebar Pak Carolus, dan…
Citra, bersimpuh telanjang di depan Pak Carolus, menyepong senjata Pak
Carolus. Ternyata… Kak Citra…?
Sovi terus menonton tanpa terlihat orang-orang yang berada di ruang
belakang. Prily tertawa-tawa kegelian ketika susunya yang sensitif
dipermainkan oleh Pak Carolus dengan tangan, bibir, dan lidah. Pak
Carolus sesekali mengeluarkan komentar manja dan nakal, membuat Prily
tersipu. Citra menggarap seluruh titik yang bisa dirangsang di bagian
bawah tubuh Pak Carolus mulai dari batang zakar, pelir, bahkan sampai ke
lubang duburnya. Sekali-sekali Pak Carolus berusaha menjamah tubuh
Citra, tapi karena posisinya agak jauh, dia hanya dapat mengelus rambut
Citra. Akhirnya Prily juga yang jadi sasaran gerayangan tangan Pak
Carolus. Pelan-pelan, tangan Sovi bergerak ke arah selangkangannya
sendiri.
“Cit, Pril… Om pengen nih…” pinta Carol yang sudah tak tahan dengan rayuan fisik kedua penggoda yang mencumbunya.
“Siapa nih yang mau… apa dua-duanya mau?”
“Hih, ge-er,” cela Citra,
“Siapa juga yang mau sama Om…”
“Aduh Citra sayang, jangan nolak Om gitu dong, kan hancur hati Om?”
“Nggak ah, habis Om gak asyik hari ini,” Citra jual mahal.
“Dari tadi ngeledekin aku terus.”
“Ayo dong Cit, kamu gak kasihan sama Om, dari tadi masuk juga Om udah
nafsu banget dari ngelihatin mukamu aja, kalo gak dikasih Om bisa-bisa
ntar merkosa anak orang…”
Walaupun alasan Carol jelek sekali, Citra tidak mau mengulur terlalu lama.
“Oke deh Om… tapi ada syarat. Tiduran telentang dulu ya Om. Pril,
bangun dulu,” atur Citra. Carol tiduran telentang, tapi tongkat
sakti-nya tidak ikut tiduran. Prily turun dari ranjang dan memberi jalan
ke Citra. Citra naik dan kemudian mengambil posisi mengangkangi muka
Carol. Yang dikangkangi nyengir dan langsung tahu apa yang dimaui Citra.
“Om mesti jilatin memekku sampe aku puas ya, baru ntar kukasih,”
perintah Citra. Tanpa disuruh pun Carol sudah tahu apa yang harus
dilakukan. Mulut lebarnya segera bergerak, melahap kenikmatan di
selangkangan Citra yang bebas jembut.
Sovi terus menonton, dan dalam hatinya terbersit sedikit rasa kagum
akan sikap Citra yang berani pegang kendali. Sambil terus mengintip, dia
bermasturbasi. Kalau tadi pagi alat bantunya terong, maka kali ini yang
dipakai adalah barang yang sedang ada di tangannya,dompet yang tadi
ketinggalan. Sovi menggesek-gesekkan sudut dompetnya ke celana dalamnya
selagi melihat Citra menggelinjang keenakan ketika memeknya dimakan Pak
Carolus. Dilihatnya lidah laki-laki itu menjilat, menjolok ke dalam,
memain-mainkan klitoris; untuk urusan jilat-menjilat kemaluan wanita,
rupanya orang ini sudah ahli. Terbukti dari reaksi yang ditunjukkan
Citra. Kakak ipar Sovi itu tak henti-hentinya merintih dan mendesah
karena kenikmatan, kedua tangannya mencengkeram hampir menjambak kepala
Pak Carolus, wajahnya yang bermake-up tebal tampak sangat mesum dan
bernafsu.
“Aah… emm.. uh… enak banget Om… aduh gila… Omm… terusshh…” bibir merah Citra gelagapan meracau.
Tidak hanya Citra. Di luar, Sovi ikut terangsang. Khayalannya mulai
liar. Dia tidak lagi melihat Citra dioral oleh Pak Carolus. Malah dia
membayangkan dirinyalah yang sedang dikangkangi Citra, didominasi oleh
kakak iparnya yang binal itu, dan sebagai budak yang patuh dia harus
menuruti, kalau tidak, Citra akan menghukumnya dengan berbagai siksaan.
Makin gencarlah masturbasi Sovi karena khayalan tadi, dia membayangkan
ditundukkan oleh Citra, digerayangi, dikemplangi, mukanya diduduki dan
dipaksa makan memek…
“Aughhh!!” Terdengar jeritan erotis dari Citra yang takluk,
jurus-jurus silat lidah Pak Carolus membuat si pemilik salon yang seksi
itu orgasme sampai kelojotan. Tidak tanggung-tanggung, yang dialami
Citra bukan orgasme biasa, tapi dia sampai memuncratkan cairan dari
kemaluannya yang lantas membasahi muka Pak Carolus.
Citra ambruk ke belakang, terkapar di atas tubuh Carol, gemetar dan terengah-engah.
“Haduh… ampun Om… gila enak banget tadih…” Citra harus mengakui keahlian Carol. Carol senyum-senyum sambil mengingatkan,
“Yo wis, ganSovin, Om udah bikin kamu merem melek tadi, sekarang giliran anunya Om masuk sono ya Cit?”
Kepala Citra bersandar di paha kanan Carol, rambutnya yang tergerai
menutupi penis Carol yang sedari tadi tidak ada yang mengurusi. Citra
mengelus-elus batang yang tegang itu, menciumnya, lalu bangun dari
ranjang. Dia mengambil sesuatu dari laci meja yang ada di dalam ruangan
itu, ternyata sebungkus kondom. Dibukanya bungkus kondom itu, lalu
dengan profesionalnya dia pasangkan kondom itu ke burung Carol. Dengan
memakai mulutnya, tentu saja. Carol tidak berubah posisi, tetap
telentang. Citra kembali naik ke ranjang dan mengangkangi tubuh Carol,
kali ini di selangkangan, bermaksud bersetubuh dengan posisi perempuan
di atas. Sambil memasukkan penis Carol ke vaginanya, Citra memanggil
Prily,
“Pril, ayo ikutan.”
“Om aku mau juga dong dijilatin memeknya kayak Mbak Citra tadi…”
pinta Prily. Carol oke-oke saja, dan Prily pun ikut naik ke ranjang
setelah melepas semua pakaiannya, mengangkangi muka Carol tapi dengan
arah berkebalikan dengan posisi Citra tadi sehingga dia berhadapan
dengan Citra yang mulai bergerak naik-turun menunggangi kemaluan Carol.
Sambil tertawa-tawa kegelian merasakan hidung dan bibir Carol bermain di
daerah pribadinya, Prily mengedip genit ke arah bosnya, Citra. Citra
tersenyum mesem melihat asistennya yang keganjenan itu, lalu memberi
ciuman bibir yang hangat kepada Prily.
Berbeda dengan mulut dan
lidahnya, penis Carol tidak istimewa, apalagi untuk Citra yang sudah
pernah merasakan berbagai bentuk, warna, dan ukuran alat kelamin
laki-laki. Makanya dia bersetubuh dengan Carol hanya demi formalitas
saja, dan mencari kenikmatan pribadi dari Prily. Sambil menindih Carol
di bawah, kedua pekerja salon itu saling cium dan pagut. Citra
meremas-remas dada Prily yang tak bisa ditandingi payudaranya sendiri
itu dengan gemas, seolah iri dengan kelebihan Prily itu. Dari bawah,
tangan Carol juga ikut main. Prily yang memang mudah kegelian lebih
banyak tertawa menanggapi serbuan cabul dari bawah dan depan.
Semua itu terus diperhatikan dari celah tirai oleh Sovi, yang sampai
terduduk karena tak kuat menahan gelora nafsu. gairahsex.com Sovi sudah
tidak memperhatikan betapa tak senonoh posisi tubuhnya sekarang: duduk
mengangkang dengan daster tersingkap dan celana dalam basah akibat
kemaluannya terus-menerus dirangsang sendiri. Makin lama Sovi mengintip,
makin ingin Sovi masuk dan ikut dalam permainan tiga orang di dalam.
Dan di antara mereka bertiga, Sovi ternyata jadi paling ingin menggumuli
kakak iparnya, Citra. Melihat apa yang sedang Citra perbuat, Sovi jadi
ingin dibegitukan juga oleh kakak iparnya: merasakan bibir merah Citra
melumat bibirnya, merasakan kuku-kuku Citra mencengkeram buah dadanya.
Citra memang cukup terbuka dalam orientasi seksual, umumnya dia suka
laki-laki, tapi Citra tidak segan mencoba pengalaman dengan perempuan
juga. Sedangkan Sovi selama ini merasa dirinya biasa-biasa saja, belum
pernah mencoba mencari tahu apakah tidak hanya laki-laki saja yang bisa
membangkitkan gairahnya.
“…agh… ahm… mm… mmm…” Tahu dirinya tak seharusnya berada di sana,
Sovi berusaha keras meredam suara-suara penuh nafsu yang lolos dari
mulutnya dengan cara menggigit ujung dasternya. Tentu saja tindakannya
itu membuat posisinya tambah vulgar, karena celana dalamnya dan perutnya
jadi terungkap. Sovi tak peduli, yang menguasai dirinya hanya
kenikmatan dan fantasi. Akhirnya sampai juga dia ke klimaks.
“MmMMmmMMm!”
Pada saat yang hampir bersamaan, Carol juga mencapai orgasme, dia
ejakulasi di dalam kondom yang membungkus penisnya ketika sedang berada
di dalam Citra. Sebelumnya lidah sakti Carol sudah membuat Prily klimaks
sehingga si ahli pijat berdada subur itu terhempas ke depan, sepasang
payudaranya menimpa perut Carol. Citra tersenyum puas.
Sepanjang
hidupnya dia mencari kenikmatan demi kenikmatan, dan menurutnya cara
hidupnya sekarang sebagai seorang pelacur berkedok pemilik salon sudah
nyaman. Carol hanyalah satu dari banyak laki-laki hidung belang, tidak
semuanya bisa memberikan kenikmatan fisik kepadanya karena banyak juga
yang ukuran alat kelaminnya kecil, atau ejakulasi dini, atau memang
tidak becus saja. Tapi yang jelas semuanya memberikan kenikmatan dalam
bentuk lain, berupa penghasilan dan rasa kagum mereka terhadap dirinya.
Citra bukan orang yang bisa betah dengan satu pasangan saja untuk waktu
lama, jadi dia tak mempermasalahkan suaminya yang kabur.
Yang dia inginkan sekarang hanyalah menjalani kehidupan, sambil
menyambar kenikmatan yang bisa didapat. Pengamatan Citra cukup jeli. Dia
bukannya tidak tahu ada orang sedang mengintip kegiatannya dengan Prily
dan Carol. Dia melihat kelebatan tubuh orang yang bergegas berdiri lalu
pergi menjauhi tirai. Dia tahu itu Sovi, dan dia bisa mengira sedang
apa Sovi di sana. Beberapa hari lalu, ketika Mang Enjup dan rombongan
mampir untuk memakai jasanya, Citra sedikit-sedikit memancing informasi
dari mereka, dan meski Mang Enjup tidak banyak mengungkapkannya, Citra
bisa menduga apa yang baru saja terjadi. Sejak saat itu Citra dilanda
perasaan aneh, seolah-olah dia jadi partner tak langsung Mang Enjup
dalam mengubah penampilan dan kepribadian Sovi.
Tapi dia menganggap,
pada akhirnya yang menentukan adalah Sovi sendiri, apakah dia mau
menerima perubahan itu atau tidak. Citra tak mau menghakimi. Dia sudah
kenyang dihakimi.
Sovi pulang dengan perasaan campur-aduk. Setelah tadi mengintip dan
terangsang sampai orgasme, Sovi tidak berani lama-lama, dan langsung
bergegas meninggalkan salon Citra sebelum kepergok. Walau kakinya masih
lemas, dia merasa tak enak kalau sampai ketahuan ngintip. Kepalanya
masih penuh dengan pertanyaan. Siapa sebenarnya Pak Carolus? Mengapa dia
bisa sampai berhubungan seks dengan Citra dan Prily? Apa sebenarnya
yang selama ini dilakukan Citra?
Bagi Sovi, hari itu benar-benar penuh kejadian.
Satu pusat perbelanjaan besar di kota…
“Kak Citra!”
“Heii!”
Masih mengenakan baju kerja, Sovi menghampiri Citra yang berdiri di
depan sebuah butik yang memajang gaun malam. Kalau Sovi tampak seperti
karyawati yang mampir ke mall untuk belanja sepulang kantor, Citra
terlihat seperti… biasanya Citra. Sovi melihat di sekitar Citra ada
beberapa orang laki-laki yang jelas-jelas sedang mengamati Citra. Citra
selalu jadi pusat perhatian. Sore itu dia mengenakan kaos tanktop hitam
pendek dan legging abu-abu ketat tiga perempat.
Dengan pakaian seperti itu, wajar saja banyak yang menengok untuk
mengagumi lekuk-lekuk tubuhnya yang masih aduhai biarpun relatif rata.
Namun memang yang paling menarik perhatian pada Citra adalah wajahnya.
Dengan riasan mata berwarna gelap yang seksi, sapuan blush pink di pipi,
dan lipgloss pucat mengkilat, pesona paras Citra makin memancar.
Rambutnya digerai saja, setengah menutupi sepasang anting panjang modis
yang menghias telinganya.
Keduanya berjalan-jalan sambil memperhatikan
etalase, kadang-kadang masuk ke satu toko untuk melihat-lihat. Dan
setelah setengah jam, tidak banyak laki-laki pengunjung mall itu yang
tidak teralihkan perhatiannya ketika Citra lewat. Yang paling parah
sejauh ini, seorang bapak yang mendorong kereta belanja dan meleng
sampai menabrak orang karena tidak bisa lepas matanya dari Citra. Citra
cuma terkikik ketika mendengar ribut-ribut antara orang yang ditabrak
dan bapak itu.
“Kak…” bisik Sovi.
“Hihihi, salah sendiri bapak itu meleng,” kata Citra.
Citra dan Sovi masuk ke satu toko sepatu, dan Citra langsung
mencoba-coba beberapa. Lagi-lagi ada yang memperhatikannya,seorang
laki-laki muda yang sepertinya mengantar pacar atau istrinya berbelanja,
di toko yang sama.
“Yang ini bagus nggak?” tanya seorang perempuan yang sedang mencoba sepasang sepatu berhak tinggi kepada laki-laki itu.
“Cakep…” kata laki-laki itu, bukan memandangi pasangannya tapi malah melirik Citra. Citra balik melirik sambil tersenyum genit.
“Apanya yang cakep, heh? Kamu ngelihatin apa tadi?” perempuan tadi
menyikut si laki-laki yang terpesona, lalu buru-buru menariknya keluar
toko.
Setelah mencoba beberapa pasang, Citra dan Sovi meninggalkan toko
sepatu tanpa membeli. Sovi baru sadar betapa Citra tampak begitu
menarik. Dari dulu mereka sering jalan bareng, tapi baru kali ini Sovi
merasakan sesuatu yang lain…iri. Melihat Citra mampu menarik perhatian
banyak sekali laki-laki, Sovi entah kenapa merasa iri. Sekaligus dia
bingung karena merasa iri. Buat apa iri karena Citra lebih menarik?
Sebenarnya itu efek program bawah-sadar yang ditanamkan Mang Enjup
dalam kepala Sovi. Yang menyuruhnya menjadi wanita cantik penggoda.
Citra dan Sovi masuk ke satu toko serba-ada besar. Di sana keduanya
melihat-lihat pakaian. Citra mulai memilihkan baju untuk Sovi; sengaja
atau tidak, Citra mulai menyarankan baju-baju yang lebih seksi untuk
adik iparnya itu.
“Ini bagus buat kamu,” kata Citra sambil menyodorkan gaun pendek merah dengan belahan amat rendah.
Sovi yang dulu akan menampik saran Citra itu langsung, tapi Sovi yang
sekarang menerimanya, melihat gaun merah itu, lalu memajangnya di depan
tubuhnya untuk membayangkan cocok tidak gaun itu dipakainya.
“Coba yang ini juga deh,” Sovi disodori kaos putih ketat polos.
“Kalau aku yang pake, biasa aja,“ kata Citra sambil menengok ke bawah, ke dadanya yang tak seberapa membusung,
“kalau kamu, ngisinya lebih bagus.”
Begitu terus. Selanjutnya Citra menyodorkan rok super mini, celana
pendek, babydoll transparan, dan berbagai macam pakaian lain yang kalau
dipakai dijamin membangkitkan gairah laki-laki. Pertahanan Sovi luluh
juga dan dia membeli tiga potong: gaun pendek merah, rok mini hitam, dan
babydoll transparan. Citra tersenyum-senyum ketika Sovi menerima tas
plastik berisi belanjaannya.
“Hitung-hitung bikin adikku senang, ya gak?” Sovi tersipu malu mendengar komentar Citra. Ya, ini semua buat Bram…ya, kan?
Mereka berdua kemudian melewati satu counter kosmetik. SPG di counter
itu, seorang perempuan muda seumuran mereka dengan riasan lengkap,
langsung menawarkan produknya.
“Mbak… sudah coba lipstik warna fuchsia ini?”
“Hmm… boleh lihat?”
“Silakan, silakan.” Sovi dan Citra jadi bertanya mengenai beberapa
produk di sana. Sovi memuji make-up si SPG, si SPG balik memuji Sovi.
“Ah, Mbak ini juga cantik kok. Tapi… saya rasa blush-on yang dipakai
nggak cocok sama warna kulit Mbak. Kalau mau, saya bisa dandanin Mbak,
sekalian Mbak bisa coba beberapa produk kami. Mau kan Mbak?”
Sovi menengok ke Citra, yang mengangguk. Sovi pun duduk di kursi
counter itu, menghadap cermin. Si SPG menghampirinya, bersenjatakan
sejumlah produk yang akan dia cobakan.
“Saya Helen, Mbak. Boleh kenalan?”
“Saya Sovi.”
Pertama-tama Helen dengan cekatan membersihkan wajah Sovi dari riasan
tipis yang sudah dipakai seharian. Kebetulan rambut Sovi hari itu
dikuncir ke belakang menjauhi muka, sehingga memudahkan kerja Helen.
Helen melanjutkan dengan membubuhkan foundation, lalu bedak. Sovi
memejamkan mata ketika Helen mengoleskan eyeshadow keemasan di kedua
kelopak matanya, dan menyapukan maskara ke bulu matanya. Dirasakannya
tekanan pensil di alisnya dan sentuhan kuas lebar menyapu pipinya.
“Bibir Mbak bagus ya…” terlintas pujian dari Helen.
Sovi kaget juga dipuji seperti itu oleh sesama perempuan… Bagian
terakhir yang disentuh tangan ahli Helen adalah bibir Sovi. Tadi Sovi
sempat memperhatikan bahwa Helen, yang aslinya berbibir tipis, memakai
lip liner sedikit di luar garis alami bibirnya sehingga bibirnya tampak
lebih penuh. Rupanya itu juga yang dia lakukan ke bibir Sovi.
“Mbak Helen, ini apa nggak terlalu…” Sovi mau memprotes, tapi Helen bekerja tanpa mengindahkannya dan Sovi terpaksa tutup mulut.
Citra memandangi cara kerja Helen sambil melipat tangan di depan dada
dan mengangguk-angguk seperti guru melihat muridnya mengerjakan soal
dengan benar.
“Maaf ya Mbak,” kata Helen sebelum memegang dagu Sovi agar bisa
berkonsentrasi memberi warna ke dalam bibir Sovi yang sudah dibingkai
lipliner.
Sovi melihat kuas kecil bersaput lipstik berwarna fuchsia
bermain-main di permukaan bibirnya. Entah kenapa, dia merasa bergairah
membayangkan hasilnya. Helen rupanya benar-benar gemas dengan bibir
Sovi, sampai-sampai beberapa kali mengulaskan warna fuchsia di tempat
yang sama.
Hasil akhirnya, Sovi dengan wajah glamor seolah akan ke pesta, dengan
kulit mulus tanpa cela, mata tajam karena eyeliner dan maskara
dibingkai eyeshadow keemasan, dan bibir merah terang keunguan yang lebih
ranum daripada biasanya, karena “dipertebal” oleh Helen. Helen
memandangi “hasil karya”-nya dengan puas. Citra ikut mengomentari,
“Mbak Helen hebat juga ya? Aku aja yg punya salon belum tentu bisa
makeover dia sebagus ini. Kapan-kapan aku minta diajarin yah.”
Setelah membeli beberapa produk, Citra dan Sovi meninggalkan counter
kosmetik itu. gairahsex.com Citra sempat bertukar nomor HP dengan Helen.
Sovi berjalan dengan penampilan baru yang lebih wah. Hanya memang rias
wajahnya agak kontras dengan pakaiannya yang masih pakaian kerja. Puas
berbelanja, kedua perempuan itu kemudian melepas lelah di salah satu
kafe. Hari sudah beranjak senja. Sambil menyeruput kopi, keduanya
berbincang tentang kejadian-kejadian hari itu. Citra memesan cappuccino
hangat sementara Sovi sedang menyeruput es kopi karamel dalam gelas
tinggi.
“Emangnya Bram lagi ngapain sekarang, Sov?” tanya Citra.
“Mas Bram… tadi waktu mau pulang dia dipanggil Mang Enjup. Katanya
dia suruh ikut, mau ketemu Pak Walikota dan beberapa anggota DPRD,”
jawab Sovi.
“Whuih. Orang penting semua tuh. Yah, lumayan juga kan. Pastinya buat ngelobi proyek gede,” lanjut Citra.
“Yah, tapi biasanya terus Mas Bram dibawa Mang Enjup ngelobi orang
sampai malam, di restoran atau pub atau klub malam,” kata Sovi.
“Moga-moga dia nggak diajak minum-minum lagi.”
Tiba-tiba telepon Sovi berbunyi. SMS. Ketika Sovi menggerakkan tangan
untuk meraih teleponnya, tanpa sengaja dia menyenggol gelas kopinya
sampai terguling. Isinya tumpah mengguyur pangkuannya.
“Ehhh!?” Sovi menjerit kaget.
Cairan dingin berwarna coklat muda mengguyur celana putihnya. Citra
langsung bangkit dan mengambil tisu untuk menyeka. Seorang pelayan kafe
yang tidak jauh dari sana juga ikut membantu membereskan. Sovi melihat
ke pangkuannya yang bekas tersiram es kopi. Citra kemudian membayarkan
pesanan mereka dan segera mengajak Sovi ke kamar mandi. Di dalam kamar
mandi, Citra menyarankan Sovi untuk ganti pakaian.
“Daripada kamu jalan-jalan dengan celana celemotan begitu, gak enak
dilihat, udah ganti aja sama rok yang tadi kamu beli,” kata Citra.
Sovi kemudian masuk ke salah satu bilik dalam kamar mandi, dan
beberapa menit kemudian keluar dengan mengenakan rok mini hitam yang
tadi dibelinya. Celana panjang putihnya yang ternoda dilipat dan
dimasukkan ke dalam tas belanja.
“Hmm… buka aja blazernya Sov, gak cocok sama roknya,” Citra menambah saran.
Blazer kantoran Sovi pun ikut menemani celana putihnya di dalam tas
belanja. Sekarang Sovi jadi mengenakan kombinasi blus berenda biru muda
tanpa lengan dan rok mini hitam. Citra tersenyum melihat adik iparnya
yang jadi terlihat lebih menarik itu. Bagaimanapun, Sovi yang tadi
ditemuinya masih berpenampilan kantoran, tapi yang sekarang, dengan blus
tanpa lengan, rok mini, dan juga riasan lengkap hasil karya Helen si
SPG kosmetik, terlihat lebih menggoda.
Dan efeknya memang terlihat.
Ketika mereka berdua meneruskan berjalan-jalan lagi sesudahnya,
orang-orang tidak lagi hanya memperhatikan Citra, tapi juga Sovi.
Diam-diam Sovi merasa puas karena bisa menarik perhatian juga… tekadnya
tadi pagi untuk bisa mengalahkan kecenderungan barunya untuk lebih genit
sudah buyar. Ketika hari sudah cukup malam, Citra dan Sovi memutuskan
untuk pulang. Mereka menyetop taksi di depan mall.
Di suatu karaoke…
Hingar-bingar musik dan nyanyian sumbang memenuhi ruangan kecil yang
penuh asap rokok dan tawa. Di depan layar TV, seorang laki-laki setengah
tua yang bertubuh pendek buntak seperti kodok bernyanyi mengikuti syair
lagu yang ditayangkan di TV, mulutnya yang lebar seperti mau menelan
mikrofon. Dia menyanyi sambil merangkul seorang perempuan berkacamata
dan berhidung mancung yang juga menggenggam mikrofon. Di sofa dalam
ruang karaoke itu, duduklah Mang Enjup, Bram, dan dua orang anggota DPRD
kota yang sedang tertawa-tawa dan mengomentari bapak Wakil Ketua Fraksi
yang sedang bernyanyi ditemani Febby, sekretaris Mang Enjup. Selain
mereka, ada juga dua orang perempuan pemandu karaoke; kedua cewek itu
duduk di sebelah masing-masing anggota DPRD. Mang Enjup melihat Bram
habis mengirim SMS.
“Sudah pengen pulang, Bram?” goda Mang Enjup.
“MaMang juga, kalo punya istri geulis seperti Sovi, pasti pengennya cepat pulang terus.”
“Ya… kita selesaiin aja dulu urusan kita, Mang,” kata Bram.
Tiga orang anggota DPRD sudah mereka pegang. Sayang tadi Pak Walikota
tidak mau diajak ke karaoke. Bram tidak tahu, SMS-nya jadi satu bagian
dalam rangkaian peristiwa yang akan menimpa Sovi.
“Aduh, Bu… maafin banget nih, tadi pas keluar pool taksi saya gak
kenapa-kenapa,” supir taksi yang membawa Citra dan Sovi berulangkali
minta maaf. Taksinya mogok, mesinnya berasap. Citra dan Sovi keluar dari
taksi.
“Ya udah, Ibu berdua gak usah bayar deh, saya yang salah,” kata si supir taksi.
“Kita cari taksi lagi,” kata Citra.
Sovi mengangguk. Jalan ke rumah masih jauh…tapi, taksi mereka mogok
di daerah yang sepi. Citra melihat sekelilingnya gelap dan tidak ramai.
Selain susah mencari taksi di sana, lingkungannya mungkin rawan,
berbahaya untuk dua orang perempuan.
“Sov, ayo kita jalan ke tempat yang lebih rame,” usul Citra.
“Ayo Kak,” jawab Sovi.
Sovi juga sadar dengan lingkungan di sana. Keduanya pun berjalan kaki
ke ujung jalan yang terlihat lebih terang dan ramai, meninggalkan si
supir taksi yang sibuk membetulkan mesin taksinya. Tak seberapa lama,
mereka berdua telah sampai ke tepi jalan yang agak terang. Memang lebih
terang, tapi sama sepinya; di jalan itu ada beberapa toko yang buka
siang hari, sebagian besar telah tutup. Hanya ada satu-dua yang masih
buka.
Setelah sekitar lima menit menunggu, tidak juga ada taksi yang
lewat… dari ujung jalan terdengar langkah-langkah orang sedang berlari.
Citra dan Sovi menengok ke arah datangnya suara, dan melihat seorang
perempuan jangkung… bukan, laki-laki? Rupanya yang berlari ke arah
mereka adalah seorang banci. Citra dan Sovi tidak tahu apa yang terjadi.
Si banci melewati mereka sambil berteriak,
“Awas! Ada razia!!”
“Razia…?” keduanya bertanya-tanya.
Belum sempat keduanya mencerna keadaan, mendadak muncul satu mobil
truk kecil penuh aparat berseragam mengejar banci yang sudah berlari
menjauh.
“Hei, ada dua di sini!” teriak salah seorang aparat.
Mobil itu langsung berhenti dan lima orang aparat meloncat turun.
Mereka langsung mendekati Citra dan Sovi. Di kota tempat Citra dan Sovi
tinggal, Walikota dan DPRD menyusun dan menerapkan peraturan susila yang
melarang pelacuran di jalan. Peraturan itu memuat pasal-pasal yang
membolehkan aparat menangkap perempuan yang dicurigai sebagai pelacur.
Sebenarnya peraturan itu telah lama dipersoalkan karena berpotensi
menjerat perempuan-perempuan yang sebenarnya tidak bersalah. Siapa
nyana, malam itu peraturan tersebut memakan korban lagi.
“Eh, apa-apaan nih?” Citra memprotes ketika tiba-tiba dia dan Sovi diringkus oleh para aparat.
“Lepasin! Mau apa sih kalian?”
“Jangan ngelawan! Ayo ikut!” Salah seorang di antara mereka menghardik Citra.
Kedua perempuan itu meronta untuk melepaskan diri, tapi gagal. Mereka
digelandang ke atas truk aparat dan disuruh duduk di sana, diapit
aparat. Sebagian aparat yang tadi turun rupanya sedang mengejar si
banci. Beberapa menit kemudian mereka datang membawa si banci yang
ditelikung. Citra dan Sovi terjaring razia pelacur jalanan!
Citra dan Sovi duduk di sebelah banci yang tadi ikut terciduk, di bak
truk aparat yang berbangku dan berkap, dikelilingi beberapa aparat yang
memandangi mereka sambil tersenyum-senyum cabul.
“Mince,” si banci menyodorkan salam, mengajak berkenalan.
“Mau rokok nggak?”
“Citra,” Citra menjabat tangan Mince.
“Kita ini…”
“Kena razia,” kata Mince sambil menyalakan rokok.
Citra menerima rokok dan korek api dari si banci, lalu ikut merokok
untuk menenangkan diri. Tangan Sovi yg menggenggam lengannya terasa
sedingin es. Adik iparnya itu syok setelah tiba-tiba diciduk aparat.
Citra juga kaget, tapi dia berusaha tenang dan tidak ikut panik.
“Gimana ini… gimana ini Kak… kita mau diapain Kak…” Sovi komat-kamit ketakutan, suaranya bergetar.
“Tenang aja Sov, ini cuma salah paham,” kata Citra.
“Coba kamu kontak Bram.”
Dengan tangan gemetar Sovi mengeluarkan HP dan mencoba mengontak
Bram. Sayang, pada waktu yang sama telinga Bram sedang penuh dengan
hingar-bingarnya suara karaoke. Sampai batere HP Sovi habis, dia tak
juga menjawab panggilan minta tolong dari istrinya itu.
“Mas Bram ga bisa dikontak Kak…” keluh Sovi, matanya berkaca-kaca.
“Tenang aja kalo gitu,” kata Citra. Dia sepertinya masih punya kartu truf…
Truk aparat yang menciduk Citra, Sovi, dan Mince berhenti di suatu
tempat. Para aparat yang duduk di belakang, yang sedari tadi tidak
banyak mengajak bicara mereka, menyuruh mereka turun. Ketika Sovi turun,
ada yang iseng mencolek pantatnya.
“Auw!” jerit Sovi kaget.
Aparat yang mencolek Sovi tertawa bersama teman-temannya.
“Wuih, asyik juga suara dia! Bahenol lagi!” selorohnya.
Merah padam muka Sovi setelah dipermalukan seperti itu. Tapi dia tak
berani menghardik pelaku pelecehan terhadapnya. Sovi, Citra, dan Mince
segera digelandang ke satu bangunan, yang ternyata adalah kantor satuan
aparat yang menangkap mereka. Citra terlihat tersenyum sinis; dia sudah
punya rencana. Mereka bertiga masuk ke kantor itu dan disuruh duduk di
satu bangku panjang. Seorang aparat meminta KTP mereka.
“KTP mana? Ayo keluarin, mau didata,” hardiknya kasar. Aparat yang
meminta bertampang kasar, dan di dada seragamnya terpampang nama
“JULFAN”.
“Julfan,” Citra membaca nama itu dengan cuek. “Jul. Sebelum kamu
minta KTP, bisa saya ketemu sama komandan kamu yang namanya Pak Gede?”
Julfan agak kaget dengan reaksi Citra yang cuek. Dia seperti
menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan, lalu dia masuk ke satu
ruangan di belakangnya.
Sejenak kemudian dia kembali, dan berkata ke Citra, “Ikut saya.”
Sovi melihat Citra bangkit sambil tersenyum sinis, dan berjalan penuh percaya diri mengikuti Julfan ke ruangan itu.
“Kamu tenang aja, biar Kak Citra yang beresin,” ujar Citra sebelum masuk.
Tapi Sovi tetap khawatir, apalagi setelah dia melihat pintu menuju ruangan itu tertutup…
Citra mengikuti Julfan memasuki ruangan lain di kantor aparat
tersebut. Di dalamnya ada satu meja, dua bangku panjang, dan kira-kira
delapan orang aparat yang duduk-duduk di bangku panjang itu. Mereka
inilah yang barusan melakukan razia. Di ujung ruangan Citra melihat
seorang laki-laki besar berkulit gelap dan berseragam, berdiri
membelakanginya. Laki-laki itu mendengar Citra datang dan berbalik.
Begitu melihat Citra, dia tertawa.
“Hahaha. Kenapa juga lu sampai kena razia? Udah pindah sekarang jualannya ke jalan?”
Citra meludah ke samping, membuat para aparat yang berada di sana
geram sekaligus kaget karena keberanian perempuan yang baru diciduk itu,
dan segera berbicara kepada si laki-laki berkulit hitam.
“Anak buah lu ini pada gak becus semua. Gue sama adik gue lagi nunggu
taksi di pinggir jalan malah diciduk. Gue mau elu lepasin kita berdua
sekarang juga, Gede.”
Laki-laki yang dipanggil Gede itu tertawa lagi, sedangkan anak buahnya bingung.
“Sini,” Gede menarik Citra ke ujung ruangan, agak jauh dari anak buahnya yang bergerombol dekat pintu.
Dia memberi tanda agar anak buahnya tidak mendekat. Setelah keduanya
bisa berbicara tanpa didengar yang lain, Gede baru menanggapi Citra.
“Anak buah gue cuma ngejalanin tugas. Tadi mereka udah lapor tentang
gimana kalian ditangkap. Mereka pikir kalian PSK yang lagi nunggu
pelanggan di pinggir jalan,” kata Gede pelan.
“Kalau ngelihat pakaian elu sih gue gak heran.”
“Congek lu,” hardik Citra.
“Udah jangan banyak omong. Sekarang lu lepasin aja gue dan adik gue.”
Gede tertawa lagi. “Citra, Citra. Lu dan gue sama-sama ngerti kan, di
dunia ini gak ada yang gratis? Kenapa gue mesti bebasin lu? Lu tau
kerjaan gue negakin peraturan pemerintah daerah kan. Lu berdua
ngelanggar peraturan, terus ketangkep. Sorry Cit. Teman sih teman, tapi
gue dan anak buah gue mesti ngejalanin tugas kan.”
Citra muak mendengar kata-kata Gede yang pura-pura profesional itu. Dia langsung memperjelas urusan.
“Cih. Gak usah sok suci, sok taat hukum lu. Sebut aja berapa yang lu minta.”
“Gue gak minta ‘berapa’, gue minta ‘apa’,” kata Gede, si komandan aparat itu.
“Mau lu apa sih? Yang jelas!” seru Citra jengkel.
“Lu mau gue kasih tambah jatah gratisan lagi? Oke, gak masalah, lu
bebasin gue dan adik gue sekarang, besok atau lusa lu boleh seharian ke
salon gue, gue kasih full service, gratis. Lu ada permintaan macem-macem
juga gue kasih deh! Yang penting lu lepasin gue sekarang.”
Gede nyengir, lalu membalas tawaran Citra dengan tawaran baru.
AGEN POKER TERPERCAYA
“Gimana kalo gue minta sekarang, di sini? Dan gimana kalau permintaan
macem-macemnya itu gue minta main ama adik lu? Tadi gue udah lihat dia,
kayaknya lebih bohay dari elu tuh. Gue pengen nyicipin dia. Dia sama
kayak elu kan?”
“Gila lu ya?” kata Citra sengit, “Masa’ di sini? Dan lu jangan
sekali-sekali sentuh adik gue. Dia perempuan baik-baik.” Gede cuma
nyengir.
“Kalau gak mau, ya udah. Biar kasusnya diproses, gue sih gak rugi.”
Citra berbalik dan menjauh. Dia bermaksud keluar.
“Oke, oke, gue gak akan sentuh adik lu,” kata Gede.
“Tapi kalau lu mau nyervis gue di sini, lu boleh bebas dan gue lupain kejadian malam ini.”
Citra menoleh dengan wajah benci. Gede duduk sambil senyum, tidak memandang ke arahnya, menunggu jawaban.
“Gimana?”
Citra berpikir. Dia sadar posisi tawarnya lebih lemah. Akhirnya dia menjawab.
“Oke. Suruh anak buah lu keluar.” Gede tertawa.
“Buat apa?”
“Dasar aparat gila!” maki Citra.
“Ya udah! Gue gak butuh lu. Gue bisa keluar sendiri. Lu gak mau, gue bisa cari bantuan atasan lu. Biar lu yang tau rasa.”
Citra melangkah ke arah pintu dengan marah. Tapi dia dihadang anak buah Gede.
“Minggir!” Citra berusaha menyibak hadangan mereka, tapi seorang aparat malah menangkap tangannya. “Lepasin!” seru Citra marah.
Tahu-tahu saja Gede sudah ada di belakang Citra, meringkus Citra.
“Lu nggak ngerti keadaan lu, ya?” kata Gede sambil ikut menelikung Citra.
“Dasar lonte, lu kira lu bisa seenaknya ngatur gue? Apa lu nggak tau
gue bisa apa? Silakan aja lu keluar. Habis itu lu tinggal pilih, mau gue
suruh wartawan datang ke sini biar nama lu dan adik lu ada di koran,
sebagai PSK yang kejaring razia, atau besok gue gerebek salon mesum lu.
Mau gitu? Hm?”
“Engh…” Citra takluk.
Rencananya tawar-menawar dengan Gede, komandan aparat yang juga
pelanggan jasa plus-plus di salonnya, buyar. Nyalinya mendadak ciut.
“Gue masih baik, Cit. Asal lu mau nurutin semua kata-kata gue malam
ini, gue janji bakal lepasin lu dan anggap malam ini gak terjadi
apa-apa. Setuju?”
Dengan berat hati, Citra mengangguk. Gede tertawa terbahak-bahak.
“Sekali aja lu nggak nurut, kesepakatan kita batal. Ngerti?”
“Terserah apa mau lu…” bisik Citra dengan nada lemah tapi benci.
“Bagus. Pertama, lu gak boleh nolak apapun yang gue lakuin,” kata
Gede yang tak sabar hendak menikmati hasil kesepakatannya. Dia menengok
ke jam dinding.
“Kesepakatan kita sampai jam 12, ya.”
Saat itu jam 9 malam. Citra hanya bisa pasrah. Dia merasakan tangan
Gede mulai menggerayangi tubuhnya, mengelus payudaranya dan
mencubit-cubit putingnya yang masih terbungkus tanktop hitam. Tak lama
kemudian…
“Unghh…” desahan pertama Citra pun terdengar.
Di sekeliling Citra, Julfan dan delapan orang aparat menonton.
Tadinya mereka hendak menghadang Citra yang mau memaksa keluar, tapi
mereka tetap di sana karena paham apa maksud komandan mereka. Citra yang
sudah berpengalaman boleh dibilang tidak malu-malu apabila ada banyak
orang asing yang menontonnya dalam keadaan intim, karena berbagai
pengalamannya ketika lebih muda, tapi dia tetap tak senang para aparat
itu malah menontonnya.
Namun dia tak punya pilihan. Pelan-pelan sentuhan
Gede jadi makin berani, dan tangan Gede merogoh ke dalam celana legging
Citra dan mengelus-elus kewanitaan Citra. Citra mendesah lagi,
berkali-kali, menyadari tatapan lapar dari para aparat yang
mengelilinginya—beberapa di antara mereka tampak mulai menggerakkan
tangan ke arah selangkangan masing-masing, merasakan sesuatu membuat
celana mereka menyempit.
“Buka baju,” perintah Gede.
Citra menurut. Tanpa malu-malu dia membuka tanktop hitam-nya, lalu
memelorotkan serta melepas leggingnya. Citra tak peduli dengan
menetesnya liur para aparat ketika dia memperlihatkan tubuh telanjangnya
yang mulus di depan mereka. Gede nyengir melihat puting Citra yang
mengeras di atas sepasang payudara yang bersahaja, pertanda perempuan
yang jadi budaknya sampai jam 12 itu terangsang. Dia sendiri sudah akrab
dengan tubuh Citra, mengingat si pemilik salon plus-plus itu kadang
membayar jaminan supaya salonnya tidak digerebek dengan layanan
tubuhnya. Gede mengambil kursinya, lalu duduk di situ dan membuka
resleting celana.
“Duduk di pangkuan gue, sini,” suruhnya.
Si komandan aparat itu bertubuh besar, tapi tidak gendut sekali dan
tidak juga kencang berotot; Citra merasa seperti berada di atas kursi
sofa yang empuk ketika dia duduk di pangkuan Gede, membelakangi Gede.
Kedua tangan Gede langsung menyambut Citra, tangan kiri menggerayangi
dada, tangan kanan bermain di kemaluan Citra.
“Ayo goyang,” bisik Gede ke telinga Citra, dan Citra pun menggerakkan
pantatnya, merangsang batang zakar Gede yang terjepit di bawahnya dan
mulai membesar.
Dengan gerakan kedua pahanya, Gede membuat Citra mengangkang. Lalu
Gede menggenggam penisnya, menaruhnya di bukaan vagina Citra, dan
menyodok ke atas. Citra menjerit kecil. Entah itu karena sakit, nikmat,
atau malu. Citra segera mengikuti irama gerakan Gede, naik-turun. Gede
menciumi pundak Citra selagi si pemilik salon melonjak-lonjak disetubuhi
di pangkuannya.
“Uh! UH! Ahnn!” Erangan-erangan tertahan mulai muncul dari mulut
Citra, dan para aparat yang menonton bisa tahu bahwa apa yang dilakukan
Citra sepertinya sukarela.
“Balik badan,” perintah Gede.
Citra berhenti bergerak, berdiri sejenak, berbalik badan, lalu
kembali duduk mengangkang di pangkuan Gede dan memasukkan kemaluan Gede
ke kemaluannya. Citra kembali bergerak naik-turun, berusaha membuat Gede
orgasme secepat mungkin agar dia bisa segera lepas. Dia beberapa kali
bergerak ke atas sampai kepala burung Gede nyaris keluar dari vaginanya,
kemudian pelan-pelan turun hingga senjata Gede tertelan sampai pangkal.
Kemudian dia akan naik-turun dengan cepat sampai beberapa kali. Kini
tidak hanya Citra yang mengeluarkan suara-suara penuh nafsu, Gede pun
ikut-ikut menggerung dan mengeluh keenakan. Gede kembali mencubit-cubit
puting Citra yang peka. Suara kulit bertemu kulit makin kencang, begitu
pula suara desahan dan gerungan.
“Uh! UHH! Ah!” Citra menggila di pangkuan Gede, naik-turun dengan
begitu cepat, rambutnya yang panjang mengibas kesana-kemari selagi
tubuhnya terguncang persenggamaan. Gede menggeram selagi dia akhirnya
memuncratkan mani di dalam rahim Citra.
“HUUHHHH!!”
Citra ambruk, terkulai ke dada Gede, kewanitaannya menampung semburan
hangat dari Gede. Gede tertawa lagi, lalu mendorong pinggul Citra
sehingga penisnya keluar dari jepitan vagina Citra.
“Sekarang lu bersihin kontol gue,” kata Gede kepada Citra yang sudah merosot hingga terduduk di lantai depan kursi.
Dari belahan vagina Citra tampak sedikit cairan putih kental
mengalir. Citra melaksanakan perintah Gede dengan patuh, dan memasukkan
kepala penis Gede yang masih lemas ke dalam mulut. Citra menjilat dan
menyedot, dan batang itu pun mulai mengeras lagi. Tak lupa Citra
menjilati buah pelir dan rambut kemaluan Gede. Saat itu Gede sudah
melepaskan celananya.
“Turun lagi,” perintah Gede. Turun lagi? Itu berarti… Citra menahan
jijik selagi dia menuruti perintah itu, dan menjilati bagian luar lubang
pantat Gede. Untung Gede tidak lama-lama menyuruhnya melakukan itu.
“Oke. Hey, Jul,” Gede memerintah anak buahnya, “ambil matras di sana, gelar di tengah.”
Jul mengambil matras busa yang disimpan dalam satu lemari di ruangan
itu, lalu menaruhnya di tengah ruangan. Citra menunggu perintah
selanjutnya, yang ternyata adalah
“Tiduran di sana.”
Citra berbaring telentang di atas kasur itu. Tiba-tiba kesembilan anak buah Gede merubungnya.
“Hey, apa-apaan nih?” tanyanya ketika mereka mendekat.
“Sekarang kamu layani mereka semua, ya!” kata Gede sambil tertawa,
“Sampai semuanya puas!”
Citra protes tapi tak didengar. Para aparat itu langsung menerkamnya.
Julfan—yang mendapat giliran pertama, tahu-tahu saja sudah buka celana
dan memamerkan penisnya yang lumayan besar di depan muka Citra.
“Giliran gue!” katanya.
Teman-temannya menahan Citra sambil menggerayangi sekujur tubuh
Citra. Tanpa basa-basi Julfan langsung mempenetrasi Citra. Vagina Citra
yang basah karena mani Gede menerimanya dengan mudah. Citra menjerit,
tapi jeritannya terputus ketika seorang aparat yang lain memaksa mencium
bibirnya. Empat orang sekaligus menikmati tubuh indah Citra, satu orang
menciumi bibir dan wajahnya, dua orang memain-mainkan payudaranya, dan
Julfan mendapat giliran menyetubuhinya. Citra cuma bisa meronta-ronta di
bawah keroyokan, berusaha bertahan sambil meyakinkan diri, ini tidak
apa-apa, ini demi Sovi juga.
Selama beberapa menit digumuli, Citra hanya
bisa merintih dan mengeluh. Tak lama kemudian, Julfan melenguh panjang
dan memuncratkan benihnya di dalam tubuh Citra. Dia langsung ditarik
oleh kawannya agar segera keluar dari vagina Citra, dan tanpa memberi
kesempatan beristirahat kepada Citra, yang lain langsung menggantikan.
Malam yang mengenaskan baru saja mulai bagi Citra, yang tak bisa berbuat
apa-apa selagi dia digilir oleh para aparat bejat.
Hampir satu jam Sovi menunggu kakaknya, tapi Citra tak keluar-keluar
juga dari ruangan yang dimasukinya. Dia mulai gelisah. Di ruangan tempat
dia menunggu, hanya ada seorang aparat muda yang disuruh menjaga, dan
Mince si banci. Mince ketiduran karena bosan. Si aparat muda hanya duduk
di dekat pintu, tanpa mengajaknya bicara.
“Bang…” akhirnya Sovi memberanikan diri mengajak bicara si aparat yang menjaga pintu.
“Boleh nggak saya masuk ke sana, menemui kakak saya?”
Yang dialami Citra makin lama makin menjadi-jadi. Entah siapa yang
memulai, yang jelas setelah beberapa lama para aparat itu memutuskan
untuk menggarap pantatnya juga. Dia hanya bisa menerima dan menahan
ketika Gede dan anak buahnya menggarap semua lubang yang bisa disetubuhi
di tubuhnya, vagina, dubur, dan mulut. Berulang kali, dengan berbagai
variasi. Posisi doggy, dengan satu orang di belakang menyetubuhi
vaginanya sambil mengemplangi pantatnya, sementara satu orang di
depannya mencengkeram kepalanya, memaksa dia menyepong. Dikeroyok tiga
orang sekaligus, satu di vagina, satu menusuk pantat, satu memerkosa
muka. Makin lama Citra merasa makin tak tahan. Apalagi lawan-lawan
mainnya seolah tak kenal berhenti. Berulangkali dia menahan sakit selagi
penis demi penis memaksa masuk ke duburnya. Citra sudah setengah sadar
ketika lubang pantatnya dirojok orang keempat; dia sudah tak bisa
merasakan kenikmatan dari persetubuhan paksa itu. Dalam keadaan itulah
Sovi melihat Citra.
“Ah! Kak…” Sovi langsung menutup mulut dan terpaku,
Pintu terbuka, dan yang Sovi lihat adalah Citra, telanjang,
menungging, dengan tatapan kosong dan pasrah, tengah disodomi seorang
aparat sementara yang lainnya mengerumuninya dengan tampang bernafsu.
“Kamu adiknya, ya?” kata Gede, yang berdiri di sebelah pintu dan langsung menghadapi Sovi.
“Mau nggantiin kakakmu nggak?”
“Apa… ada apa ini… kenapa… Kenapa Kakak…”
Sovi bingung dengan apa yang terjadi, dan rintihan lemah kakak
iparnya yang kesakitan membuat dia tak bisa berpikir. Dia berusaha
mendekati Citra, tapi Gede menghalanginya.
“Tolong Pak… sudah Pak, kakak saya jangan dibegitukan Pak… tolong…” Sovi hanya bisa meminta. Tangisnya pecah.
Gede mencoba memanfaatkan keadaan.
“Kamu tahulah kenapa kalian dirazia. Kalian lagi pada jual diri di
jalan kan? Huh, dasar lonte. Kakakmu tadi minta dibebasin. Dia sendiri
yang nawarin diri ke kita.”
“Tolong Pak… bebasin kami, kami ini korban salah paham, kami bukan…
pelacur… Kami perempuan baik-baik, mohon lepasin kami Pak…” kata Sovi di
sela-sela isak tangisnya.
“Tolong Pak… kasihani kakak saya…”
“Ya, ya, ya, semua yang ketangkep juga bilang gitu,” kata Gede.
“Emangnya saya percaya? Bohong! Tuh lihat, ngapain kakakmu nawarin
diri buat dientot gratis kalau dia bukan perek? Paling-paling kamu sama
aja.”
“Bukan Pak… tolong percaya saya… saya dan kakak saya bukan perempuan tuna susila… mohon lepasin kami Pak…”
“HUNGH!” Percakapan antara Gede dan Sovi yang panik terpotong seruan
orang yang sedang menggagahi pantat Citra; dia baru saja mencurahkan
benihnya ke dalam rektum Citra, menambah penuh isinya yang sudah
menampung kontribusi tiga orang. Ketika orang itu mencabut batangnya
dari anus Citra, Citra langsung ambruk; sebagian isi pantatnya meleleh
keluar, dan di mata Sovi, cairan yang keluar itu putih bercampur merah.
Sovi melihat mata kakaknya, setengah terbuka dan terlihat tanpa jiwa.
“KAKAAK!” jerit Sovi. Dia kembali berusaha menghampiri Citra, tapi
kali ini Gede menahannya. Sovi tak mampu melepaskan diri dari
cengkeraman Gede dan seorang anak buahnya. Padahal orang berikutnya
sudah mulai menaruh ereksinya di lubang anus Citra yang sudah menganga…
“JANGAAAN!” jerit Sovi.
“Jangan… jangan lagi… kasihan kakak… tolong… jangan sentuh kakak saya lagi… sama saya saja… biar saya saja…”
Gede memegangi Sovi yang meronta-ronta sambil menangis. Dia nyengir
mendengar pernyataan Sovi itu. Itulah yang dia tunggu-tunggu: ketika
perempuan ini sudah cukup panik sehingga dia bersedia melakukan apa
saja.
“Stop!” kata Gede.
“Mundur kamu.”
Orang yang baru saja mau menyodomi Citra, ternyata Julfan lagi,
menengok ke komandannya, lalu mengurungkan niatnya memuaskan anunya di
lubang terlarang Citra. Gede lalu melepas Sovi, Sovi langsung
menghambur ke dekat kakaknya yang tergolek di atas matras dalam keadaan
berantakan.
“KAK CITRAAA…” Sovi langsung merangkul kakaknya yang telanjang, sambil menangis.
“Sov…” Citra hanya sempat mengatakan sepotong suku kata, lalu pingsan.
Gede dan anak buahnya mendekat merubung Sovi. Ia berjongkok dan
memegang bahu Sovi. Sovi kaget akibat sentuhan itu, dan segera menoleh
ke arah Gede.
“Saya percaya kamu. Kamu boleh bebas. Tapi,” kata Gede dengan pura-pura lembut,
“kakakmu tetap saya tahan untuk diproses.”
“Jangan Pak. Tolong bebasin kakak saya juga…” kata Sovi sambil terisak, memeluk Citra yang pingsan.
Segala perasaan yang berkecamuk dalam benak Sovi membuatnya tak berpikir jernih. Gede tahu cara memanfaatkan itu.
“Nggak. Kakakmu tetap saya tahan. Kamu sih boleh bebas. Saya anggap kamu nggak salah.”
“Tolong pak… tolong bebasin kakak saya juga Pak… kasihan kakak saya… Bapak boleh minta apa saja asal kakak saya bisa bebas…”
Gede tersenyum lebar. Permintaan Sovi segera disambarnya.
“Beneran?”
“Iya Pak… Saya rela kasih apa aja, asal Bapak bebasin kakak saya…”
“Kalau gitu…” kata Gede sambil merangkul Sovi,
“Gantiin kakak kamu ngelayani kami.”
“Ah…” Sovi tercekat, tak mengharapkan kata-kata barusan.
Gede melihat keraguan itu, dan tidak melepas tekanannya terhadap mental Sovi.
“Nggak mau juga nggak apa-apa sih. Tapi kakakmu tetap ditahan.”
Sovi terpejam. Sebutir air mata menetes di pipinya yang merona. Dia
tahu dia sudah menjerumuskan dirinya sendiri. Dia sekarang harus
melayani kumpulan bejat ini demi membebaskan Citra. Dia bisa saja
menolak, tapi akibatnya Citra akan kena masalah.
“Gimana, mau nggak?” tanya Gede dengan nada acuh, merasa dia tetap di atas angin, apapun jawaban Sovi.
“…” Sovi tak mengatakan apa-apa, hanya anggukan yang menyatakan persetujuan, anggukan yang dilakukannya dengan berat hati.
“Bagus,” ujar Gede.
“Mulai pake mulut kamu aja. Nih, ada yang mau dilayani dia?”
Tiga orang anak buah Gede berdiri mengelilingi Sovi yang terduduk di
dekat Citra. Penis mereka jelas berdiri tegak lagi melihat seorang lagi
perempuan cantik yang sudah bersedia di depan mereka. Mereka merasa tak
salah menduga ketika tadi menangkap Sovi juga. Di mata mereka, perempuan
bermake-up tebal, dengan bibir merah ranum, mengenakan blus tanpa
lengan dan rok mini, dan berada di pinggir jalan, apa lagi namanya kalau
bukan perempuan gampangan? Ditambah lagi mereka punya wewenang
menegakkan suatu peraturan yang memandang buruk terhadap perempuan.
“Hoy, jangan bengong aja, isep kontol gue nih,” suruh salah satunya.
Sovi dengan ragu-ragu mendekatkan wajahnya ke penis orang itu, namun
akhirnya dia memasrahkan diri dan menggenggamnya. Dia mulai menjilati
ujungnya, dan terus menjilati sekujur batang itu. Satu lagi penis tegak
milik seorang aparat teracung, dan pemiliknya menyodok-nyodokkan
ujungnya yang agak basah ke pipi mulus Sovi. Sovi menangkap maksudnya
dan mengalihkan perhatian, pertama mengulum ujung penis kedua lalu mulai
menyepongnya, sementara tangan kanan Sovi tetap di penis pertama,
memberi kenikmatan lewat sentuhan dan elusan. Orang ketiga di sekeliling
Sovi langsung meraih tangan kiri Sovi dan menyuruh Sovi mengocok
penisnya. Jadilah kini Sovi melayani tiga orang sekaligus dengan mulut
dan kedua tangannya. Sovi berganti-ganti memberi perhatian kepada tiga
kejantanan yang mengelilinginya.
Tanpa dia sadari, dia sebenarnya sudah
ahli melakukan fellatio, karena sudah banyak latihan sejak dia pertama
kali memutuskan untuk berubah penampilan demi Bram dulu. Tak heran
ketiga orang itu bisa sampai merem melek disepongnya. Bahkan kata-kata
mereka yang melecehkannya seperti “Dasar pecun, udah jago ya lu nyedot
peju” dan “Kontol gue tadi abis masuk pantat kakak lu, enak ngga
rasanya?” tidak membuatnya jijik, dan malah membuatnya terangsang.
Gara-gara tempelan pemrograman mental dari Mang Enjup, Sovi jadi suka
dilecehkan dengan kata-kata mesum seperti itu.
“CROTT! “
“Aih!” Sovi kaget ketika satu penis yang sedang dikocoknya agak dekat
ke muka tiba-tiba ejakulasi, melontarkan mani kental yang mendarat di
pelipis dan dekat matanya. Ejakulasinya berlanjut mendarat di bagian
dada blus tanpa lengan Sovi.
“Gue juga nih…!” Seorang lagi, yang sedang dikenyotnya, tidak tahan,
dan segera menarik penisnya dari dalam mulut Sovi untuk muncrat tepat di
depan muka Sovi. Sovi memejamkan mata agar tidak kena,satu cipratan
ejakulasi mendarat dekat pangkal hidungnya, dan sisanya berleleran ke
bawah. Sesudahnya, orang ketiga juga mau menyemprotkan cairan
kelelakiannya. Dia sengaja menggenggam wajah Sovi dan mengarahkan
semburannya untuk menodai wajah yang tadi siang dijadikan kanvas tempat
berkarya si SPG kosmetik, Helen.
Warna merah dan emas rias wajah Sovi
tercoreng warna putih cairan kental buangan si aparat. Gede sudah
menunggu-nunggu kesempatan untuk menikmati tubuh Sovi sejak tadi. Dia
memang terbiasa menyalahgunakan wewenangnya sebagai aparat. Kalau bukan
menarik upeti tidak resmi dari para pengusaha bisnis lendir seperti
Citra, gairahsex.com dia memanfaatkan orang-orang yang ditangkapnya atas
dasar peraturan pemerintah yang rawan penyelewengan itu. Disuruhnya
ketiga anak buahnya menyingkir dari Sovi yang terduduk. Dia mengambil
saputangan dari kantong, berjongkok, lalu menyeka ceceran mani tiga
orang di muka Sovi dengan hati-hati agar tidak terlalu banyak merusak
rias wajah Sovi. Sovi hanya diam saja menerima perlakuan itu; wajah Gede
yang besar dan hitam menyengir mesum di depan wajahnya.
“Cantik juga ya kamu,” puji Gede.
“Buka baju.”
Sovi ragu apakah harus menuruti permintaan itu atau tidak. Melihat keraguan, Gede mendorongnya lagi.
“Buka baju, atau aku yang buka bajumu.” Tangan Gede meraih ke arah deretan kancing blus Sovi.
Gerak refleks membuat Sovi bergeser mundur, menjauh dari Gede, tapi
ternyata di belakangnya ada seorang aparat. Sovi menggigil ketika Gede
melepas kancing blusnya satu per satu. Semua kancing blus Sovi pun
akhirnya terbuka, memperlihatkan kutangnya, yang tak lama kemudian juga
dilepas oleh Gede. Setelah Sovi bugil setengah badan, Gede menyuruh Sovi
melepas roknya. Kali ini dengan takut-takut Sovi membuka sendiri
resleting rok mini hitamnya dan memelorotkannya. Sovi melakukan itu
dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menutupi kedua payudaranya
yang sudah tak terlindung.
“Wuih, gedean toket kamu daripada Citra,” komentar Gede.
“Citra gak pernah cerita kalo adiknya montok seksi gini. Eh… nanggung nih. Itu celana dibuka juga dong. Ngapain masih dipake?”
Tinggal satu potong pakaian yang masih melekat di tubuh Sovi—celana
dalamnya. Gede tidak menunggu Sovi, dia sendiri dengan kasar
memelorotkan celana dalam Sovi. Selanjutnya anak buahnya yang berada di
belakang Sovi menarik tubuh Sovi dan memindahkannya sehingga Sovi kini
berada di matras yang tadi menjadi tempat Citra digarap berulangkali.
Sovi telentang, telanjang, tanpa daya… Dia memalingkan muka melihat
tubuh besar hitam Gede yang telanjang di hadapannya. Gede tadi cuma
sekali menyetubuhi Citra, dan sekarang penisnya yang berukuran lumayan
sudah tegak lagi. Si komandan aparat itu nyengir, lalu menurunkan
tubuhnya menindih Sovi. Kalau dilihat dari atas, tubuh Sovi nyaris
sepenuhnya tertutupi tubuh gempal Gede.
Sovi tak bisa menghindar ketika
Gede memaksa mencium bibirnya. Rupanya itu alasan tadi Gede membersihkan
muka Sovi, dia ingin merasakan bibir indah Sovi. Lidah Gede yang lebar
dan basah dengan tak sopannya menerobos masuk rongga mulut Sovi,
mengajak bergulat lidah Sovi. Sepasang bibir tebal Gede melahap bibir
Sovi, dan juga beraksi di garis rahang dan leher Sovi selagi Sovi
menahan jijik. \
Sementara itu kedua paha Gede bergerak membuka kedua paha Sovi.
Batang kejantanan Gede yang sudah ereksi itu mulai menempel dan
menggesek bagian luar alat vital Sovi. Sekali lagi sesuatu di dalam
pikiran Sovi menolak keadaannya sekarang, dan Sovi berusaha meronta
untuk melepaskan diri, tapi sudah terlambat, tubuh Gede terlalu berat
untuk digeser. Sovi hanya bisa menjerit pasrah ketika akhirnya
kewanitaannya tertusuk penis Gede.
Gede melihat wajah Sovi yang tak
rela, dan tak mempedulikannya sama sekali. Satu dorongan berhasil
mendesakkan seluruh penisnya sampai ke pangkal. Dia kembali menciumi
wajah Sovi selagi tubuhnya bersatu dengan tubuh Sovi, sementara Sovi
memalingkan wajah karena jijik. Liang kenikmatan Sovi yang sempit dan
sudah basah setelah terangsang akibat aksi oralnya terhadap tiga aparat
tadi rupanya memberi sensasi baru bagi Gede. Nafas Gede menjadi memburu
dan dia mulai mempercepat dorongannya menggenjot Sovi. Sovi tak kuasa
menahan erangan bercampur ratapan, selagi penis Gede mengaduk-aduk
vaginanya. Namun suara Sovi malah makin lama makin terdengar nyaring dan
bernafsu.
“Oh! Ah! OHHH!!” Bisa dilihat bahwa tubuh Sovi sendiri bingung,
antara menyerah kepada nafsu atau mempertahankan harga diri dengan terus
bersikap tak rela.
Tapi mana mungkin Sovi mampu berpura-pura tak rela, ketika sebagian
pikirannya yang telah teracuni terus-menerus mengingatkannya untuk
menerima saja bahwa dia sebenarnya pelacur yang mau tidur dengan
laki-laki mana saja?
“Huhh… ehh… Enak gak? Mau terus gak?” kata Gede di sela-sela gerakannya.
“Auhh…huhh… ahh…” Sovi berusaha menahan jangan sampai dia mengatakan sesuatu yang akan menjerumuskannya lebih jauh…
“Mau lagi gak? AYO BILANG!”
“AHH… IYA PAKHH!! LAGI PAK… TERUSIN PAK…” Jebol juga pertahanan Sovi.
Tangisnya pecah lagi karena malu, malu telah gagal menahan gempuran
nafsu yang berusaha meruntuhkan harga dirinya. Apa bedanya dia sekarang
dengan pelacur betulan yang menjajakan diri di pinggir jalan?
Malah mungkin aku lebih parah! Pelacur masih dibayar, sedangkan aku menyerahkan diri untuk disetubuhi dengan sukarela!
Ciuman penuh nafsu Gede, lidah Gede yang menjilati wajah Sovi,
kejantanan Gede yang terbenam sampai pangkal dalam kemaluan Sovi… dan
laki-laki bertubuh gempal itu bukan pasangan sah Sovi. Apakah dia
memperkosa Sovi? Tidak. Sovi sendiri yang tadi bersedia menggantikan
Citra. Nafsu binatang sudah menguasai Gede yang makin buas menghantam
selangkangan Sovi, tanpa peduli Sovi terdesak hebat di bawah tindihan
tubuh besar dan berkeringat itu. Sovi hanya dapat meringis kesakitan
selagi serangan Gede datang tanpa henti. Di sebelah mereka, terlupakan
untuk sejenak, Citra yang tadi pingsan sudah memperoleh sedikit
kesadarannya.
Dia merasa sekujur tubuhnya sakit, terutama selangkangan
dan duburnya, dan dia tak kuasa menggerakkan tubuhnya. Tapi pandangannya
tepat tertuju kepada dua sosok manusia yang tindih-menindih di
sebelahnya, tubuh hitam besar Gede yang berulangkali menghantam tubuh
Sovi yang telanjang di bawahnya. Citra hanya bisa menyaksikan wajah Sovi
yang nelangsa tanpa daya. Tapi… dan Citra kenal benar ekspresi itu, dia
tidak mungkin tidak hafal, Citra melihat bahwa nafsu birahi Sovi seolah
tak padam.
Citra menyaksikan sedikit ekspresi kenikmatan menyelip di
wajah adik iparnya Sovip kali kejantanan Gede yang besar itu bolak-balik
lenyap dan muncul di selangkangan Citra. Dan tentunya, Citra tak bisa
tidak mendengar kata-kata yang diteriakkan Sovi.”
“YAH! AHH! LAGIHH!! PAK!! ENTOT SAYA PAK! TERUS PAKHH… OH!”
Gede menegakkan tubuh dan memegang kedua pergelangan kaki Sovi,
merentang kaki Sovi selebar mungkin, dan menggoyang pinggulnya untuk
mengaduk-aduk kemaluan Sovi dengan penisnya. Pinggul Sovi ikut bergerak
tanpa dapat ditahan, seolah membalas segala gerakan Gede dalam
pertandingan saling memberi kenikmatan itu.
Citra ingin menutup telinga ketika lenguhan dan jeritan kedua insan itu makin kencang.
“AAKKK….. NGHHAAA!!” Sovi menjerit nikmat ketika dia mencapai
orgasme, matanya terpejam dan air matanya bercucuran, perasaannya campur
aduk antara terseret kenikmatan dan tertohok penyesalan.
Gerungan keras dari Gede menandakan bahwa dia juga mencapai puncak,
menimpali bunyi tubuh beradu dengan tubuh yang sudah sedemikian
kencangnya. Gede ambruk menimpa Sovi, pinggangnya kejang beberapa kali.
Citra memejamkan mata biarpun apa yang dikhawatirkannya memang tak
terlihat karena tertutup tubuh Gede. Ya, saat itu juga Gede menyemburkan
bahan pembuat calon-calon bayinya di dalam rahim Sovi.
“Huehh… enak kan itu? Gue paling suka ngecrot dalam memek…” kata Gede lemah.
Tubuh besarnya menindih Sovi yang terkapar.
“Memek lu top… gak kayak memek jablay lain yang kendor…”
Sovi sendiri gemetaran setelah menerima orgasme hebat. Gede langsung
bangkit dari atas Sovi sehingga Sovi bisa bernafas lega lagi. Vagina
Sovi yang tadinya rapat tampak merekah dan belepotan sperma Gede. Tapi
Gede baru orang pertama. Selanjutnya Julfan dan seorang aparat yang tadi
belum sempat mendapat kenikmatan mendekati Sovi. Julfan, sedari tadi
sudah telanjang, mengangkang di atas muka Sovi, lalu berjongkok. Dia
memaksa Sovi membuka mulut lalu memasukkan penisnya ke mulut Sovi. Sovi
yang sudah ternoda itu tak melawan, malah menuruti keinginan Julfan
dengan merapatkan bibir merahnya di seputar batang Julfan. Tak lama
kemudian Julfan mengoceh keenakan ketika sedotan Sovi mulai memberikan
efek yang diharapkan. Kawannya, yang berada dekat selangkangan Sovi,
memilih bermain-main dengan klitoris Sovi, dan tanpa disangka, Sovi
malah menggerak-gerakkan pinggulnya menanggapi rangsangan itu.
Setelah beberapa kali bibir Sovi naik-turun mengelus kemaluan Julfan,
Julfan mendesakkan pinggulnya ke bawah sehingga Sovi terpaksa menelan
seluruh penisnya. Sovi panik karena merasa akan tercekik, tapi Julfan
menahan posisi. Sedetik kemudian Sovi merasaka cairan kental asin
memenuhi rongga mulutnya. Setelah membuang isi buah pelirnya di dalam
mulut Sovi, barulah Julfan membebaskan mulut Sovi. Sovi sendiri
terbatuk-batuk sehingga sebagian hasil ejakulasi Julfan termuntahkan
keluar. Sementara itu kawannya tidak lama-lama memainkan kewanitaan Sovi
dengan tangan. Dia segera mengambil kesempatan untuk mempenetrasi
vagina Sovi. Sovi mengernyit sedikit, vaginanya terasa agak nyeri.
“Eh, cepetan, masih banyak yang ngantri nih,” seru seorang aparat lagi. Sungguh mereka ini tak ada puasnya.
“Daripada tunggu-tungguan, embat pantatnya aja tuh,” usul Gede.
Sovi mau menjerit protes, tapi saat itu seorang lagi sudah meniru
tindakan Julfan tadi, mengangkangi mukanya dan membuat mulut Sovi sibuk
dengan penisnya. Satu orang lagi memutuskan untuk menuruti usul si
komandan dan segera memposisikan diri di belakang kawannya yang
menggenjot vagina Sovi. Dia mengatur posisi supaya bisa mendapat jalan
menuju pintu belakang Sovi, lalu menyodok lubang dubur Sovi dengan jari
tengahnya yang dibasahi liur untuk mempermudah penetrasi. Sejenak mulut
Sovi bebas, namun yang saat itu juga keluar adalah jeritan,
“Auuw…Auhh! Pe…lan-pelann!!” Baru kepala penis yang masuk ke lubang
pengeluaran Sovi, tapi orang yang memasukkannya kurang sabar sehingga
Sovi cuma merasakan sakit. Tapi pelan-pelan masuk juga seluruh batang
itu ke saluran belakang Sovi.
Kini ganti Citra yang menjadi penonton selagi dia melihat Sovi, adik
iparnya, seorang perempuan baik-baik dan istri seSovi, menjadi
bulan-bulanan tiga orang aparat yang mencabuli mulut, vagina, dan anus.
Sovi yang mengerang dan mendesah penuh nafsu seperti seorang pelacur.
Citra tahu dia sendiri sudah gagal melindungi Sovi… tadi dia sudah
menawarkan diri untuk melayani mereka semua supaya mereka tak menyentuh
adik iparnya, tapi ternyata mereka begitu cepat menguras staminanya dan
kini mereka sudah menjamah adiknya. Dia merasa bersalah. Tapi rupanya
dia tak diberi kesempatan untuk berlama-lama merenung, karena
orang-orang di ruangan itu menyadari dia sudah sadar lagi.
“Udah bangun, Cit?” kata Gede yang berjongkok di sebelahnya.
“Payah lu, masa’ empat ronde udah pingsan. Kalau udah bisa lagi, lanjutin yuk.”
“Eh…” protes Citra tak terdengar selagi Gede menjauh untuk memberi kesempatan kepada dua lagi anak buahnya menggumuli Citra.
Tanpa belas kasihan mereka menggerayangi dan menjamah tubuh Citra,
sekali lagi menjadikan Citra mainan seks mereka. Sovi menerima gempuran
dari tiga sisi, tanpa dapat menghindar. Dan sialnya, satu kali lagi
orgasme melandanya. Jerit kenikmatan yang menyertainya tak terdengar
teredam satu batang di mulutnya.
“Gue… keluarr!” Orang yang sedang menyodomi Sovi menambah jumlah
cairan asing di dalam tubuh Sovi, mengisi saluran pembuangan Sovi dengan
benihnya. Kawannya yang sedang menyetubuhi liang sanggama Sovi mendapat
giliran klimaks berikut, ikut menambah isi rahim Sovi. Keduanya
langsung menyingkir dari tubuh Sovi. Tinggal satu orang yang sedang
menikmati mulut Sovi; dia segera pindah ke vagina Sovi, dan menyetubuhi
Sovi dengan posisi gunting. Karena sudah cukup lama menyodoki mulut
Sovi, dia tidak begitu lama menggenjot Sovi, dan bertambahlah isi rahim
Sovi dengan benih satu lagi laki-laki yang tak dia kenal.
Kini Sovi tertelungkup dengan kedua paha mengangkang, cairan
berleleran dari kedua lubangnya. Gede memutuskan untuk menyicip lubang
yang tadi belum sempat dicobanya. Si komandan aparat meninggalkan Citra
yang sedang disusupi organ tubuh laki-laki dari depan dan belakang, lalu
kembali menindih Sovi dan menusukkan penisnya ke lubang pantat Sovi.
Penis Gede lebih besar daripada yang barusan memasuki anus Sovi; Sovi
membelalak dan ternganga ketika saluran pembuangannya mendapat desakan
benda besar tumpul yang masuk dari arah yang tidak seharusnya. Sementara
itu, seorang lagi aparat yang tadi dioral Sovi rupanya keburu ingin
muncrat lagi setelah menonton pesta gila yang begitu panas antara
sembilan laki-laki melawan dua perempuan, dan mengocok kemaluannya
sendiri untuk mengeluarkan lendir nafsunya, kali ini menodai rambut
Sovi.
“Uahh! Gila sempit banget pantat lu! Ungh! Enak banget tau! Enak
banget ngentot pantat lu!” ceracau Gede selagi menggenjot lubang dubur
Sovi.
Sampai habis suara Sovi karena berkali-kali menjerit selagi anusnya
diterobos gempuran demi gempuran dahsyat dari si komandan aparat. Namun
sekali lagi, entah kenapa, ia kembali dilanda gelombang kenikmatan.
Emosi Sovi yang campur-aduk tak mampu menjelaskan mengapa dia tetap saja
merasakan kenikmatan badani menjalar ke sekujur tubuhnya, padahal dia
seharusnya tak menyukai apa yang sedang diperbuat terhadapnya. Sekali
lagi Gede meninggalkan bukti pelanggarannya di dalam tubuh Sovi. Namun
malam itu sungguh terasa sangat panjang. Sovi dan Citra terus terpaksa
meladeni lelaki demi lelaki…
Mince, si banci, yang tadi ketiduran di sebelah Sovi, sudah bangun
lagi dan menyadari dua perempuan yang tadi sama-sama diciduk tidak ada
di tempat. Dia sendirian di ruangan depan kantor aparat itu. Bukan
sendirian—berdua, dengan seorang aparat muda yang dapat tugas berjaga di
depan. Mince mendekati si penjaga.
“Eh bo’,” seru Mince. “Cewek yang berdua tadi itu ke mana?”
“Di dalam,” kata si penjaga muda itu, agak ngeri melihat Mince yang lebih jangkung daripada dirinya.
“Ya ampun, bo’, di dalam?” ujar Mince dengan sikap pura-pura
terperanjat. “Aduh kasian banget deh mereka, pasti dipaksa suruh kasih
gratisan. Yei gak kebagian, bo’? Kasiaan deh lu.”
Si penjaga diam saja. Dia tambah ngeri ketika Mince malah mendekatinya lalu bersikap sok akrab dengan merangkulnya.
“Eike kasian ama yei, bo’. Ama Mince aja yuk? Jilatan Mince asoy
loh…” kata Mince sambil menjilat kuping si aparat, sementara tangannya
gentayangan ke tempat-tempat yang tidak seharusnya.
Si aparat muda itu langsung ngibrit menyelamatkan diri, dia sudah tak
peduli lagi dengan tugasnya… daripada keperjakaannya direnggut banci…
Gede dan anak buahnya sudah berpakaian lagi. Mereka capek sekali,
tapi senang. Di tengah ruangan, dua perempuan tergeletak lemah. Citra
terlentang, pingsan kelelahan. Sovi meringkuk, masih sadar, tapi sudah
tak berdaya. Lubang dubur Sovi masih sedikit menganga, seolah tak mau
kembali tertutup seperti semula. Sedikit cairan putih masih mengalir
dari sana. Rias wajahnya sudah acak-acakan, ternoda mani yang mulai
mengering.
“Eh, bantuin mereka pake baju lagi sana,” perintah Gede.
Untungnya tidak ada pakaian keduanya yang rusak atau robek.
Selanjutnya Gede menyuruh anak buahnya memapah kedua perempuan itu
keluar. Gede memeriksa barang-barang Citra dan Sovi, lalu mencari alamat
Sovi. Dia sudah tahu di mana salon Citra, dan dia baru mengetahui bahwa
rumah Sovi tepat di sebelah salon Citra. Gede dan anak buahnya keluar
dari bangunan kantor menuju garasi di samping. Si komandan mendekati
satu mobil berwarna abu-abu—mobil pribadinya—membuka kunci, dan membuka
pintu. Dia menyuruh anak buahnya memasukkan Citra dan Sovi di kursi
belakang. Kemudian dia menyuruh yang lain kembali ke kantor kecuali
Julfan.
Gede menyalakan mobilnya. Julfan duduk di sebelah. Di kursi
belakang ada dua orang perempuan, satu tergolek tak sadar, satu lagi
duduk tegak dengan mata terbuka tapi dalam keadaan syok. Sepanjang
perjalanan dari kantor aparat, Sovi hanya bisa terpaku. Dia merasa
tersakiti dan ternoda. Dia pun merasa bersalah kepada dirinya sendiri,
kepada Bram, kepada Citra. Andai saja tadi dia tidak menuruti
keinginannya sendiri untuk berpenampilan lebih seksi… Andai tadi dia
bisa lebih tenang menghadapi para aparat yang salah paham menganggap dia
pelacur jalanan… Andai dia tidak sampai berkata rela menyerahkan
kehormatannya kepada manusia-manusia bejat tadi demi menyelamatkan
Citra…
Tapi, bukankah dirimu memang seperti itu, Sovi? Sudah, akui saja,
Sovi. Kamu memang pelacur. Kamu sengaja berdandan seksi demi menggoda
laki-laki. Kamu bersedia tidur dengan siapa saja.
“Bukan… bukan… aku bukan seperti itu… aku Sovi, istri Mas Bram… bukan
perempuan seperti itu…” bisik Sovi, tak terdengar oleh siapapun kecuali
dirinya sendiri.
Hahaha. Kenapa nyangkal, Sovi sayang? Kamu senang kan waktu mata
semua laki-laki tertuju kepadamu? Kamu menikmati dihimpit tubuh si
komandan itu kan? Kamu orgasme waktu disetubuhi tiga orang sekaligus kan
tadi?
“Bukan… tidak…”
“Kamu wanita murahan, Sovi! Kamu pelacur! Akui saja dan terima!”
Sovi ingin menangis, tapi air matanya tak mau keluar. Siapa
sebenarnya yang berbicara dalam kepalanya? Apakah itu dirinya sendiri?
Siapa sebenarnya dirinya? Apakah dia memang seperti itu?
“Udah sampe, nih,” kata-kata Gede menghentikan lamunannya.
Mobil Gede sudah berhenti di depan rumah Sovi. Julfan dan Gede
membantu Sovi memapah Citra ke dalam rumah. Bram belum pulang. Sebelum
pergi, Gede mengatakan sesuatu kepada Sovi.
“Kalau saya jadi kamu, saya gak akan bilang siapa-siapa soal kejadian
malam ini. Kalau ada ribut-ribut, kamu sendiri yang rugi… saya nggak
tau apa jadinya ya kalau nama kamu malah jadi masuk koran di halaman
kriminalitas. Apalagi kalau bisnis kakak iparmu kebawa-bawa.”
Si komandan aparat itu lantas pergi sambil tersenyum lebar, bersama Julfan.
Citra tertidur seperti orang mati di sofa ruang tamu rumah Sovi. Sovi
duduk lemas, terus merenung. Sovi sudah berusaha menenangkan diri
dengan mencuci muka, mandi, membersihkan diri, dan mengenakan pakaian
tidur yang nyaman, tapi hatinya tetap gundah. Jam 1 malam, terdengar
suara pintu garasi dibuka, lalu mobil masuk garasi. Sovi tak beranjak
dari kursinya. Beberapa menit kemudian pintu rumah terbuka, dan masuklah
Bram.
“Yang, aku pulang, maaf kemalaman…”
“MAS BRAM…!!”
Sovi langsung menubruk Bram, memeluknya, dan menangis sejadi-jadinya
di dada Bram. Segala perasaannya baru bisa tumpah di sana… tapi dia tak
mampu menjelaskan apa yang terjadi.
“Eh, ada apa nih… Sayang, ada apa… kenapa kamu nangis?”
Sovi memandangi wajah suaminya dengan mata basah. Dia hendak membuka
mulut untuk bercerita, tapi semua peristiwa yang baru dia alami
berkelebat di dalam benaknya, membuat dia ngeri dan malu sehingga dia
pun tak mampu mengungkapkannya kepada Bram. Saat itu Bram tak
menyadarinya… tapi kehidupan Sovi sesudahnya tak akan sama lagi.
No comments:
Post a Comment