AGEN POKER
Cerita Dewasa / Cerita Sex / Cerita ABG / Cerita Dewasa Hot / Cerita Dewasa SMA / Kumpulan Cerita Dewasa
Bram di kantor sedang menunggu Pak Jupri alias Mang Enjup yang belum
juga datang. Padahal ada beberapa pekerjaan yang memerlukan atasannya
itu, tapi ke mana dia? Sambil menunggu, Bram berpikir tentang Sovi.
Semoga Sovi bisa pulih setelah bertemu psikolog itu…Tapi Bram
terpikirkan satu hal lagi. Malam itu, malam ketika trauma Sovi dimulai…
Citra ada di rumah. Citra pasti tahu sesuatu. Bram merasa perlu
bertanya.
Sovi belum lama pergi. Dr. Lorencia kembali duduk di belakang mejanya
sambil membayangkan indahnya tubuh Sovi yang sempat dicicipinya
sebentar tadi.
“He, Loren, kamu jangan bayangin macem-macem ya. Sovi itu buat Mang.
Kita udah ada perjanjian,” kata sesosok manusia yang tiba-tiba muncul
dari belakang Dr. Lorencia. Dia datang dari balik pintu samping ruang
praktik Dr. Lorencia. Seorang laki-laki tua botak berperut buncit, yang
sedang ditunggu oleh bawahannya di kantor. Mang Enjup.
“Yah, si Mamang, gimana ya? Ternyata dia cakep… Boleh nggak kubikin dia jadi lesbong juga?” Lorencia menimpali.
“Hus. Jangan lah. Kalau yang lain sih silakan ajah… Yang ini nggak
boleh, ya? Soalnya dia orang yang spesial buat Mamang.” Mang Enjup
mendekat dan merangkul Dr. Lorencia dari belakang.
“Emangnya aku enggak, Mang…?” tanya Lorencia manja.
“Ooo… pasti dong, Loren kan kesayangan Mamang. Kalau nggak, mana mau
Mamang ajarin ilmu Mamang ke Loren? Kamu istimewa, Ren. Nggak banyak
awewe yg Mamang cobain tapi udah ada bakat buat nerusin ilmu Mamang.”
“Hehehe… Bilang aja waktu itu Mang ketipu soalnya aku ga mempan
digendam… Gapapa deh, yang penting aku jadi dapat ngewarisin ilmunya
Mamang.”
Bertahun-tahun lalu, Lorencia, seorang sarjana psikologi, melamar
kerja kepada Mang Enjup. Melihat parasnya yang cantik, Mang Enjup sempat
mengisengi Loren dengan ilmu gendamnya, tapi entah kenapa, hipnotis
Mang Enjup kurang mempan kepada Loren. Mungkin karena Mang Enjup
berusaha membuat Loren tertarik kepada dirinya, tapi ternyata Loren
punya kecenderungan lesbian sehingga tak mempan. Itulah yang membuat
Mang Enjup menyangka Loren istimewa, dan karena rahasianya sudah
terbongkar di depan Loren, Loren pun menuntut penjelasan serta imbalan,
kalau tidak dia akan membongkar rahasia Mang Enjup.
Akhirnya Mang Enjup mengajarkan ilmu gendamnya kepada Loren. Keduanya
jadi akrab, dan terus berhubungan. Loren tak jadi bekerja kepada Mang
Enjup dan memilih meneruskan studi dan menjadi psikolog praktik, dan
ilmu hipnotisnya dia gunakan untuk membantu pasien. Tapi, sebagaimana
Mang Enjup, Loren pun sekali-sekali menyalah gunakan kemampuannya itu.
Ketika Bram mengeluhkan Sovi, Mang Enjup langsung menyambar kesempatan
dan memberitahu tentang Dr. Lorencia. Sesudahnya Mang Enjup menjelaskan
apa yang sudah dia lakukan kepada Sovi, dan Loren menyanggupi untuk
membantu. Loren juga menceritakan semua pengakuan Sovi kepada Mang
Enjup. Mang Enjup terlihat senang mendengar semua petualangan Sovi,
apalagi ketika dia tahu pengaruhnya telah membuat Sovi jadi lebih berani
dan menggoda.
“Tapi Mang,” tanya Loren,
“Emang mau diapain si Sovi itu? Kan Mang udah dapet nyobain dia.”
“Ada rencana Mamang buat dia. Rencana gede. Kapan-kapan Mamang ceritain deh. Nanti kalau udah jadi.”
Sepulang kantor, Bram disambut oleh Sovi. Sekali lagi penampilan Sovi
membuat Bram melongo… Sovi malam itu tampak seksi dengan babydoll
transparan, rambut tergerai, make-up tebal namun menarik… dan dia
menunggu Bram dengan penampilan seperti itu di depan pintu rumah!
“Mas Brammm….” Sovi menyambut suaminya dengan ciuman mesra, lalu dia
langsung menarik Bram ke dalam rumah. Sebelum Bram sempat berbuat
sesuatu keduanya sudah bercumbu hebat. Tapi Bram jadi curiga…
Siang hari, sekitar pukul dua di suatu bangunan kecil di kompleks
perumahan pinggir kota. Sehari-harinya tempat itu adalah salon, Salon
Citra. Tapi pemiliknya tidak hanya menawarkan jasa perawatan kecantikan
bagi wanita. Di balik tirai yang memisahkan ruang belakang dengan ruang
utama salon, pemilik salon itu, Citra, sedang duduk selonjor di atas
tempat tidur yang biasa dipakai untuk luluran atau facial. Citra
berpenampilan cantik seperti biasa, rambutnya yang hitam lurus sebahu
tergerai. Pakaiannya juga seksi, seperti biasa. Ia mengenakan kaos
tanktop putih yang ketat membungkus tubuhnya, juga rok mini kuning yang
mencapai setengah pahanya saja tidak, dan di bawah roknya Citra
mengenakan pantyhose nilon warna kulit. Kaki kanannya yang terbungkus
nilon itu terjulur, mengelus-elus selangkangan celana seorang laki-laki
bertubuh tegap yang duduk mengangkang menghadapinya di ujung lain tempat
tidur.
“Jadi Mas Kris yang ngatur?” tanya Citra dengan nada manja.
Laki-laki yang dipanggil dengan sebutan Mas Kris itu mengenakan kaos
hijau dan celana dinas tentara, dia memang salah satu beking Citra yang
masih aktif sebagai perwira menengah di kesatuan setempat. Sambil
menggumam keenakan merasakan burungnya mengeras dielus-elus kaki Citra,
dia menjawab.
“Iya dong. Ngeberesin kroco sok jago seperti si Gede itu kecil.
Apalagi zaman sekarang, bikin amuk massa itu gampang. Kamu udah lihat
beritanya kan?” kata Kris.
“Ah, aku gak suka nonton berita Mas, bosen,” kata Citra.
“Mestinya kamu lihat, ha ha ha… Soalnya ada muka jelek si Gede babak
belur dihajar massa, ampe berdarah-darah gitu. Kamu minta yang kayak
gitu kan, minta yang setimpal buat dia? Habis ini juga si Gede bakal
dipecat gara-gara bikin malu pemerintah. Salah sendiri, udah tahu
ngadapin kumpulan orang marah, malah ndableg. Biar mampus dia.”
Beberapa hari sebelumnya, terjadi insiden ketika satuan aparat yang
dipimpin Gede melaksanakan penggusuran. Entah mengapa, warga setempat
malah melawan aparat dengan membawa senjata tajam dan batu. Akibatnya
terjadi perkelahian berdarah yang menyebabkan 1 orang warga dan 1 orang
aparat tewas, dan puluhan orang luka berat termasuk Gede yang kepalanya
bocor kena timpuk dan sempat digebuki ramai-ramai.
Masyarakat dan media ramai menyalahkan, ada yang menganggap warga
mengamuk karena kekesalan yang sudah menumpuk terhadap aparat yang biasa
semena-mena. Yang luput dari perhatian semua orang adalah bahwa amuk
warga itu dipicu oleh beberapa provokator yang dikirim oleh Kris.
Walaupun sama-sama aparat, memang kadang ada ketegangan antar kesatuan
di balik permukaan, terutama dalam masalah urusan beking membekingi.
Citra yang boleh dianggap pengusaha kecil bisnis esek-esek tidak lepas
dari beking, dan dia cukup cerdik untuk tidak hanya memegang satu orang.
Ketika Gede berlaku kelewatan terhadap dirinya dan Sovi beberapa waktu
lalu, Citra memutuskan untuk membalas lewat jalan lain, menyingkirkan
Gede dengan menggunakan Kris, bekingnya dari kesatuan lain.
Rupanya Kris memilih membuat kerusuhan kecil untuk menyakiti
sekaligus menyingkirkan Gede. Sambil Kris bercerita bagaimana dia
merekayasa massa untuk menghajar Gede dan satuannya, kaki Citra terus
mengelus-elus gundukan keras di balik selangkangan celana si perwira.
Sementara itu Citra mengangkat sedikit demi sedikit tanktop-nya.
Perlahan-lahan tampaklah sepasang payudara Citra yang kenyal nan padat,
dengan puting yang sudah mengeras. Kris menjulurkan tangan kanannya,
menyentuh payudara Citra.
Tangan Kris yang besar itu meremas kedua
payudara Citra sekaligus, di bagian dalam tempat keduanya bertemu. Kris
membuka sendiri resleting celana dinasnya dan mengeluarkan penisnya dari
balik celana dalam, sambil terus menggenggam kedua payudara Citra.
Citra mulai mengeluarkan suara merintih-rintih nikmat. Citra mengangkat
sedikit lututnya supaya kakinya bisa lebih enak membelai-belai kemaluan
Kris yang sudah terbebas. Mata Kris tak lepas-lepas dari kaki nakal
Citra di selangkangannya.
“Ughh…” Kris menggerung ketika ereksinya belai lembut oleh Citra,
penisnya ditekan ke perut oleh sekujur kaki Citra yang seperti memeluk
batang itu.
Citra berposisi duduk mengangkang dan Kris bisa melihat bahwa di
balik pantyhose Citra tak mengenakan celana dalam. Citra meningkatkan
gesekan kakinya, dan melihat tubuh Kris yang besar itu belingsatan
seperti kesetrum. Citra merasa menikmati posisi dominan itu, dia
sebagai seorang perempuan bisa memain-mainkan tubuh seorang laki-laki
yang kekar seperti Kris dengan kakinya, seolah seorang ratu dan
budaknya.
“Ahh… Citra…” Kris terlihat tegang, wajahnya meringis. Citra merayu,
“Udah mau keluar, Mas…?”
“Erghh sialannn… Sini!” Tanpa diduga, Kris bergerak. Tangannya yang
dari tadi bermain di dada Citra kini merenggut tanktop yang sudah
menyangsang di atas payudara, menariknya dengan kasar sehingga Citra
dipaksa merunduk ke depan. Citra kaget,
“MAS!!?? “
Dan teriakan berikutnya,
“AHH JANGAN DI MUKA MASSS!!”
Citra, yang suka bersolek, memang tak suka orang berejakulasi di
mukanya. Dia memang sudah pernah melakukan segala macam hal, tapi ada
beberapa yang dia kurang suka, salah satunya adalah apabila mukanya
dinodai sperma. Seperti yang terjadi saat itu. Kris menarik Citra sampai
dia tersungkur ke depan, tertelungkup di alas tempat
tidur dengan muka menoleh, lalu Kris menekan kepala Citra sambil
berejakulasi di pipi Citra yang berbedak dan berperona. Kris tertawa
puas melihat Citra yang tak senang. Begitu dilepas, Citra langsung
bangkit lagi, menyeka cairan berbau amis yang barusan mengotori pipinya,
lalu menampar Kris.
“Sialan!” maki Citra,
“Dari dulu kan gue udah bilang gak suka orang ngecrot di muka gue!” Wajah Citra berubah marah.
Kris tidak ikut marah, dia terus tertawa-tawa setelah si pemilik salon memakinya. Dengan kalem dia membalikkan kata-kata Citra.
“Suka-suka aku mau ngapain kamu. Aku udah repot-repot ngebalesin
dendam kamu sama si Gede kucrut itu, dan kamu tetep aja banyak maunya?”
Kris mendekat dan mencengkeram rahang Citra.
“Hei, Citra,” katanya dengan dingin namun tegas.
“Aku tahu. Pasti kamu juga ngelunjak begini sama Gede, kan? Aku
nggak heran. Kamu tuh udah tau cuma lonte, tapi sombongnya kelewatan.
Masih ngerasa kayak dulu ya?”
“Uhh…” Citra meringis, gentar.
“Terserah Mas mau bilang apa. Urusanku sama Gede…”
“…sekarang jadi urusanku juga, kan?” Kris memotong.
“Inget, kamu yang datang ke aku, ngerayu-rayu minta aku ngasih
pelajaran ke si Gede. Aku udah kasih apa yang kamu mau. Jadi ya aku
boleh ngapain aja, kan?” Citra tertunduk. Sebetulnya dia kesal, tapi
Kris memang benar. Lagi-lagi posisi tawar Citra lemah.
“Ngerti?” tanya Kris lagi. Citra mengangguk.
“Kalau ngerti… sekarang kamu nungging.”
Citra patuh, dia pun berubah posisi jadi menungging di atas tempat
tidur sementara Kris turun dan berdiri di sampingnya. Kris mendekati
bagian bawah tubuh Citra, meremas pantat Citra yang kencang dan masih
terbungkus pantyhose itu. Kris terkekeh.
“He he he… Asyiik, pantat lonte.” Dia menampar pantat Citra dua
kali. Citra mendengking kaget. Kris lalu memelorotkan pantyhose Citra
sehingga pantat Citra tak lagi tertutupi, lalu kembali dia menampari
pantat Citra. Setelah puas, tamparannya berubah menjadi elusan dan
remasan. Kris lalu mengulum jarinya. Dengan membasahi jarinya seperti
itu, sudah jelas apa yang mau dia lakukan. Citra diam saja ketika satu
jari Kris memasuki vaginanya. Kemudian tidak cuma satu, tapi dua jari
Kris bergerak keluar-masuk kewanitaan Citra. Kris tersenyum puas
melihat wajah Citra yang menatap kepadanya seolah memohon. Permainan
jarinya membuat si pemilik salon itu terangsang.
AGEN POKER TERPERCAYA
“Ah… ahh…” Citra mulai mendesah-desah, wajahnya yang berias tebal berkerut menahan nafsu yang mulai meninggi.
“Ahhh…”
Kris menjolokkan satu lagi jarinya, sehingga kini jari tengah, manis,
dan telunjuknya keluar-masuk di kemaluan Citra. Kris merasakan bagian
itu makin lama makin basah, pertanda pemiliknya sudah terhanyut oleh
birahi. Kris makin kencang menyodok-nyodok Citra dengan ketiga jari
tangan kanannya. Citra berusaha meraih ke belakang dan menahan agar
tangan Kris jangan terlalu kasar.
“Eit, mau apa?” Tangan kiri Kris yang belum melakukan apa-apa gesit
menahan tangan Citra. Citra tidak kuat melepaskan diri dari genggaman
Kris. Kris meregangkan jari-jari tangan kanannya, berusaha membuat
kemaluan Citra melebar. Citra mulai merasakan orgasme akan datang selagi
cairan vaginanya membasahi jemari Kris. Kris tertawa dan memasukkan
satu lagi, jari kelingkingnya, ke dalam sana. Lagi-lagi dia berusaha
merentangkan celah sempit yang dimasukinya selagi dia mendengar nafas
Citra memburu.
“Hehehe… Udah mulai longgar lu Cit. Empat jari gue bisa masuk. Lu
kayaknya sebentar lagi kadaluarsa nih?” Kris berkomentar menghina.
“Bangke,” Citra balas memaki.
“Lonte,” hardik Kris,
“Sekarang lu diem. Gue ga mau denger bacot lu, gue mau memek lu aja.”
Kris naik ke tempat tidur ke belakang Citra, dan kemudian
menyorongkan penisnya yang sudah tegak lagi ke hadapan vagina Citra. Di
ujung penisnya menitik cairan bening, pertanda Kris pun sudah tak tahan
ingin melampiaskan nafsu.
“Ah… Hanhhh!” Citra melontarkan desahan ketika kejantanan Kris menembus kemaluannya.
Penis Kris meluncur dengan mudah ke dalam celah yang sudah basah dan
teregang itu, menembus sampai pintu rahim. Citra tak diam saja, dia
mendesakkan pantatnya menikmati ereksi Kris.
“Haa… haaahhh…” Bibir merah Citra menganga, mengeluarkan suara-suara penuh nafsu.
Tangannya mencengkeram seprai. Pinggul Kris maju-mundur mendongsok
Citra. Kris makin bernafsu, dan dia berubah posisi. Tanpa mencabut
penisnya, Kris turun dari tempat tidur sehingga dia berdiri di samping
tempat tidur. Lalu kedua tangannya meraih kedua paha Citra, di bagian
belakang lutut. Kris yang memang bertubuh kuat lalu mengangkut seluruh
tubuh Citra, sehingga dia kini menggendong Citra di depan tubuhnya.
Keduanya melanjutkan persetubuhan dalam posisi yang tidak biasa itu.
Citra sudah seperti boneka yang digendong Kris, pasrah dalam
lengan-lengan perkasa Kris yang mengangkut kedua pahanya, punggungnya
bersandar ke dada Kris. Tapi memang hubungan intim dalam posisi
menggendong itu tidak gampang, karena penis Kris cuma bisa masuk
sedikit, jaraknya terlalu jauh. Akhirnya Citra dia taruh lagi di atas
tempat tidur.
“Hihihi… Sok jago sih,” goda Citra selagi Kris mencabut kemaluannya dari lubang Citra.
“Kurang panjang tuh adeknya…” Citra saat itu berposisi menyamping
dengan lutut tertekuk, pantatnya berada di pinggir ranjang. Dia melihat
Kris masih ereksi dan siap memasukkan lagi… ke lubang pantat.
“Emm…” Citra mengernyit ketika Kris akhirnya menekankan kepala burung
yang masih membesar ke pintu belakang. Vagina Citra sudah basah karena
baru di-invasi, tapi pantatnya tidak siap.
“Gue masuk ya… Uh! Ahh… Sempit!” kata Kris.
“Iiuhh!” Citra terengah ketika kepala burung Kris tiba-tiba memaksa
menerobos lingkaran duburnya. Dia secara refleks berusaha menghindar,
memang wajar kalau ada yang mencoba mendesakkan sesuatu ke dalam
pantat. Tapi Citra tak bisa ke mana-mana selagi Kris mendorong
pinggangnya ke depan sambil menggerung keras. Masuklah penisnya ke
dalam lubang dubur yang tak sepenuhnya rela itu sedikit demi sedikit.
“Auh! Enak bangett! Pantat lu masih nggigit juga ya?” seru Kris sambil mengerang keenakan.
“Hssshh…” Citra mendesis, sakit campur enak, matanya berkaca-kaca
ketika merasakan sepotong daging yang keras dan panas di saluran
belakangnya.
Kris mulai bergerak maju-mundur menggempur pintu belakang Citra tanpa
ampun, kantong bijinya menampar-nampar belahan pantat Citra. Untungnya
bagi Citra, setelah dua-tiga menit rasa sakitnya berkurang menjadi
sekadar rasa kurang nyaman. Pantatnya sudah bukan perawan sejak lama,
jadi sudah tahu mesti bereaksi apa.
“Enak gak Cit? Lu masih suka pantat lu dientot kan?” tanya Kris sambil terengah.
“Iyah… Terus! Teruus!” Citra mulai merasa enak. Bagian bawah perutnya mulai merasakan sensasi nikmat dan jantungnya berdebar.
Kris melambat, menarik keluar penisnya pelan-pelan lalu ketika nyaris keluar dia masuk lagi dengan cepat dan kasar. Dan…
“Uh…hhh!”
Citra merasakan sesuatu yang panas menyembur di dalam pantatnya.
Kris ejakulasi. Kedua tangan Kris mencengkeram belahan pantat Citra
yang berada di atas, seolah mau menyempitkan saluran yang sedang
dimasuki kejantanannya. Kris baru mencabut kemaluannya sesudah puas
melampiaskan nafsu di dalam pantat Citra. Ia merasakan sebagian sperma
Kris ikut meleleh keluar bersamaan dengan perginya penis Kris dari dalam
pantatnya. Citra tetap berbaring menyamping, tidak langsung bangun.
Dilihatnya Kris mengambili tisu untuk menyeka badannya sendiri. Beking
Citra itu kemudian membereskan lagi pakaiannya.
“Sesuai perjanjian kita kemarin, ya. Besok-besok kalau aku datang, kayak gini lagi ya.”
Citra dengan cepat mengambil selimut dan melilitkannya di sekeliling
badan, lalu berdiri mengantar Kris yang beranjak ke pintu ruangan.
Citra tersenyum sinis sambil menaruh tangannya di pundak Kris.
“Oke boss,” katanya dengan genit.
Kris membuka pintu, lalu berbalik dan mengecup pipi Citra. Laki-laki
tegap itu kemudian menuju pintu keluar salon, tanpa mengacuhkan seorang
laki-laki muda yang berdiri di tengah ruangan utama salon. Citra melotot
melihat laki-laki muda itu.
“Bram?”
Memang masih jam kantor, tapi entah kenapa, Bram ada di salonnya.
Adik Citra itu memejamkan mata dan geleng-geleng kepala melihat kakaknya
yang cuma terbungkus selimut dan tadi dicium seorang aparat berseragam.
“Ya ampun, Kak…” keluh Bram.
“Apa sih?” Citra menoleh ke kanan-kiri dengan cuek, melihat ada satu
bungkus rokok di atas meja, mengambil sebatang dan menjepitnya di bibir,
gairahsex.com lalu sibuk mencari korek api.
“Ada korek nggak?” tanya Citra kepada Bram.
“Kakak nggak pernah berubah, ya…” Bram tidak menanggapi pertanyaan kakaknya.
“Jangan sok kaget gitu lah,” kata Citra setelah menemukan korek gas di satu laci. Dia menyalakan rokoknya.
“Eh bukannya ini masih jam kerja?”
“Kak,” kata Bram dengan nada serius.
“Aku mau tanya. Soal Sovi.”
Citra membelalak tanpa berkata apa-apa. Wajahnya berubah serius juga.
“…Kakak pake baju dulu deh, sebelum jawab,” usul Bram. Risi juga dia melihat kakaknya cuma berbungkus sehelai kain.
Sejam kemudian…
Bram sudah kembali ke kantor setelah tadi mampir sebentar ke salon
kakaknya, tanpa mampir ke rumah. Kepalanya terasa agak berat setelah dia
mendengar jawaban Citra.
“Sovi, sedang apa kamu?”
Tapi dia tahu sebagian penyebabnya adalah dirinya sendiri. Begitu masuk kantor, Febby, sekretaris Mang Enjup, memanggilnya.
“Mas Bram! Dicariin bos,” kata perempuan berkacamata itu. Bram langsung menuju ruangan Pak Jupri alias Mang Enjup, atasannya.
“Nah ini baru dateng anaknya. Ke mana aja kamu? Kenalin, ini Pak
Enrico,” kata Mang Enjup yang sedang menghadapi seorang tamu yang
berpenampilan pengusaha.
“Bram,” Bram memperkenalkan diri.
“Enrico,” kata orang itu.
Pembicaraan dimulai. Enrico rupanya sedang menggagas kerjasama dengan
Mang Enjup untuk membuka perwakilan perusahaan itu di daerahnya.
Menurut Enrico, produk perusahaan mereka belum banyak tersedia di sana.
Mang Enjup sudah mengontak bagian-bagian lain perusahaan untuk
menceritakan rencana Enrico, dan perusahaan menyetujui. Maka sekarang
persiapan pembukaan cabang bisa dimulai.
“Jadi, saya ngundang Pak Jupri untuk berkunjung ke kota saya, biar
bisa lihat sendiri keadaan di sana. Sekalian nanti saya kenalkan dengan
rekan-rekan kita dan juga pihak berwenang di sana—lumayan, buat
memperlancar urusan kita,” kata Enrico.
“Pak Enrico, terima kasih undangannya,” jawab Mang Enjup.
“Saya senang sekali kalau bisa ke sana. Katanya di sana pembangunan
mulai rame, ya? Pasti beda dengan waktu dulu saya masih muda ke sana,
dulu sepi! Ah, tapi sayang saya lagi jalani pengobatan, tidak boleh
pergi jauh-jauh untuk sementara waktu.”
Bram yang dari tadi mendengarkan langsung menoleh ke Mang Enjup. Dia
tahu Mang Enjup sebenarnya tidak sedang menjalani pengobatan (masalah
kesehatan Mang Enjup cuma ejakulasi dini saja). Kata-kata barusan itu
sekadar alasan untuk…
“…jadi nanti biar yang ke sana Bram, sebagai perwakilan saya. Dia
sudah biasa ngurus semuanya. Gimana Bram, kamu bisa kan?” Bram
tersenyum.
“Bisa,” jawabnya pendek.
“Kapan, Pak Enrico?”
“Dua hari lagi saya pulang ke sana. Barangkali kita bisa bareng. Kira-kira perlu berapa hari?” kata Enrico.
“Seminggu?” Mang Enjup langsung memotong sebelum Bram menjawab. Enrico mengangguk setuju.
Seminggu sebenarnya terlalu lama, Bram membayangkan, sekadar survei
lokasi dan berkenalan dengan orang-orang setempat paling-paling perlu
tiga hari.
“Oke, kalau begitu nanti saya kontak lagi Pak Bram untuk
persiapannya. Semuanya biar saya yang urus,” kata Enrico. Kemudian
Enrico pamit dan pergi.
Malamnya, di rumah Bram dan Sovi…
“Mas mau pergi seminggu?” tanya Sovi. Bram berbaring di tempat
tidur, sementara Sovi duduk di depan meja rias. Keduanya hendak
beristirahat setelah seharian beraktivitas.
“Iya…” Bram menyebutkan nama kota tujuannya, yang terletak di pulau lain. Dilihatnya wajah Sovi seperti kurang senang.
“Ajak dong Mas…” pinta Sovi manja.
“Yah, gimana ya… kayaknya nanti bakal sibuk urusan kantor di sana. Ntar kamu malah nganggur di kamar hotel dong,” jawab Bram.
“Nanti kalau sempat cuti deh, kita ke sana. Katanya sekarang di sana
rame, banyak tempat wisata, soalnya pembangunannya maju. Kepala
daerahnya hebat.”
“Iih, curang,” Sovi merajuk.
“Katanya cewek dari sana cakep-cakep, ya?”
“Terus?” Bram nyengir. Tapi dalam hatinya, dia mulai bisa membaca
isi hati Sovi, karena dia sudah mendengar penjelasan Citra. Makanya dia
tidak heran melihat Sovi bukannya membersihkan muka untuk persiapan
tidur, malah memulaskan lipstik tipis saja di bibirnya.
“Pasti kamu mau ditraktir cewek di sana… Iya kan?” kata Sovi sambil
beranjak dari meja rias, lalu menghampiri suaminya di tempat tidur.
Bram tersenyum melihat istrinya, perempuan cantik yang malam itu
berdaster kuning, berias wajah tipis, dan berbau wangi. Jelas Sovi tidak
ingin langsung tidur… Sovi berbaring menyamping, menghadap Bram,
memberikan ciuman mesra kepada suaminya.
“Yah… kamu tahu kan, biasa orang bisnis, entertain-nya gimana,” Bram
tidak berusaha mengelak. Toh Sovi sudah tahu salah satu kelemahannya.
Bram merasakan tangan Sovi menyelip ke balik celananya.
“Eh…”
Tangan Sovi terasa licin. Licin dan mulai membelai-belai kemaluan Bram. Bram merangkul istrinya dan mencium kening Sovi.
“Hayo… mau ngapain tangannya di sana…” goda Bram.
Sovi membalas dengan mengecup bibir Bram lalu menarik ujung kaos
Bram, menyingkap tubuh atas Bram. Sementara itu Sovi terus menciumi
tubuh suaminya, dari bibir turun ke dagu, rahang, leher.
Bram menahan nafas. Ia sekarang paham sebagian besar ceritanya.
Perubahan Sovi sesudah memergoki kebiasaan buruknya itu sebagian
disebabkan Citra juga.
Citra bercerita bagaimana Sovi minta saran agar
Bram tidak perlu lagi melirik perempuan lain. Dan kakaknya itu, yah,
sudah tahu apa yang Bram suka. Jadilah Citra membantu Sovi
membentuk-ulang dirinya agar lebih bisa memenuhi impian Bram. Misalnya
seperti yang terjadi sekarang. Sebelumnya, Sovi sangat konservatif dan
lebih banyak pasif di ranjang. Sekarang, Sovi dengan genitnya merayu dan
menggerayangi Bram.
Aksinya sudah tidak kalah dengan
perempuan-perempuan penghibur yang dulu (dan kadang sekarang) memberi
Bram kenikmatan badan. Sovi yang dulu tidak terpikir melakukan apa yang
dilakukannya kini. Tangan Sovi sudah menyentuh kemaluan Bram yang
sedikit tegak, jari-jari Sovi merangkum batang Bram. Sovi mulai
membelai-belai organ intim suaminya, dari bawah ke atas dan kembali
lagi, dan membuatnya tegang sempurna. Bram tersentak sedikit ketika
kocokan Sovi makin cepat.
“Ah…” Bram melihat istrinya melirik nakal dan kembali mencium
bibirnya. Ah, betapa manis bibirnya. Ah… dia kok jadi jago ngocok
juga?
“Pelan… sayang…” bisik Bram.
Sovi mengabulkan permintaan itu dan mengurangi intensitas
kocokannya. Bram tadi sudah nyaris keluar, tapi dia tidak ingin
buru-buru. Tangan Bram mencengkeram lengan atas Sovi, wajahnya terlihat
berusaha menahan kenikmatan, sementara rambut panjang Sovi menyapu
hidung Bram selagi Sovi mengulum salah satu telinga Bram. Beberapa
waktu lalu, Sovi sempat memberikan servis ‘mandi kucing’, dan Sovi baru
menemukan bahwa Bram punya titik sensitif di sana. Bram mengerang keras
selagi Sovi kembali kencang mengocoknya. Percikan-percikan cairan hangat
lengket melompat keluar dari ujung penisnya dan mendarat di mana-mana,
di kaos dan dada Bram, di daster Sovi, di seprei. Sovi tak melepas dan
terus mengocok sampai ejakulasi Bram selesai.
“Yah… berantakan nih. Kamu sih nakal, gak bilang-bilang dulu,” goda Bram sambil menikmati perasaan nikmatnya.
“Habisnya Mas Bram mau pergi… jadi ya mumpung sempat sama Mas Bram,” jawab Sovi.
Sovi sendiri merasakan putingnya mengeras dan selangkangannya
membasah. Membuat suaminya bisa orgasme dengan tangan sudah cukup
merangsang baginya, dan andai Bram mau melanjutkan, dia merasa dia bisa
langsung ‘dapat’. Bram meraih wajah Sovi. Ciuman yang menyusul sungguh
panas. Lidah mereka berdua saling menjelajah, tetap seperti menemukan
hal-hal baru walau keduanya sudah berkali-kali berciuman.
“Beresin dulu nggak?” goda Sovi.
“Nggak usah, kan mau dilanjutin?” Bram menanggapi.
Detik berikutnya Sovi didorong sehingga telentang, kedua pergelangan
tangannya ditahan kedua tangan Bram, kedua lutut Bram mengepit kedua
pahanya.
“Aku kan masih dua hari lagi perginya, sayang,” kata Bram pura-pura tak butuh.
“Biarin aja… Mas…” Bram melihat Sovi menggigit bibir kemudian kembali berkata.
“Mas aku pengen…”
Bram tidak perlu diminta lagi. Sedetik kemudian tubuh keduanya sudah bersatu.
No comments:
Post a Comment