AGEN POKER
Cerita Dewasa / Cerita Sex / Cerita ABG / Cerita Dewasa Hot / Cerita Dewasa SMA / Kumpulan Cerita Dewasa
Beberapa jam sebelum segala peristiwa yang dialami Sovi terjadi,Bram
mendarat di bandara. Dia menuju tempat parkir di mana mobilnya dititip
dan langsung menjalankan mobilnya ke rumah. Masih siang, tapi dia memang
sudah kangen sekali dengan Sovi. Apalagi sejak dia naik pesawat tadi,
perasaannya tak enak. Seolah dia merasakan bahwa istrinya itu sedang
menghadapi bahaya. Sesampainya di rumah, didapatinya rumah terkunci dan
Sovi tidak keluar membukakan pintu. Bram melihat ke salon Citra di
sebelah dan hanya mendapati kakaknya sedang duduk-duduk.
“Kak, Sovi ke mana?”
Wajah Citra berubah tegang. Apa yang harus dia bilang kepada adiknya?
Bahwa dia kira Sovi sekarang sedang dipekerjakan Mang Enjup melayani
Pak Walikota demi tender proyek? Tidak ada jalan lain, pikir Citra. Dia
sendiri merasa ikut bertanggungjawab. Mau tidak mau, Citra harus bicara.
“Bram, ayo masuk dulu. Ada yang perlu kubilang.”
Di dalam salon, Bram mendengarkan selagi Citra menceritakan apa saja
yang terjadi beberapa hari itu. Citra menceritakan bagaimana Mang Enjup
bertamu ke rumah, menemui Sovi, dan esoknya Sovi diajak Mang Enjup pergi
ke pesta Pak Walikota. Citra juga sempat melihat Sovi diantar pulang
oleh beberapa orang yang kemudian ikut masuk ke rumah.
“Tadi pagi aku habis ngerias Sovi…” Citra mengaku. “Dia bilang mau
ada acara di Hotel V siang ini… Dia nggak bilang acaranya apa, tapi tadi
yang jemput dia itu mobilnya Mang Enjup.”
Bram tertegun. Mang Enjup. Pak Walikota. Pesta. Acara di hotel.
Banyak yang Citra tak katakan, tapi Bram tahu bagaimana menyambungkan
titik-titik dengan garis. Dia tahu cara-cara yang biasa dilakukan bosnya
itu, Mang Enjup. Dia tahu mengenai tender proyek yang dimaksud, siapa
saja saingannya, apa yang biasa mereka lakukan untuk menggolkan proyek.
Minggu lalu saja dia masih terlibat lobi tender itu, menemani beberapa
anggota DPRD mabuk-mabukan di satu tempat hiburan malam. Dia tahu tokoh
kunci terakhir yang harus dilobi adalah Pak Walikota.
Berarti Sovi sekarang diumpankan Mang Enjup kepada Pak Walikota…!
Bram merasa kepalanya berputar, wajahnya berubah jadi keras dan
geram. Citra melihat reaksi adiknya dan merasa bersalah. Dia genggam
tangan adiknya itu sambil meminta maaf, nyaris menangis,
“Bram… maaf… Kakak ikut salah… Kalau saja dulu Kakak nggak ngajarin
Sovi jadi begini… hiks…” Tapi kata-kata Citra itu tak terdengar, dan
Bram membatin.
Apa harus seperti ini? Bram merenungkan praktek bisnis yang penuh
tipu daya dan menghalalkan segala cara. Dia sendiri beranggapan apapun
layak dilakukan demi kesuksesan, tapi kalau sudah seperti ini, ketika
orang yang paling dia sayangi di seluruh dunia ikut terjerumus demi
bisnisnya, apakah itu masih layak? Berhak-kah Mang Enjup memanfaatkan
istrinya demi kesuksesan satu proyek saja, sebesar apapun nilainya?
Bagaimana perasaan Sovi sendiri? Apa dia terpaksa? Ataukah dia terbujuk,
dan mengingat status Sovi sebagai calon pewaris perusahaan, apakah Sovi
merasa perlu membantu? Di dalam hatinya, Bram tak rela. Dia baru saja
menyadari bagaimana Sovi selama ini dia sia-siakan karena dia terus
mengikuti kebiasaan buruknya, dan betapa Sovi rela berubah—dibantu
Citra, demi mengikuti kemauannya.
Dan sebenarnya Bram sudah bertekad akan menghargai perubahan Sovi
dengan tidak lagi mencari perempuan lain. Ujian pertamanya sudah dia
lalui ketika dia berhasil menahan diri untuk tak menyentuh Mira kemarin.
Dan selama ini Mang Enjup memang seperti menyembunyikan sesuatu
darinya. Bosnya itu rupanya memanfaatkan perubahan Sovi demi
kepentingannya sendiri. Memang kalau dirunut, yang Mang Enjup lakukan
ini demi perusahaan milik orangtua Bram dan orangtua Sovi juga, tapi
apakah mesti seperti itu caranya? Mengorbankan Sovi? Dilema moral yang
berbelit dan ruwet itu akhirnya Bram tebas dengan satu tekad.
Aku harus selamatkan Sovi. Dia istriku, tanggungjawabku. Masa bodo dengan tender, dengan kepentingan perusahaan.
“Kak,” kata Bram.
“Aku mau ke sana.”
“Kamu mau apa, Bram…? Kamu tahu kan bakal berhadapan dengan siapa?”
kata Citra khawatir. Citra takut Bram akan nekad dan menantang Pak
Walikota. Memang tindakan yang Citra bayangkan itu bakal bisa merugikan
perusahaan orangtua mereka, tapi Citra tak peduli itu. Kekhawatirannya
didasarkan rasa sayangnya kepada Sovi dan Bram. Citra takut keselamatan
keduanya terancam kalau sampai harus konflik dengan pejabat tertinggi di
kota.
“Aku mau jemput Sovi,” kata Bram dingin.
Citra melihat sorot mata adiknya begitu tegas. Sorot mata orang yang
siap berbuat apa saja demi membela orang yang dicintai. Begitu Bram
berbalik untuk pergi, Citra langsung menahan lengannya.
“Bisa tunggu sebentar? Kakak mau ikut.”
*****
Kembali di kamar suite hotel…
Pak Walikota berdiri dari tempat duduknya dan berjalan berkeliling
seolah sedang menginspeksi anak buahnya. Anak buahnya, kumpulan manusia
buruk rupa, sedang sibuk menikmati suguhan tiga perempuan yang dapat
kejutan. Suasana makin seru. Sabrina pindah ke sofa, dia sedang berlutut
di dudukannya selagi lengannya bersandar di sandaran. Satu orang sedang
mengentotnya dari belakang, menyodokkan penisnya dalam-dalam. Satu lagi
kawannya, si muka hitam yang bergigi depan ompong, sedang
nyengir-nyengir tak jelas di depan wajah Sabri. Wajahnya sungguh
menjijikkan. Dia membungkuk mendekati Sabri dan bertanya,
“Senorita, mau isep kontolku? You wan’ suck my dick?”
Dia kemudian mencium paksa Sabri sambil memegang belakang kepala
Sabri agar gadis Latino itu tak bisa menghindar. Sabri merasakan bau
busuk nafas si ompong yang sungguh memuakkan, tapi dia tak menolak
ciuman itu. Dia bahkan mendorong lidahnya ke dalam mulut si ompong,
bergulat dengan lidah lawan ciumannya. Ketika ciuman mereka berakhir,
Sabri berkata dengan nada palsu bernafsu,
“Fuck yes! Give me your dick I’ll suck it!”
Sabri langsung menjepit kejantanan hitam si ompong dengan bibirnya
ketika disodori dalam keadaan belum keras. Alat kelamin si ompong
langsung tegang begitu disentuh bibir lembut si pelacur import. Sabri
melahap batang keras itu, mengisap dan menyedot. Penis hitam itu sampai
menonjol urat-uratnya, dan bisa meledak kapan saja. Si ompong meracau
keenakan dengan bahasa yang kurang dikenal, mungkin bahasa daerah
asalnya, tapi apapun yang dia katakan jelas cabul dan tak perlulah
diterjemahkan. Beberapa saat kemudian mulut Sabri mendadak terisi cairan
hangat, dan Sabri menelan seluruhnya. Pada waktu yang sama orang yang
menyetubuhi Sabri dari belakang juga menyemprotkan cairan kelelakiannya
di dalam.
“Benar-benar hebat,” gumam Pak Walikota.
Dengan penasaran Pak Walikota menyimak aksi Sabri. Perempuan dari
negeri seberang laut itu seolah tak gentar menghadapi segalanya, dan tak
punya rasa jijik, bahkan terhadap orang-orang seperti si gemuk dan si
ompong. Seolah-olah bau badan menusuk tak membuatnya kapok, kulit hitam
dekil tak membuatnya ngeri, gelambir lemak tak membuatnya muak. Dia
menanggung semuanya tanpa mengeluh, sungguh profesional. Pak Walikota
jadi teringat masa dinasnya sebagai tentara dulu, ketika dia mengenal
seorang prajurit rekannya yang gigih, terus maju untuk melaksanakan
tugas biarpun sudah kecapekan, luka-luka, dan tidak mendapat bantuan.
Pak Walikota berjalan lagi menuju kerumunan lain, yang terlihat lebih
riuh. Di situ Shena, si model bispak, sedang disetubuhi. Shena mulai
kehilangan kendali, meraung dan mengerang kencang. Sudah dua orang yang
berejakulasi di dalam dirinya dan sekarang penis ketiga sedang
keluar-masuk vaginanya yang penuh cairan. Namun tubuhnya tidak bisa
dibohongi. Meski dia tak rela disetubuhi orang-orang jelek itu, tubuhnya
sudah di ambang klimaks. Penis yang sedang menusuk kemaluannya itu
cukup tebal dan menggenjot dengan gencar.
“Oh… ah… ah… Ahh! AHH! AHHHHH!!!” seru Shena. Penis besar itu menghajar vaginanya sekali lagi, dan
“OHHhhh!!…”
Orgasme-nya dimulai! Shena menggelinjang tak terkendali, menjerit
histeris, dikhianati tubuhnya yang menyerah pada kenikmatan. Erangan
keras bernada tinggi si gadis keturunan menandakan betapa gengsinya
sebagai penghibur kelas tinggi hancur lebur di tangan manusia-manusia
jelek yang bergiliran menyetubuhinya. Tidak ada lagi yang dipikirkan
Shena sesudah itu. Dia tak bisa apa-apa, dan hanya bisa menunggu cobaan
itu selesai. Dia tergeletak lemas seperti baby doll, mandi keringat
sesudah mencapai puncak, sementara orang yang menyetubuhinya belum juga
klimaks. Pak Walikota memperhatikan tatapan mata Shena yang kosong. Dia
menduga Shena sedang shock. Tapi dia hanya tersenyum. Diangkatnya
telepon genggam yang sedari tadi digenggamnya. Dihubunginya satu nama.
“Halo?”
“Halo, Pak Walikota. Ada apa? Moga-moga berita bagus.”
“Pak Ahonk. Sayangnya bukan kabar bagus. Sepertinya saya harus bilang
penawaran Anda dengan sangat menyesal tidak bisa diterima.”
Terdengar suara seperti mengeluh di telepon. Lalu Ahonk Sunargo, yang ditelepon Pak Walikota, berbicara lagi.
“Tidak apa-apa Pak Walikota, mungkin kali lain kita bisa kerjasama
lagi. Mohon maaf kalau mengecewakan. Saya janji akan siapkan yang lebih
baik.”
“Tenang saja Pak Ahonk, toh sebelumnya kita juga sudah pernah
kerjasama, mungkin untuk proyek ini belum rezekinya Pak Ahonk. Yang
penting hubungan antara kita tetap baik kan.”
“Iya, iya Pak Walikota. Saya juga mau kita tetap berhubungan baik.
Makanya, buat menunjukkan itikad baik saya, silakan Pak Walikota kalau
mau bisa manfaatkan jasa asisten saya si Shena itu sepuas Pak Walikota.
Tidak usah pikir urusan lain-lainnya, biar saya yang traktir.”
“Oke. Sampai ketemu lagi, Pak Ahonk.”
Pak Walikota menyudahi pembicaraan telepon dengan Ahonk. Satu dari
tiga peserta tender sudah gugur. Dia lalu melanjutkan ke perwakilan
peserta ketiga… Sovi.
*****
“Sudah sampai,” gumam Bram sambil menyetir memasuki tempat parkir hotel yang beberapa jam lalu didatangi Sovi.
“Kak?” Ketika Bram menengok, Citra sedang memulaskan lipstik merah tua di bibirnya.
Citra tetaplah Citra. Ketika tadi dia minta ikut, Citra ganti baju
dulu, dan dia memilih berpakaian seksi, rok pendek hitam ketat yang
memeluk paha dan blus hitam yang juga ketat. Sepanjang perjalanan tadi
Citra sibuk membedaki wajah, melukis alis, merias diri.
Memang berdandan
sudah kebiasaan Citra, tapi Bram tak tahu apakah kakaknya itu punya
rencana tertentu dengan menyiapkan penampilan. Bram menghentikan mobil
di tempat parkir dan langsung berjalan dengan langkah-langkah lebar
menuju ke dalam. Citra berlari menyusul, hampir tersandung akibat sepatu
hak tinggi-nya. Dan begitu Bram masuk… dia bingung. Di mana dia akan
cari Sovi? Tanya ke resepsionis? Citra menggamit lengan Bram.
“Bingung kan? Ini bukan hotel biasa. Kakak tahu kamu pasti mau
langsung tanya ke resepsionis. Dia nggak bakal tahu. Makanya Kakak
sengaja ikut. Ayo. Kakak tahu di mana kita bisa cari info.”
Citra menarik Bram ke arah pintu yang menuju lounge terbuka. Kakak
beradik itu masuk ke lounge yang masih tetap sepi seperti ketika Sovi
dan Mang Enjup melewatinya. Tidak salah rupanya Citra memilih
berpenampilan seksi. Dia langsung bisa berbaur dengan
perempuan-perempuan lain di sana, yang juga berpakaian seksi dan
menunggu tamu. Citra celingukan kesana-kemari, mencari-cari. Lalu dia
melihat seseorang yang dikenalnya.
“Papi Patrick!” panggil Citra ke arah seorang laki-laki paro baya agak gemuk, berkepala bulat, berambut cepak, memakai jas.
Laki-laki yang dipanggil Papi Patrick itu menengok dan langsung tersenyum lebar.
“Citra? Aih, sudah lama kamu nggak muncul! Ke mana aja,sayang?” Citra memeluk Papi Patrick dan cium pipi kanan-kiri.
“Ah nggak ke mana-mana Pap, sekarang jadi perempuan baik-baik, buka salon,” kata Citra sambil menjulurkan lidah.
“Hahaha, Citra insyaf? Tanda-tanda dunia mau kebalik nih,” balas Papi Patrick.
“Itu tamu kamu ya? Orang kantoran yang sama kamu?”
“Eish, ngaco, itu adikku. Pap, aku mau tanya dong. Seharian ini lihat
ada cewek pake kebaya di sini nggak?” Citra segera bertanya.
“Iya, belum lama malah, paling sejam-dua jam lalu,” kata Papi Patrick.
“Terus ke mana orangnya? Sama siapa dia datang?”
“Tadi sih dia datang bareng om-om tua gendut ubanan dan cowok rambut
panjang merah sama orang gede yang tampangnya kayak bodyguard. Dia ke
lift sama si bodyguard, dua orang tadi nggak ikutan. Mereka berdua sih
udah pergi lagi. Kalau cewek yang pakai kebaya belum turun,” Papi
Patrick menjelaskan. “LT barangkali.” Citra berusaha mengorek info lebih
lanjut sementara Bram tetap diam.
“Ada lagi nggak yang nggak biasa hari ini?”
Papi Patrick memandangi Citra, wajahnya berubah serius.
“Cit, kamu kayak polisi aja. Nggak baiklah kita ikut campur urusan
orang, daripada kita nyikut orang yang salah, mending tau sama tau kan.”
Citra mengajak Papi Patrick duduk dan mengubah pembicaraan.
“Gimana bisnis, Pap? Masih lancar?”
“Di sini sih lancar terus, ni aja ada anak baru yang lagi aku
promosi-in. He, sini!” Papi Patrick memanggil salah seorang perempuan di
dekatnya, yang masih terlihat amat muda. Citra melihat kegugupan di
mata gadis muda yang didandani menor itu.
“Kenalin ini Citra, dulu sempat jadi anak buahnya Papi sebentar. Citra, ini Nurma.”
Citra menjabat tangan Nurma, lalu langsung memberi tips.
“Jangan pakai nama asli, kalau bisa.”
Papi Patrick segera menanggapi.
“Iya yah, emang belum kepikiran namanya mau diganti siapa. Kamu ada usul, Cit?”
“Natasya,” kata Citra setelah berpikir sejenak.
“Cakep tuh, boleh,” kata Papi Patrick.
“Kesannya mirip impor Uzbek. Oke, Nurma mulai sekarang kamu pake nama
Natasya, ya.” Setelah itu, Papi Patrick menyuruh Natasya pergi.
“Cit, langganan masih ada yang suka nanyain kamu lho. Masih mau
terima nggak? Ntar kita sharingnya beda deh… Kamu dulu sebentar banget,
tapi banyak yang terkesan dan tanya terus sama Papi, mana tu Citra yang
dulu, pengen sama dia lagi,” kata Papi Patrick.
Menanggapi penawaran, Citra pun berkata,
“Sebenarnya aku nggak butuh lagi, Pap. Tapi aku mau aja… Asal…”
“Asal?”
“Asal Papi mau jawab pertanyaanku yang tadi.”
Papi Patrick tertawa terbahak-bahak.
“Hahahahaha. Citra, Citra. Tetep aja kamu jago tawar-tawaran kalau
buat urusan beginian. Oke deh. Tapi janji ya, mau terima klienku. Tenang
aja, orang lama semua kok, kamu udah tau mereka kayak gimana. Lima tamu
aja, hitungannya seperti dulu. Deal?”
“Tiga tamu, deal,” kata Citra sambil menjabat tangan Papi Patrick.
“Hahaha, iya deh, tiga. Aku nggak pernah bisa menang ngomong lawan kamu, Cit.” Papi Patrick dan Citra sama-sama tersenyum sinis.
“Oke Pap. Jadi… ada apa aja hari ini di tempat ini?”
Dengan suara berbisik, Papi Patrick pun menjelaskan bahwa dia sudah
ada di sana sejak pagi, mengumpulkan beberapa anak buahnya yang
di-booking semalaman. Sesudah memulangkan mereka, dia terus nongkrong di
sana mengelola anak buahnya dan mencari tamu. Dia bilang, selain
perempuan berkebaya (yang Citra yakini sebagai Sovi), ada lagi dua
perempuan yang diantar bodyguard itu ke atas.
“Yang satu jelas impor, tampangnya kayak artis telenovela. Kalau
nggak Latin ya Uzbek. Yang satunya lagi panda, nggak tau lokal apa
cungko. Dua-duanya belum ada yang turun lagi. O iya, tadi ada klien Papi
mau booking kamar suite paling gede yang lantai lima, katanya mau bikin
pesta bujang, tapi ga dapet soalnya kata hotelnya itu kamar lagi dipake
pejabat tinggi. Itu aja yang Papi lihat.”
Citra tersenyum.
“Makasih banyak, Pap. Aku tunggu lanjutan deal kita tadi, tapi jangan
hari ini yah. Nih nomor teleponku yang baru,” kata Citra sambil
kemudian menyebutkan sederetan angka yang langsung dimasukkan Papi
Patrick ke HP-nya.
“Saran aja Cit,” kata Papi Patrick ketika Citra mau pergi,
“Kamu udah tau bisnis ini. Jangan sampai nyikut orang. Hati-hati ya sayang.”
Citra kembali ke Bram.
“Kakak sudah tahu ancer-ancernya Sovi ada di mana sekarang. Ayo ikut.” Keduanya menuju pintu lift di seberang lounge.
“Tadi siapa, Kak?” tanya Bram.
“Orang dari masa laluku…” kata Citra, tak memberi jawaban jelas.
Biarlah, pikirnya, Bram belum perlu tahu tentang masa ketika dia sempat menjadi anak buah Papi Patrick, seorang germo…
*****
Pak Walikota merasakan organ kelelakiannya mendesak celana. Tangannya
mengelus gundukan itu. Dia mulai berfantasi tentang Sovi sejak dia
hadir di pernikahan Sovi dan Bram. Memang, sebelumnya dia sudah kenal
dengan kedua orangtua Sovi, dan ketika dia masih berdinas tentara dia
sudah pernah melihat Sovi yang masih sekolah. Sebelumnya dia anggap Sovi
biasa-biasa saja. Namun entah kenapa, dia mulai terobsesi dengan Sovi
sejak dia melihat Sovi yang menjadi “ratu sehari” pada hari
pernikahannya. Gadis polos itu berubah menjadi putri yang cantik
luarbiasa pada hari itu, dan Pak Walikota harus mengakui dia jadi
menginginkan Sovi.
Tapi obsesinya terpendam bertahun-tahun tanpa bisa diwujudkan karena
dia jelas tak bisa terang-terangan merebut Sovi dari Bram. Apalagi dia
punya keluarga, jabatan, dan status. Ditambah lagi hubungan baiknya
dengan dua keluarga pengusaha, keluarga Sovi dan keluarga Bram. Lalu
pada suatu hari, ketika melobi, Pak Jupri dari perusahaan keluarga Sovi
dan Bram menyebut-nyebut Sovi. Godaan untuk memanfaatkan kekuasaan demi
memuaskan nafsu menjadi sukar ditolak, dan Pak Walikota pun sengaja
mempersulit upaya lobi Mang Enjup dan para pesaing. Uang suap ditolaknya
dengan alasan takut penyidikan lembaga pemberantas korupsi. Perempuan
penghibur kelas tinggi pun ditolaknya dengan alasan bukan seleranya.
Tapi Pak Walikota tetap memberi angin kepada ketiga juru runding
perusahaan, terutama Mang Enjup. Mang Enjup yang berpengalaman pun bisa
menangkap maksud Pak Walikota, dan dia pun mulai merancang rencana untuk
melibatkan Sovi. Kebetulan sekali, pada saat yang sama Sovi sedang
berusaha berubah demi mengikuti selera Bram. Di situlah kepentingan
bisnis dan obsesi pribadi bertemu. Keinginan Pak Walikota bertemu Sovi
dipenuhi oleh Mang Enjup. Namun Pak Walikota memang sengaja mengadakan
acara pesta seks antara tiga perempuan cantik versus sekumpulan
laki-laki jelek. Ada alasan…
Saat itu, Sovi sedang menungging di sofa sementara si codet, yang
sebelumnya ikut mengeroyok Shena tapi keduluan terus oleh
teman-temannya, berdiri sambil mengocok kemaluannya. Sovi menoleh.
Sepotong daging keras siap memasuki tubuhnya. Si codet berbisik ke Sovi.
“Gue mau ngentotin pantat Non ya.”
Dan… Sovi mengangguk sambil tersenyum! Si codet dengan penuh semangat
mengambil posisi di belakang Sovi, menaruh kejantanannya di lubang
dubur Sovi, dan menerjang maju.
“UHHHH~H!” Sovi menjerit seksi ketika penis si codet meretas lubang belakangnya.
Liang kecil sempit itu merentang untuk memuat penis yang masuk, dan
Sovi bisa merasakan batang yang keras itu meluncur di saluran duburnya.
“Gimana rasanya Non?” tanya si codet, menyadari bahwa kemaluannya
berhasil meregang lubang sempit itu. “Berani taruhan, belum pernah ada
yang masuk sana ya?”
Sovi tak menjawab, hanya meneruskan jeritan-jeritan seksinya,
“Oh, ohh!” tapi andai dia benar-benar diajak taruhan, si codet bakal
taruhan karena sebelumnya Sovi sudah beberapa kali melakukan seks anal.
Si codet berhasil menjejalkan Sovip bagian batang penisnya ke dalam
pantat Sovi. Namun kekencangan jepitan saluran itu, ditambah waktu
menunggu yang cukup lama, mengakibatkan dia tidak tahan. Setelah
beberapa menit dia menyerah kalah,
“Uh… sialan… gue keluar!” dan penisnya mulai muncrat di dalam bokong
Sovi, berdenyut berulangkali dan mengisi saluran dubur Sovi dengan
benihnya.
Nah, sejak tadi Pak Walikota memperhatikan bahwa meski sudah ada tiga
orang yang menyetubuhi Sovi, tak seorang pun yang diizinkan
berejakulasi di dalam vaginanya. Orang pertama, si culun, dikocokkan dan
dibikin berejakulasi di atas tubuh Sovi. Orang kedua tadi berejakulasi
di mulut. Sementara yang ketiga, si codet, berejakulasi di pantat Sovi.
Selain itu ada lagi satu hal yang menarik bagi Pak Walikota. Tadi, orang
pertama yang dipilih Sovi, si culun, tak lain adalah keponakan Pak
Walikota. Dan Pak Walikota suka bagaimana Sovi “mengajari” keponakannya
yang masih polos soal menyentuh wanita itu. Sungguh dia tak menyangka
Sovi yang diidamkannya ternyata tak hanya seksi tampilan luar, tapi juga
di dalam.
Aksi Sovi yang percaya diri dan menguasai keadaan lebih dinikmatinya
daripada Sabri yang terkesan bekerja sesuai setoran tanpa menghayati
(biarpun sebaik-baiknya), apalagi Shena yang sok jual mahal sehingga
malah terpaksa. Pendek kata, Pak Walikota puas sekali setelah mengetahui
apa yang Sovi bisa. Walaupun dia sebenarnya tak berhak atas Sovi. Pak
Walikota mendekati Sovi yang sedang berubah posisi, dari menungging
menjadi duduk di sofa. Melihat Pak Walikota mendekat, orang-orang lain
mundur. Pak Walikota menjulurkan tangannya meraih tangan Sovi.
*****
“Sekarang kita mau gimana?” tanya Citra sambil menjepit rokok di bibirnya.
Dia baru mengeluarkan korek gas ketika pintu lift di depan dia dan Bram terbuka. Kakak beradik itu masuk ke lift.
“Dilarang merokok di sini, Kak,” Bram merampas korek gas dari tangan
kakaknya sambil menunjuk tanda dilarang merokok dalam lift. Citra
melengos.
“Kamu punya rencana nggak?” tanya Citra lagi.
Bram tidak bisa menjawab. Keputusan spontannya untuk segera menjemput
Sovi tak dipikirkan matang. Sesudah mendengar evaluasi situasi dari
Citra, dia jadi tahu bahwa mungkin Sovi ada di satu kamar di hotel
tersebut, bersama Pak Walikota. Lalu Bram merasakan kepalanya ditoyor
Citra.
“Adik goblok,” cela Citra dengan nada datar.
“Emangnya kita mau nggerebek orang selingkuh? Cuma berdua pula? Ini
yang kita hadapi pejabat. Gimana caranya kita mau ambil Sovi dari Pak
Walikota?”
AGEN POKER TERPERCAYA
Bram memegangi kepalanya dengan kedua tangan dan meringis. Citra menepuk-nepuk punggung adiknya.
“Hhhh… Tenang aja. Kita pikir sama-sama,” kata Citra berusaha
membesarkan hati Bram, sambil mulai memutar otak. Pintu lift terbuka di
depan mereka berdua. Lantai lima
Jam berapa sekarang…?
Di tengah himpitan dan hentakan, Shena malah memikirkan waktu. Dia
sudah lelah melawan nafsu liar kumpulan manusia buruk rupa yang menjadi
tamu istimewa pesta gila Pak Walikota di kamar Hotel V. Jadi dia sudah
tak peduli lagi ketika untuk kelima kalinya ada seseorang di antara
mereka yang menindih dan menyetubuhinya. Yang dia pikir hanya ‘kapan
semua ini akan selesai’. Mata sipitnya kini menatap kosong berkeliling
ruangan. Dilihatnya pelacur impor itu, Sabri, masih saja aktif melayani
orang-orang di sana. Perempuan Latino itu berlutut di depan seseorang,
dan dari belakangnya Shena melihat kepala Sabri yang berambut coklat
bergelombang bergerak-gerak di depan selangkangan orang itu.
Masih kuat nyepong, dia…
Tapi ketika Shena mencari dua orang lagi, Sovi dan Pak Walikota,
keduanya tidak ada di sana. Ke mana mereka? Dia tidak melihat mereka
keluar kamar. Tadi memang Pak Walikota menarik tangan Sovi dan
mengajaknya ke arah belakang, lalu mereka tidak terlihat lagi. Apa Sovi
ada di satu kamar di belakang…Lamunan Shena terhenti ketika gigitan dan
jilatan orang yang menyetubuhinya pada payudaranya yang kecil tapi
kencang membuatnya nyaris klimaks lagi. Dia benci situasi itu. Pikiran
dan harga dirinya tak suka mesti melayani manusia-manusia jelek ini,
tapi tubuhnya berkhianat dan mau saja diajak menikmati sensasi.
“Ohh~” jerit Shena, berusaha menahan rasa malu. Dengan segala cara
dia menyangkal bahwa apa yang dialaminya sekarang itu nikmat. Dia
gengsi kalau pertahanannya dibobol lagi seperti beberapa menit lalu,
ketika dia orgasme sesudah disetubuhi tiga orang.
“Aku ingin keluar dari sini… aku ingin keluar dari sini… aku ingin keluar dari sini…”
*****
“Makasih buat kerjanya,” kata si manajer kepada kedua teknisi yang baru melapor.
“Emang kerjaan rutin sih, tapi kita tetap harus jamin sistem alarm kebakaran kita berfungsi.”
“Sama-sama, bos,” kata salah seorang teknisi itu. “Jangan lupa jadwal pemeriksaannya tiap enam bulan ya.”
Dua teknisi dari perusahaan alarm kebakaran meninggalkan kantor
manajer pemeliharaan gedung Hotel V. Ketika menunggu lift, salah
satunya nyeletuk.
“Kita lupa periksa semua yang di lantai lima…”
“Lho, kan udah tadi?” temannya menanggapi.
“Kamu baru sekali ya ke sini? Dulu saya ikut pas pertama kali hotel
ini pasang alarm. Nah, di lantai lima itu kan kamar-kamar suite-nya.
Tadi emang kita masuk ke beberapa yang kosong kan. Tapi ada yang kita
nggak bisa periksa karena lagi ada isinya. Di kamar-kamar di sana, ada
satu yang bertingkat.”
“Bertingkat? Maksudnya gimana?”
“Itu kamar masuknya dari lantai lima, tapi di dalamnya ada tangga
sendiri ke kamar lain di atas… di atap, lantai 6, kamar penthouse.
Harusnya di sana ada sambungan alarm kebakaran dan pipa air juga. Tapi
kita nggak periksa kamar itu, soalnya tadi kamar-kamar yang kita masukin
nggak ada yang ada tangga ke lantai 6-nya.”
“Apa sebelum pulang kita periksa penthousenya dulu? Biar tuntas kerjaan kita…”
“Kita bisa sih naik ke atap lewat tangga darurat, cuma kita ga bisa
masuk ke kamar itu dari luar. Mesti dari kamar induknya di lantai
lima. Nah, tadi kamu lihat juga kan? Di depan pintu kamar itu ada
orang. Kayaknya pengawal. Barangkali lagi ada orang penting di
dalamnya. Makanya tadi kita nggak masuk ke sana.”
“Ooo…”
“Besok-besok lagi aja kita periksa yang di sana, kalau lagi nggak ada orang.”
“Eh, Bang… Kenapa mesti ada kamar yang bentuknya aneh kayak gitu ya?”
“Yah… Kayak ga ngerti aja kamu. Pemandangan di atas kan bagus, lumayan ga kehalang bangunan lain, cocok tuh buat…”
“Buat apa?”
“…Kamu kayak ga tau aja ini hotel apa.”
“Oh.”
Pintu lift terbuka dan mereka turun. Samar-samar tercium wangi
parfum perempuan dalam lift. Bekas seorang perempuan yang baru naik ke
lantai lima bersama adiknya.
*****
Bram dan Citra melangkah keluar dari lift yang sepi. Sesudah mereka
meninggalkan lift, lift itu akan turun lagi dan dimasuki dua teknisi di
lantai di bawahnya. Bram celingukan melihat koridor hotel yang sepi.
Lampu temaram, kertas dinding bercorak ramai, karpet yang mulai usang.
Citra sebaliknya, berjalan di sana ibarat berjalan di dalam rumahnya
sendiri. Dulu ketika kehidupannya lebih liar daripada sekarang, Citra
mungkin bisa seminggu 3-4 kali keluar-masuk berbagai hotel, menemui
laki-laki yang berbeda Sovip hari. Di ujung koridor terdapat pertigaan.
Citra memberi isyarat kepada Bram agar tidak buru-buru. Dia tahu ada
apa di situ. Koridor tempat mereka berada berakhir di satu dinding,
bertemu koridor lain yang merentang ke kanan dan kiri.
“Sebelah kanan, ada tangga ke bawah. Ke sebelah kiri, di ujung
koridor, ada pintu ke kamar suite. Kalau perkiraanku benar, Sovi pasti
ada di dalam situ.”
Di ujung koridor, tepat sebelum pertigaan, Citra mengeluarkan tempat
bedak yang bercermin dari dalam tasnya. Dia berdiri membelakangi
dinding di sebelah kiri, membuka cermin, lalu mengintip ke arah ujung
lorong sebelah kiri. Bram ikut melihat.
“Kaca spion” itu menunjukkan seorang laki-laki berambut cepak berdiri di depan pintu kamar suite.
“Ada yang jaga,” kata Citra.
“Gimana cara kamu ngelewatin dia?” Bram memikirkan kemungkinan dia melumpuhkan si cepak. Citra bisa membaca pikiran adiknya.
“Kamu yakin bisa menang berantem sama begituan? Itu bodyguard,
Bram. Bisa aja kamu menang, tapi ga gampang. Lagian kamu cuma bisa
datang dari depan. Nggak bisa sergap dia dari belakang.”
“Terus… Gimana kita bisa singkirin dia Kak?”
“Aku bisa bikin dia pergi dari sana,” kata Citra yang sekarang menggunakan cerminnya untuk mengecek penampilan.
“Tapi aku ga tau gimana caranya supaya kamu bisa masuk ke sana.” Mata
Bram melihat ke sekelilingnya. Kertas dinding, karpet, hiasan,
langit-langit.
“…bisa nggak, ya?” katanya seperti melamun sendiri. Citra senyum.
“Kamu ada ide?” tanya Citra.
“Nggak tau bakal mempan atau enggak,” kata Bram, wajahnya lebih cerah dari tadi.
“Kalau berhasil, aku nggak perlu dobrak pintu buat ngambil Sovi dari
dalam sana. Tapi aku tetap perlu bantuan Kakak buat nyingkirin
bodyguard itu.”
*****
PENTHOUSE
Pak Walikota duduk selonjor di atas tempat tidur king size,
mengenakan kimono. Terdengar suara percikan air dari kamar mandi. Di
depan tempat tidur terdapat jendela lebar yang gordennya dibuka,
menampilkan pemandangan langit menjelang sore dan gedung-gedung
bertingkat di kota. Kota-nya. Kalau hanya melihat penampilan luar, semua
orang akan merasa Pak Walikota sudah mengecap hidup yang sempurna.
Karier yang lancar dan terus menanjak, dari aparat menjadi pejabat,
dengan kekuasaan dan kemakmuran yang makin lama makin besar. Semua
laki-laki pasti mendambakan apa yang telah didapatnya. Namun di balik
penampilan penuh kejayaan, selalu saja ada yang tidak sempurna.
Kadang kekayaan dan kekuasaan tidak juga bisa mendatangkan
kebahagiaan bagi pemiliknya. Karena acap kali kebahagiaan terletak pada
hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan dua itu. Itulah yang
dirasakan Pak Walikota. Meski dia boleh dikata bisa mendapat segalanya,
sebenarnya ada hal-hal yang tak bisa dia dapatkan, meski dengan segala
jabatan dan hartanya. Makanya dia terus terobsesi oleh sesuatu…Sovi.
Pesta seks antara tiga perempuan dan kumpulan orang jelek membuatnya
yakin bahwa dia tak akan dikecewakan.
Kini tinggal langkah terakhir.
Dia tadi mengulurkan tangannya ke Sovi. Dia membawa Sovi menuju satu
pintu di kamar suite itu. Di balik pintu terdapat tangga ke atas,
menuju satu kamar khusus di lantai enam. Kamar itu adalah kamar
istimewa yang tersendiri, dengan pemandangan kota dari atas. Tiada yang
mengganggu. Dua perempuan lainnya, Sabri dan Shena, biarlah melayani
orang-orang suruhannya sampai mereka puas.
Sovi tak banyak bicara, tapi terus tersenyum selagi dia dituntun Pak
Walikota menaiki tangga menuju kamar lantai 6 itu. Kamarnya indah dan
luas, sama seperti kamar induknya di bawah. Sesudah membukakan pintu,
Pak Walikota berbalik badan dan menatap Sovi.
Pemandangan yang
membuatnya sekali lagi menahan nafas. Ketika diajak ke atas tadi, Sovi
sedang telanjang bulat, dan Sovi tidak mengenakan lagi pakaiannya.
Dalam keadaan habis disetubuhi itu, entah kenapa, Sovi tampak lebih
menggairahkan bagi Pak Walikota.
Rambut panjangnya sudah dia gerai.
Wajah dan bentuk tubuhnya lebih mengatakan keanggunan, beda dengan
keseksian Sabri dan Shena. Sikapnya yang tenang namun berani tadi juga
beda dengan Sabri yang terkesan hanya bekerja memuaskan nafsu atau Shena
yang tak rela. Pak Walikota menikmati sosok Sovi di hadapannya. Tubuh
Sovi yang ramping tapi berisi, dengan payudara berukuran sedang dan
pinggul montok, dan kaki panjang indah. Sovi melihat di sana ada kamar
mandi.
“Ehm… Pak… Boleh saya mandi dulu?” pintanya.
“Silakan,” Pak Walikota mengizinkan. Sovi pun berjalan ke kamar
mandi. Pak Walikota mendengar shower dinyalakan dan tirai ditarik. Dia
sendiri kemudian duduk santai di atas tempat tidur.
Dan selagi Sovi membersihkan tubuh, Pak Walikota memejamkan mata,
membayangkan betapa bergairahnya Sovi tadi di bawah, dan apa yang mau
dia lakukan kepada Sovi. Lamunannya berhenti ketika Sovi keluar dari
kamar mandi, berbungkuskan handuk.
“Ayo ke sini,” panggil Pak Walikota.
******
KORIDOR
Bram berdiri menunggu di dekat pertigaan lorong sementara Citra
menjauh dari sana, menelepon seseorang. Si bodyguard masih berdiri
mematung di depan pintu yang harus dijaganya. Beberapa lama kemudian,
Citra selesai menelepon dan kembali mendekati Bram.
“Oke. Kamu cari tempat sembunyi dulu, jangan sampai kelihatan di
sepanjang koridor ini. Kakak mau singkirin orang itu.” Citra tersenyum
mantap.
“Hati-hati, Kak,” pesan Bram selagi dia menjauh ke ujung koridor,
pindah ke bagian yang tak terlihat dari dekat pertigaan. Mereka sudah
menyusun rencana dan sekarang saatnya beraksi. Citra menyelipkan
sebatang rokok ke bibirnya lalu melangkah ke pertigaan koridor.
*****
“Punya korek, nggak?”
Si pengawal pribadi Walikota yang sedang berdiri menjaga pintu kamar
sewaan atasannya terperangah melihat seorang perempuan cantik berjalan
keluar dari koridor sebelah menuju tempatnya berdiri.
“Bang,” ulang Citra,
“Punya korek nggak?”
Kalau perempuan lemahnya dengan kata-kata, laki-laki lemahnya dengan
penampilan. Si pengawal yang memang sedang bosan karena disuruh menjaga
di luar jadi melongo memandangi Citra di hadapannya. Dengan rok pendek
dan blus ketat serba hitam, Citra tampak menawan. Dia pasang tampang
bosan sambil berkacak pinggang di depan si pengawal.
“Emh,” si pengawal merogoh ke dalam kantong dan mengeluarkan korek
gas, lalu menyodorkannya ke Citra. Tapi Citra tidak bergerak.
“Sini dong,” panggilnya.
“Nyalain,” katanya sambil memberi isyarat ke arah rokok yang terselip
di bibir merahnya. Citra sangat percaya diri dengan kemampuannya
menguasai laki-laki. Pegang nafsunya, dan laki-laki paling kaya, paling
pintar, paling perkasa pun takluk. Dia menunggu pesonanya bekerja.
Benar, si pengawal menurut. Pemuda tegap itu maju mendekati Citra dan
menyalakan korek api untuk memberi api rokok Citra.
“Makasih,” kata Citra sambil mulai mengisap rokok.
“Eh… lagi bosen yah?”
“Hehe, iya,” celetuk si pengawal.
“Mau bantuin aku gak?” celetuk Citra.
“Bantu apa nih?” kata si pengawal. Si pengawal jadi bersender di dinding di sebelah Citra.
“Barusan abis dibooking ama om-om nih aku,” kata Citra,
“Nggak sampai lima menit dia udah crot, lagian itunya kecil banget
cuma segede jempol. Cuma, dia jago ngegini giniin,” sembari Citra
menjulurkan lidahnya, menjilat-jilat udara di depan mulutnya
“bisa sampai aku nyaris keluar, tapi terus dia malah pengennya ngentot aja.”
“Terus?” tanya si pengawal.
“Kentang nih,” kata Citra.
“Bisa bikin aku keluar gak?”
Si pengawal bengong disodori tawaran seperti itu.
“Itu om-om udah pulang, nggak bisa bangun lagi burungnya. Tapi kamar
bekas aku sama dia masih bisa dipakai. Mau nggak? Di sebelah sana…
Sebentar aja deh.”
“Euhm… Beneran nih?” si pengawal tak percaya.
“Iyalah… Kenapa? Ga doyan cewek ya?” goda Citra.
“Hahaha… Siapa takut?” kata si pengawal. Citra mendekat lalu merangkul pinggang si pengawal.
“Badan kamu gede…” puji Citra.
“Itunya gede juga nggak?” Sambil tangan Citra nakal menyentuh permukaan celana bagian selangkangan.
Si pengawal mulai merasa panas dingin menghadapi godaan Citra. Tugasnya untuk menjaga pintu mulai terlupakan.
“Ohhh…” desah Citra.
“Ayo… ke kamar yuk?”
“Eng, tapi…”
“Ayoooo ” pinta Citra dengan manja. Dia menarik lengan si pengawal.
Awalnya lengan kokoh itu tak bergerak. Namun digerayangi terus oleh
Citra, luluh juga pertahanannya. Dia mulai melangkah mengikuti Citra.
Citra tadi menelepon pegawai hotel kenalannya. Minta disediakan kamar
kosong; yang belum dibereskan juga tidak apa-apa. Mengingat kamar-kamar
hotel itu lebih sering dipakai short time, kamar dengan keadaan seperti
yang dimintanya kebetulan tersedia. Di lantai yang berbeda memang.
Tapi si pengawal itu mau saja diajak Citra meninggalkan posisinya.
Keduanya berjalan menyusur koridor menuju tangga ke bawah. Di depan
tangga, Citra berbalik, berjinjit supaya bisa menjangkau ke atas, dan
memberi french kiss kepada si pengawal.
*****
Sepuluh menit lebih Bram menunggu di ujung koridor yang jauh dari
pintu kamar Pak Walikota. Dia bertanya-tanya, apa kakaknya sudah
berhasil menyingkirkan si pengawal? Bram merasa waktunya sudah cukup
lama, dan dia berjalan mendekat ke pertigaan. Sepi. Tidak ada suara.
Tidak ada orang? Bram memberanikan diri untuk melongok ke arah pintu
kamar Pak Walikota. Kosong! Citra sudah berhasil menyingkirkan si
pengawal. Artinya kakaknya itu berhasil merayu si pengawal untuk pergi
ke??? Bram menghentikan pikirannya di situ, tidak mau membayangkan
kakaknya mau apa dengan si pengawal. Bram kemudian mendekat ke pintu
itu. Sampai merapat ke pintu. Dicobanya mendorong pintu. Tidak
bergerak. Dilihatnya ke arah gagang pintu. Di sebelah gagang pintu ada
slot kartu. Terkunci dengan kartu. Bram ganti memperhatikan lantai.
Tidak terlihat apa-apa di karpet di depan pintu. Tidak ada barang
jatuh. Tidak ada kartu kunci.
Andai rencana mereka itu melibatkan
mencopet kunci dari si pengawal, Citra jelas tidak berhasil
melakukannya. Pintu itu terlihat kokoh. Dobrak? Tapi memang bukan itu
rencananya sejak awal. Tentu saja pintu itu akan terkunci. Dan apakah
membukanya, dengan kunci ataupun dengan paksa, itu strategi terbaik?
Bram memandangi seluruh bagian pintu, lalu mundur dan memperhatikan
sekeliling. Kiri, kanan. Atas, bawah. Lantai, dinding, pintu. Bram
meraba suatu barang dalam kantongnya. Barang yang tadi dia ambil dari
tangan kakaknya.
Karena perlindungan yang bisa diberikan seorang laki-laki kepada kekasihnya tidak mesti dengan kekuatan belaka…
*****
PENTHOUSE
Pak Walikota menahan nafas ketika Sovi berjalan mendekat.
Langkah-langkahnya seperti macan lapar mengintai mangsa. Seksi dan
menggoda. Tatap mata Sovi membangkitkan nafsu badani Pak Walikota yang
mulai tak tertahan.
Ketika sudah dekat dengan tempat tidur, Sovi
berhenti. Sambil melempar senyum nakal dia berbalik, menggoyang tubuh,
lalu membuka balutan handuk yang menutup tubuhnya. Dia membuka dadanya
membelakangi Pak Walikota. Sambil menengok ke belakang, matanya
mengerling genit. Tapi lantas handuk itu dia naikkan lagi kembali
menutup dadanya. Kemudian dia berbalik, dan mengelus pahanya di tepi
bawah handuk. Sambil mengelus, terangkat sedikitlah handuk itu. Sovi
menggigit bibir, lalu kembali membelakangi Pak Walikota. Handuk dilepas
lagi, turun memperlihatkan punggung, lalu ditarik sampai menutupi bahu;
kali ini bagian bawah-lah yang terbuka, pantat dan pinggul Sovi.
Sovi berbalik lagi, handuknya turun lagi menutupi dada, tapi kali ini
tangannya menurunkan handuk sambil menutupi payudara kanan. Tangan
Sovi kemudian meremas lembut dan mengusap-usap payudara kanannya;
gundukan daging yang cantik itu bergerak berputar lambat mengikuti gerak
tangan Sovi. Kembali lagi Sovi menutup dadanya dengan handuk. Tanpa
berkata apa-apa Pak Walikota menikmati pertunjukan striptease Sovi di
depannya. Benar-benar “strip” & “tease”. Menelanjangi sambil
menggoda. Sesudah membungkus lagi tubuhnya dengan handuk, Sovi kemudian
menahan handuk di depan dada dengan lengan tapi melepas sisanya,
sehingga handuk itu menggantung menutupi dada ke bawah, tapi tubuh
belakang dan sampingnya tak tertutupi. Sovi lalu sengaja memutar tubuh
ke samping sehingga Pak Walikota bisa melihat sekujur sisi tubuhnya yang
sedang tak tertutup handuk.
Terakhir, Sovi pelan-pelan membiarkan handuk itu merosot ke lantai
sehingga dirinya pun bugil seluruhnya di hadapan Pak Walikota. Pak
Walikota bergeser mendekati Sovi, sehingga posisinya berubah jadi duduk
di pinggir tempat tidur. Dia menjulurkan kedua tangan ke depan dan
mencengkeram pinggang Sovi. Sovi berbalik, menungging membokongi Pak
Walikota, memamerkan pantatnya yang bahenol, meremas-remas kedua
belahannya. Sovi masuk ke dalam peran dengan sungguh-sungguh, bertindak
seperti seorang pelacur betulan, mengumbar tubuhnya untuk mendapatkan
perhatian penuh nafsu laki-laki.
Dapat dilihat Pak Walikota mulai panas melihat pertunjukan cabul yang
disajikan Sovi. Matanya terpaku pada tubuh Sovi, menatap lapar! Dia
tampak siap menerkam Sovi dan melampiaskan gairahnya. Namun seolah masih
ada sesuatu yang membuat Pak Walikota masih menahan diri…Sovi berbalik
badan dan menggenggam kerah kimono yang dipakai Pak Walikota. Wajah
laki-laki paro baya itu berubah khawatir. Tapi Sovi tak mempedulikannya
selagi dia pelan-pelan membuka kimono itu. Ketika tubuh atas Pak
Walikota terbuka, Sovi terhenyak kaget. Ini rupanya yang membuat Pak
Walikota ragu. Tubuhnya besar dan atletis.
Gagah, karena masa lalunya sebagai perwira. Namun tubuh Pak Walikota
ternyata penuh bekas luka menjijikkan. Bertahun-tahun lalu, ketika
masih berpangkat rendah dan bertugas di daerah konflik, Pak Walikota
mengalami musibah. Dia ikut dalam konvoi kendaraan yang
disergap kelompok perlawanan. Truk yang ditumpanginya terkena tembakan
dan meledak. Dia masih lebih beruntung daripada kawan-kawan
sekesatuannya yang tewas atau cacat karena ledakan truk itu, tapi dia
mengalami luka bakar parah di sebagian besar tubuh.
Bola api ledakan
membakar tubuhnya dan dia terlempar keluar truk dalam keadaan membara,
menjerit kesakitan. Dia diselamatkan kawan-kawannya dan segera diangkut
untuk dirawat, tapi sesudahnya dia hidup dengan tubuh rusak. Itulah
yang sedang Sovi saksikan sesudah dia membuka kimono Pak Walikota.
Tubuh tegap itu penuh bekas luka dan pertumbuhan kulit yang tak
teratur, yang sebagian besar ada di sisi kanan tempat dulu ledakan
menyambarnya. Kulit tubuhnya berbercak tak teratur, putih, coklat
gelap. Puting kanannya sudah tak ada, mungkin rusak dan diangkat. Di
sana-sini terlihat benjolan parut bekas luka. Sungguh mengerikan dan
siapapun yang melihatnya bakal membayangkan kejadian macam apa yang bisa
merusak tubuh orang sampai jadi seperti itu.
“Kamu… takut?” Pak Walikota menghela nafas, suaranya terdengar pasrah.
“Jijik?” Sovi tidak menjawab, malah dia mengelus salah satu benjolan bekas luka.
“Sakitkah… Pak?” tanya-nya dengan nada lembut.
“Nggak… Aku udah biasa…” kata Pak Walikota.
“Tapi… Tolong jawab pertanyaanku, Sovi.”
Tubuh yang rusak itu terus-menerus membuat kehidupan Pak Walikota tak
sempurna. Pertama, sejak tubuhnya jadi penuh bekas luka mengerikan,
istrinya tak lagi mau tidur dengannya. Hubungan suami-istri mereka jadi
mendingin dan sebatas hubungan formal, mereka tetap tampil sebagai
suami-istri di depan umum. namun inti hubungan itu telah hilang dengan
enggannya sang istri bersetubuh dengan suaminya.
Pada akhirnya sang
istri tak dapat menerima kenyataan bahwa tubuh suaminya telah rusak, dan
hilanglah keintiman di antara mereka, yang tersisa hanyalah status
suami-istri yang kosong. Kehilangan kasih sayang, perwira muda dengan
tubuh rusak itu berusaha keras membangun karier dan reputasinya sehingga
pangkatnya naik dengan cepat dan jabatannya makin tinggi hingga
akhirnya dia berhasil meraih kedudukan Walikota.
Semakin dia kaya dan berkuasa, mulailah dia berusaha mencari lagi
kenikmatan yang tak didapatnya dari istrinya. Tidak susah baginya
mendapatkan perempuan. Tapi… kekecewaan yang didapatnya. Dia bisa
membayar perempuan mana saja, tapi dia tak bisa menghilangkan rasa jijik
mereka ketika melayaninya. Dan dia tak suka ketika itu terjadi. Itulah
alasannya dia mengadakan acara tadi. Pak Walikota tahu, selain uang
suap, para pengusaha yang mengincar proyek pemerintah bakal menyodorkan
perempuan juga. Dia tidak mau menikmati suguhan mereka begitu saja.
Baginya sebagai pejabat tinggi, mendapatkan perempuan cantik sekelas
Sabri dan Shena itu mudah. Tapi itu tidak membuatnya senang.
Untuk apa membawa perempuan cantik ke ranjang lalu ketika disetubuhi
dia memalingkan muka, memejamkan mata, atau pasang tampang tak suka?
Makanya dia menyiapkan sekelompok orang jelek untuk menguji
perempuan-perempuan yang disodorkan kepadanya. Dia ingin tahu apakah
Sabri, Shena, dan Sovi sama saja dengan yang lain. Dan Pak Walikota juga
telah terobsesi dengan Sovi, sebagaimana sudah diceritakan. Karena
itulah dia lega Sovi lulus dari ujian harus melayani orang-orang jelek
tadi. Dan sekarang dia sedang meminta kepastian lagi dari Sovi.
“Apa kamu jijik sama badanku, Sovi…?”
Sovi tersenyum dan mengelus dada Pak Walikota.
“Enggak, Pak…” jawab Sovi. Pak Walikota tidak tahu, tapi pikiran Sovi
yang telah dibentuk oleh Mang Enjup dan Dr. Loren membuat Sovi tidak
jijik dan ngeri terhadap apapun.
“Rata-rata perempuan jijik sama badanku…” Pak Walikota curhat.
“Bapak tenang aja…” hibur Sovi.
Kata-kata itu Sovi sambung dengan ciuman hangat ke bibir Pak
Walikota. Di tengah pergumulan bibir, Sovi meraih tangan Pak Walikota
dan menyentuhkan tangan itu ke payudaranya. Tangan Sovi yang satunya
lagi mengelus paha Pak Walikota, ke arah pangkal menuju selangkangannya
yang masih bercelana dalam. Tangan itu mengusap-usap kejantanan yang
menegang di balik sana. Pak Walikota serasa berada di surga, dan
seorang bidadari cantik telah ditugaskan untuk melayaninya… Sovi
mengeluarkan batang yang tegak itu dari bungkusnya, dan terus
mengelus-elusnya. Sekalian dia melepaskan celana dalam Pak Walikota
hingga mereka pun bugil berdua. Untungnya kemaluan Pak Walikota luput
dari musibah yang menimpa tubuhnya dulu, tidak ada bekas luka apapun…
Barang yang tegak kencang itu cukup besar, berwarna gelap.
Sovi menghentikan ciumannya. Dia berubah posisi badan dari berdiri
ke berjongkok di depan Pak Walikota yang duduk. Muka Sovi mendekat ke
selangkangan Pak Walikota. Sovi mencekal pangkal batang kejantanan Pak
Walikota, dan menggoyang-goyangkannya. Dengan penuh rasa sayang Sovi
lalu mengusap-usapkan ereksi hangat itu ke pipinya. Pak Walikota
mengerang nikmat. Sovi bahkan menampar-namparkan batang Pak Walikota ke
pipi dan bibirnya.
“Ahhh… Paak… besar yaa…” kata Sovi menggoda.
Sovi menjulurkan lidahnya selagi menampar-namparkan penis itu ke
bibirnya sehingga beberapa kali lidahnya menyentuh batang itu. Matanya
merem melek, melirik seksi ke arah Pak Walikota, seolah sedang
membayangkan bagaimana rasanya menikmati kelelakian Pak Walikota.
Kemudian Sovi berlutut di depan Pak Walikota, menaikkan tubuhnya
sehingga kedua payudaranya mendekat ke penis tegak Pak Walikota.
Kemudian dia sorongkan kedua payudaranya mendesak ereksi Pak Walikota.
Ujung penis mencuat di atas belahan dadanya, dan disambut bibir lembut
Sovi.
Dengan penuh semangat Sovi menjulurkan lidahnya, berputar-putar
mengusap kepala penis itu, sebagaimana dia tahu disukai banyak
laki-laki. Kemudian penis panjang itu terbenam di himpitan dua gunung
kembar yang digerakkan ke atas oleh pemiliknya. Tubuh Pak Walikota
mulai bergoyang, menyetubuhi buah dada Sovi. Nafasnya makin cepat dan
kasar; tidak akan lama lagi…
“Ayo keluarin Pak,” dan Sovi mencucup kepala penis itu lagi.
“Mau keluarin di mulutku apa dadaku…?” selagi kejantanannya merasakan
jepitan dada Sovi. Pak Walikota cuma bisa pasrah menghadapi godaan
Sovi. Tak tahan lagi…
“Ungh… !!??”
Ejakulasinya ditahan! Ketika mau menyembur, tiba-tiba Sovi memencet
dan meremas kepala burung Pak Walikota. Meski kemaluannya berdenyut
hendak menyembur, semburannya tertahan karena jalan keluarnya ditutup.
Pak Walikota mengerang frustrasi.
“Jangan dulu ya…” kata Sovi dengan nada nakal.
Kemudian dia meminta Pak Walikota berdiri dengan punggung menempel di
dinding. Serbuan sensual berikutnya pun dilancarkan. Sovi berdiri
membelakangi Pak Walikota, merapat, lalu membungkuk sambil menonjolkan
pantatnya ke belakang. Belahan pantatnya menyentuh kelelakian Pak
Walikota. Sepasang daging pantat yang mulus empuk itu mengelus bawah
perut Pak Walikota. Naik turun menyusuri panjang batang. Kadang
bergeol ke kanan dan kiri. Kadang mundur mendesak. Sementara yang
empunya pantat meremas-remas sendiri kedua sisi luar pantatnya sambil
mendesah-desah bergairah.
“Aahnn… Enak nggak Pak? Enak nggak geolan pantat Sovi?” Sovi
mencumbu dengan kata-kata saru, cukup mengejutkan Pak Walikota yang tak
mengira kata-kata seperti itu bisa keluar dari mulut perempuan
baik-baik.
Sovi kemudian meraih ke belakang dan mengubah posisi kejantanan Pak
Walikota. Yang tadinya tegak dan di atas pantat kini dipindah mengacung
ke depan bawah dan dijepit di antara kedua paha dan kewanitaan Sovi.
Pak Walikota menahan nafas.
“Pak… Gerakin maju mundur ya?” pinta Sovi.
Sesuai permintaan, Pak Walikota mulai bergerak, kemaluannya
tercengkeram “paramek” (paha rasa memek), ujung burungnya mencuat-cuat
di depan bawah perut Sovi. Laki-laki paro baya itu menggumam senang.
Rasanya seperti bermasturbasi, hanya dengan bantuan paha, bukan jari.
Kemudian Pak Walikota menyadari bahwa Sovi menikmatinya juga, karena
penisnya bergesekan dengan bibir vagina Sovi, dan bibir itu terasa mulai
basah dan licin. Bahkan bisa terasa cengkeraman paha Sovi makin becek,
karena kemaluan Sovi mengeluarkan cairan. Tanpa malu-malu Sovi
mengerang nikmat, dan Pak Walikota mulai menambah kecepatan gerak.
Tangan Pak Walikota yang tadinya nganggur bergerak ke atas, awalnya
ragu mau menyentuh Sovi atau tidak. Lalu kemudian dia putuskan itu
tidak apa-apa, dan dia meletakkan kedua tangannya di atas pantat Sovi,
dengan jari terentang yang kemudian mencengkeram kedua buah pantat
Sovi. Dia menghela nafas, melihat bagaimana Sovi menggeliat dan gemetar
kesenangan selagi pahanya disetubuhi. Apalagi tangan Sovi juga ikut
bermain, mengusap-usap bagian bawah penis Pak Walikota yang maju-mundur.
“Mmmmh, enak Paakh,” erang Sovi lembut.
“Ah. Mau keluar…” kata Pak Walikota. Mendengar itu, Sovi malah makin
gencar memasturbasi Pak Walikota, dan air mani Pak Walikota pun
tiba-tiba menyemprot.
“Ah, aahhh…!” Pak Walikota menyodokkan pinggulnya ke depan, menuju
jepitan paha Sovi. Semprotannya mendarat di tangan Sovi yang memang
sengaja menghadang di depan lubang. Sovi menjepit-jepitkan pahanya
memompa semburan demi semburan yang kemudian dia tadah dengan tangan.
Perempuan muda itu tampak menggeliat lembut selagi Pak Walikota
mendapatkan orgasme.
“Ih kental…” komentar Sovi selagi setetes mani merambat jatuh dari
tangannya.
Dia berbalik lalu menjilati cairan kental yang ditampung di
tangannya itu sampai bersih. Lalu dia tersenyum dan menjilat bibir
seolah-olah habis mencicip sesuatu yang amat nikmat. Tapi Sovi belum
puas. Dia kembali menggarap kejantanan Pak Walikota, agar batang itu
kembali tegak dan siap beraksi.
No comments:
Post a Comment