AREA BASAH

Saturday, May 14, 2016

Cerita Dewasa , My Sexy Wife Part 7.

AGEN POKER

Cerita Dewasa / Cerita Sex / Cerita ABG / Cerita Dewasa Hot / Cerita Dewasa SMA / Kumpulan Cerita Dewasa 

Pagi, dua hari kemudian…
Bram mencium kening istrinya lalu masuk ke dalam mobil dan memundurkan mobil keluar garasi. Dalam beberapa menit, dia sudah di jalan menuju bandara, hendak berangkat ke kota tempat Enrico akan membuka cabang baru perusahaan. Diiringi lambaian tangan Sovi, Bram meninggalkan rumah. gairahsex.com Pinggang Bram terasa agak pegal dan matanya masih mengantuk. Kemarin malam dia tidak sempat cukup tidur karena Sovi terus mengajaknya bercinta. 

Dan pagi itu, dia jadi enggan meninggalkan istrinya yang cantik itu lama-lama. Tapi tugas kantor harus dijalankan. Setibanya di bandara, Enrico sudah ada di sana dan menyambut Bram. Keduanya segera bergerak ke dalam untuk boarding. Satu jam kemudian Bram sudah duduk di pesawat, memejamkan mata dan berusaha memimpikan Sovi.

*****
Dua, tiga jam sesudah Bram pergi, Sovi resah sendiri di rumah. Bukan pertama kali dia ditinggal Bram pergi bertugas ke luar kota, tapi entah kenapa, kali ini terasa ada yang tak tertahan. Apalagi karena sejak dua hari lalu, malam-malam di kamar mereka tak pernah sepi… Entah kenapa, Sovi merasa sangat bergairah dan terus berusaha mencari kenikmatan. 

Itu semua terjadi sesudah Sovi berkonsultasi dengan Dr. Lorencia, yang tanpa sepengetahuannya telah memperkuat sugesti yang ditanamkan Mang Enjup. Sebelum Bram berangkat, tadi Sovi masih sempat memberi kenikmatan kepada suaminya dengan memberi blowjob di kamar mandi. Hampir saja Sovi membuat Bram telat pergi karena dia mengajak suaminya bercinta sekalian. 

Tapi Bram masih bisa mengendalikan keadaan dan mengingatkan Sovi. Sovi menyentuh bibirnya sendiri dan mengulum jari telunjuknya, membayangkan kejantanan Bram yang tadi ada di dalam mulutnya, mengingat rasa benih suaminya yang tadi keluar di sana. Sambil duduk sendirian di sofa ruang tengah, Sovi membayangkan adegan tadi pagi. Tangannya yang satu lagi bergerak ke kemaluannya sendiri untuk masturbasi. Celana dalamnya sudah basah lagi, terbawa khayalannya dan hasrat yang belum kesampaian.

“Emmh… Mas… Mas Bram…” Sovi menggumamkan nama suaminya ketika dia merangsang dirinya sendiri, matanya setengah terpejam dan kepalanya rebah ke sandaran sofa selagi jari-jarinya bergerak keluar masuk liang kewanitaannya.
Tapi Sovi tak kunjung mendapat orgasme.  Yang dia inginkan bukan jarinya sendiri, melainkan kejantanan, kejantanan Bram…atau siapapun.

“Ohh,” keluh Sovi yang frustrasi, terhenyak di sofa dengan tak puas.
Dia menyerah dan berusaha melupakan hasrat yang mengganggu pikirannya dengan melakukan kegiatan lain. Sovi mulai membereskan rumah, menonton TV, menyiapkan makan siang untuk dirinya sendiri. Setidaknya ada kesibukan, walau perasaannya masih terasa terganjal. Seminggu. Tanpa Bram. Kenapa sekarang terasa susah sekali dilalui? Jam-jam berlalu. Ada telepon dari Bram, mengabarkan dia sudah sampai di tujuan. Pembicaraan hanya singkat karena Bram keburu dijemput oleh rekan kerja di sana.  Sesudahnya, Sovi kembali bermasturbasi, tapi dia gagal lagi mencapai klimaks.

*****
Sore menjelang malam.
Sovi makan malam sendirian. Sesudah makan, cuci piring, lalu beberes.  Lalu… apa? Sovi menyalakan televisi. Hanya berita atau sinetron. Tidak ada yang menarik untuk ditonton. Apa telpon Citra saja supaya ada teman bicara? Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Ada tamu? Mengintip dari balik jendela depan, Sovi melihat tiga orang keluar dari mobil itu. Salah seorangnya Mang Enjup. Ketiganya membuka pintu gerbang dan langsung menuju pintu rumah, lalu mengetok pintu. Sovi yang sudah di dekat pintu langsung membukakan pintu.
“Puuunten,” Mang Enjup memberi salam.

“Eh, Mang Enjup.  Ada apa, Mang, tumben mampir ke rumah?  Ayo, ayo masuk.”
Mang Enjup didampingi dua anak buahnya—Danang yang urakan dan Reja yang tegap.
“Mangga calik,” Sovi mempersilakan tamu-tamunya duduk.
“Sebentar, saya bikin teh dulu.”

“Aduh, ngga usah repot-repot,” Mang Enjup berbasa-basi, tapi membiarkan saja Sovi pergi ke belakang untuk membuatkan minum.

Danang dan Reja duduk di sofa, senyam-senyum karena masih ingat apa yang terjadi terakhir kali mereka datang ke rumah itu. Lima menit kemudian Sovi keluar membawa baki dengan tiga cangkir teh hangat di atasnya.  Dengan cekatan Sovi menyuguhkan minum kepada ketiga tamunya. Ketika Sovi duduk kembali, Mang Enjup langsung membuka pembicaraan. Mang Enjup sengaja menggeser posisi duduknya sehingga berada di sebelah tempat duduk Sovi.

“Lagi sepi ya, si Aden baru pergi kan,” kata Mang Enjup, merujuk ke Bram.
“Neng Sovi enggak kesepian kan?”
“Ah, nggak Mang…” kata-kata Sovi tidak sesuai dengan isi hatinya.
“Udah biasa kan kalau Mas Bram pergi keluar kota.”
“Gini,” kata Mang Enjup.

“Besok malam teh ada undangan dari Bapak Walikota.  Pesta apa selametan atau semacamnya.  Beliau ngundang orang-orang bisnis juga, termasuk dari perusahaan-perusahaan rekanan pemda.  Perusahaan kita diundang juga.”  Sebagai putri seorang pengusaha, Sovi paham bahwa acara Walikota itu bukan pesta biasa, melainkan ajang lobi bisnis.

“Tadinya Mang mau ajak si Aden ke sana,” kata Mang Enjup,
“tapi rupanya ada tawaran dari luar kota yang harus diurus juga, jadi Mang dan dia bagi tugas, dia keluar kota, Mang urus Pak Walikota.  Cuma tadi teh Mang kepikiran, gimana kalau ajak Neng Sovi sekalian?  Kan Neng Sovi juga penerus perusahaan kita, jadi ada baiknya mulai jalin kontak bisnis.  Banyak gunanya buat nanti.  Ya biar kenal sama sesama pengusaha, pejabat, anggota DPRD, dan pastinya Pak Walikota. Mau ikut kan?”

Sovi mengangguk setuju. Kata-kata Mang Enjup memang masuk akal. Dia dan Bram sama-sama disiapkan untuk mewarisi perusahaan orang tua mereka, jadi sudah kewajibannya untuk mempersiapkan diri agar bisa melakukan tugas itu sebaik-baiknya. Mang Enjup tidak berlama-lama. Sesudah berbasa-basi sedikit, dia pamit pulang. Mang Enjup bilang akan menjemput Sovi besok sore. Sovi mengantar para tamunya keluar sampai ke pintu pagar, lalu masuk kembali. Di dalam mobil, Danang mengeluh kepada Mang Enjup.

“Mang, udah begitu aja?  Si Sovi nggak kita apa-apain?”
“Hush!”  Mang Enjup menghardik.
“Ngga sabaran amat sih?  Tunggu ajah.  Nanti juga kalian kebagian lagi.  Sekarang kita pulang.  Reja!  Ayo jalan.”

Mobil melaju meninggalkan rumah Sovi.

*****
Besok sorenya…
Setelah menerima telepon dari Mang Enjup yang mengatakan akan menjemput dua jam lagi, Sovi langsung bersiap. Penjelasan Mang Enjup kemarin membuatnya merasa bertanggungjawab untuk memberi kesan baik.  Siapa tahu dari orang-orang yang ditemuinya malam itu, akan ada yang jadi rekan bisnis masa depan. Mengenakan kebaya sutra tipis panjang bersulam warna emas di atas kemben berwarna sama, dipadu rok panjang batik yang tidak mengekang namun tetap bernuansa etnis, Sovi tampak anggun menawan. Mang Enjup yang datang menjemputnya, lagi-lagi bersama Danang dan Reja, tidak bisa tidak menyatakan kekaguman.

“Uwaaah… meni geulis pisan euy, si Neng,” Mang Enjup memuji.
Sovi tersipu dipuji seperti itu. Mang Enjup langsung mengajak pergi.
“Ayoh kita berangkat.”

Mang Enjup sendiri mengenakan kemeja batik dan celana panjang hitam, sementara Danang terlihat tidak cocok mengenakan kemeja putih lengan panjang, dasi, rompi, dan celana bahan. Reja hanya berkaos dan bercelana jeans. 

Dia sadar bahwa sebagai sopir paling-paling dia cuma bakal menunggu di tempat parkir. Malam itu rumah dinas Walikota menjadi ajang suatu pesta.  Sebenarnya alasan pesta itu diselenggarakan tak begitu jelas, hanya saja melihat dari daftar tamu yang mencakup para pejabat, anggota DPRD, gairahsex.com pengusaha, dan profesional, sebagian besar yang hadir sudah maklum bahwa pesta itu ada hubungannya dengan tender suatu proyek besar yang akan dilaksanakan beberapa hari mendatang.  

Suasana pesta yang formal namun akrab pun menjadi ajang penguasa dan pengusaha saling mendekat, menjalin hubungan, dan di balik itu semua berusaha mendapatkan keuntungan dengan cara halal maupun lainnya. Di antara dekorasi indah, karangan bunga, makanan lezat, dan minuman mahal, manusia-manusia berkepentingan saling berbaur dan berbincang. Sovida yang gratis di dunia, bahkan di tengah pesta.

Ini bukan pertama kali Sovi hadir dalam pesta kalangan atas, tapi baru kali ini dia hadir sebagai seorang “ahli waris bisnis”. Dia memandangi orang-orang yang ada dengan antusias. Banyak sekali laki-laki berumur 40-an ke atas dalam setelan yang terlihat mahal atau batik sutra. Ada juga beberapa laki-laki muda yang terlihat perlente. Tamu-tamu perempuan yang hadir semuanya tampil gemerlap, dengan gaun mahal dan perhiasan berkilauan. 

Kebanyakan tamu perempuan juga berumur 40-an ke atas, mungkin mereka juga adalah pejabat atau pengusaha atau istri pejabat/pengusaha. Kehadiran Sovi sendiri justru menarik perhatian. Ketika Mang Enjup, Sovi, dan Danang masuk ke ruangan, tetamu langsung menengok dan tidak bisa melepaskan pandangan dari perempuan anggun yang baru hadir.

Sovi yang anggun dalam kebaya emasnya langsung menjadi pusat perhatian, dan terdengar gumaman serta decak dari sebagian tamu. Dan entah berapa pembicaraan bisnis yang tersela, tergantikan kekaguman. Baik kekaguman yang menghormati, maupun yang membayangkan hal yang tidak-tidak. Mang Enjup yang luas pergaulannya memperkenalkan Sovi ke sana-sini. 

Ini anggota DPRD; ibu ini guru besar kedokteran di universitas; suami-istri itu pengusaha ekspor-impor; bapak itu kepala dinas. Semua perkenalan berlangsung singkat, Sovi sampai kerepotan mengingat nama mereka semua. SeSovip kali, Mang Enjup selalu memperkenalkan Sovi sambil menyebut orangtuanya, Bram, dan orangtua Bram.  Banyak yang langsung paham apa arti semua itu, dan biasanya mereka akan mengangguk-angguk setuju. Sovi adalah calon penerus bisnis orangtuanya, salah satu bisnis besar di kota itu dan daerah-daerah lain.

“Hei, Sovi!” terdengar panggilan akrab.
Sovi menoleh dan melihat Dr. Lorencia yang juga hadir di pesta itu. Dr. Loren memuji kebaya dan kecantikan Sovi. Sambil tangannya seperti mau menggerayangi Sovi. Bagi yang tidak tahu orientasi si psikolog spesialis, kelihatannya seperti dua perempuan yang bersahabat akrab. Tapi sentuhan Dr. Loren jelas tidak cuma menyampaikan keakraban.

Mang Enjup tidak menunjukkan bahwa dia kenal Dr. Loren, tapi sempat memberi isyarat kepada perempuan berkacamata itu agar tidak menahan Sovi, karena ada urusan lebih penting. Sovi dan Mang Enjup meninggalkan Dr. Loren, dan Sovi bilang nanti dia akan ngobrol lagi dengan Dr. Loren. Tapi Danang, yang dari tadi mengintil Mang Enjup tanpa diperkenalkan ke siapa-siapa, tetap bersama Dr. Loren dan mengajak ngobrol. Mereka berdua sudah saling kenal rupanya. Di tengah ruangan dalam rumah dinas Walikota, Mang Enjup mengantar Sovi berkenalan dengan Pak Walikota. Sovi sudah sering melihat wajah Pak Walikota di televisi dan koran, tapi dia merasa baru satu kali bertemu dengan pejabat itu.

Pak Walikota bertubuh tegap dan besar; dia mantan perwira yang kemudian masuk ke partai politik dan memenangkan pemilihan kepala daerah tahun lalu. Umurnya kira-kira 50-an, dengan rambut mulai beruban, tapi wajahnya masih terlihat ganteng. 

Dia menjabat tangan Sovi dan tersenyum lebar. Jabat tangannya erat dan lama sekali, seolah dia tak mau melepas tangan Sovi; tindakannya itu disaksikan oleh seorang perempuan setengah baya bertubuh gemuk yang berdiri di sampingnya dan mengenakan kebaya mewah, dengan rambut disasak dan beruntai-untai kalung di lehernya. Perempuan itu istri Pak Walikota.

“Senang bisa kenalan dengan Bu Sovi,” kata Pak Walikota.
“Sama-sama, Pak,” jawab Sovi sopan.

“Bu Sovi masih ingat tidak?  Waktu Bu Sovi menikah dengan Pak Bram, saya datang,” kata Pak Walikota.

Sovi diam saja, dia sendiri tak yakin apa dia ingat pernah bertemu dengan Pak Walikota sebelumnya. Pak Walikota terus berusaha memperpanjang pembicaraan, dengan menyebut bahwa dia kenal orangtua Sovi dan Bram.  Sovi hanya mengangguk-angguk.

“…saya sudah lama tidak ketemu bapak Bu Sovi.  Tolong kasih tahu ya kalau Bapak sedang ada di sini.  Saya pingin ajak ngobrol dia,” pinta Pak Walikota.
“Iya, Pak,” ujar Sovi singkat.

“Tapi saya sudah senang kok bisa ketemu lagi dengan putrinya.  Tidak sangka, ternyata cantik sekali.  Bapak dan Ibu pasti bangga,” Pak Walikota berusaha memuji.

Mang Enjup masuk ke dalam pembicaraan, membawa topik tender proyek yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Pak Walikota dan Mang Enjup membahas itu, sementara Sovi dan istri Pak Walikota jadi penonton. Lalu beberapa orang lain datang mendekat.

“Hai… Pak Jupri mau nyolong start rupanya,” kata seorang laki-laki bertubuh kecil, berkulit kuning, bermata sipit, yang datang dari belakang Mang Enjup.  Dia merangkul Mang Enjup dengan gaya sok akrab, lalu menoleh ke Pak Walikota. Mang Enjup mengomentari orang baru itu.

“Hahaha… Koh Ahonk bisa aja.  Kan tadi situ yang udah duluan ngobrol.  Siapa dong yang nyolong start?” Mang Enjup menyindir laki-laki kecil itu, yang bernama Ahonk Sunargo, seorang pengusaha yang juga ikut tender proyek.

Tapi selagi dua orang itu saling sindir, datang lagi seorang laki-laki berjas biru yang mengabaikan keduanya dan langsung menjabat tangan Pak Walikota.

“Selamat malam, Pak.  Maaf saya baru datang.  Biasa, gandengan saya kelamaan dandan,” kata laki-laki berjas biru itu, yang lebih muda daripada Mang Enjup dan Koh Ahonk.

“Saya dari tadi udah tanya-tanya, Majed ke mana.  Rupanya nungguin gandengan,” celetuk Pak Walikota menyambut laki-laki muda itu, yang bernama Majed.  Majed berpenampilan seperti orang asing, tubuhnya jangkung, hidungnya mancung, wajahnya brewokan tapi ganteng.  Kontras dengan Mang Enjup yang sudah tua dan gemuk, atau Ahonk yang kurus kecil. Dan Majed juga salah seorang peserta tender.

“Gandengannya ganti lagi, Jed?” komentar Pak Walikota melihat sosok yang menggelayut di lengan Majed, seorang perempuan berkulit sawo matang, tapi tidak tampak seperti pribumi. Tubuhnya berbentuk seperti gitar Spanyol dengan dada besar, pinggang ramping, dan pinggul seksi. Perempuan itu berbicara sedikit ke Majed. Celetukannya, berbahasa Spanyol juga. Majed membisikkan sesuatu dan perempuan itu tertawa. Majed memperkenalkan gandengannya itu.

“Kenalkan, Pak, ini Sabri.  Lengkapnya Sabrina Iffa Almaraz. Latino tapi masih ada keturunan Timur Tengah, kayak penyanyi itu, Shakira.  Dia dikirim sama kantor pusat di Amerika buat training setahun di kantor cabang Indonesia, terus saya yang suruh handle.”

Majed memang mewakili perusahaan internasional yang juga bersaing dengan perusahaan orangtua Sovi dan perusahaan Ahonk di tingkat lokal.  Penjelasan Majed mengenai asal-usul Sabri terkesan dibuat-buat, tapi Pak Walikota tak memusingkan itu; dia sibuk memandangi rambut coklat panjang dan mata kelabu-biru Sabri. Ahonk yang diserobot kesempatannya oleh Majed tiba-tiba mengangkat telepon selulernya, memencet satu nomor, lalu menelepon.  Mang Enjup menguping pembicaraan singkat Ahonk.

“Ada di mana… Ayo sini cepet!” yang kemudian dilanjutkan beberapa patah kata bahasa Cina.
Tak lama kemudian muncullah seorang perempuan bertubuh langsing dan berwajah menarik, ras oriental.  Dia mengenakan baju sutra longgar dan celana panjang, rambut hitamnya dikepang satu di belakang kepala dan dihias jepit besar berbentuk anggrek. Ahonk memperkenalkannya kepada Pak Walikota sebagai “asistennya yang baru”, Shena. Dengan kehadiran Shena, jadilah Pak Walikota dirubung tiga laki-laki, juga tiga perempuan cantik. Sovi, Sabri, dan Shena. Entah kapan, istri Pak Walikota sudah tidak berada di samping suaminya, memilih untuk mengobrol dengan sesama istri pejabat daripada harus menemani suaminya. 

Sovi menyimak obrolan Pak Walikota dengan Mang Enjup, Ahonk, dan Majed. Dia merasa perlu terlibat dengan urusan proyek itu. Ditangkapnya berbagai hal yang tersirat; bahwa ketiga orang itu sebelumnya bekerja sama melobi DPRD sehingga menggolkan proyek besar yang akan ditender, namun sekarang ketiga pihak akan melupakan kerjasama dan bersaing dalam tender. Ketiganya sama-sama licin dalam berkata-kata, hampir tak pernah keceplosan mengumbar maksud dan siasat di depan lawan-lawannya.

“Oke, keputusannya tiga hari lagi.  Negosiasi Bolangnal dengan Anda bertiga akan saya lakukan sehari sebelumnya.  Nanti lokasi dan waktunya akan diberitahu asisten saya,” Pak Walikota menutup pembicaraan dengan mereka bertiga, lalu pamit untuk beralih mengobrol dengan tetamu lain.  Bu Walikota entah sudah ada di mana. Tiga laki-laki dan tiga perempuan itu pun bubar.
“Neng, tadi ikut denger obrolan kita kan?” tanya Mang Enjup.
“Iya, Mang,” jawab Sovi.

“Perusahaan kita bakal bersaing dengan perusahaannya Pak Ahonk dan Pak Majed itu di tender.”
“Nah, Neng Sovi, Mang tuh sebenarnya pengen minta bantuan. Selama ini Mang dan Bram sudah usaha keras supaya kita bisa menang. Sekarang tinggal satu tahap lagi.  Kalau pertandingan bola, kita udah masuk Final.  Tinggal gimana supaya kita menang juga di Final. Makanya… Bram kan lagi tidak di sini, padahal masih ada satu negosiasi lagi sebelum keputusan.  Boleh tidak kalau Mang minta Neng Sovi bantuin Mang di negosiasi terakhir itu?”

Mang Enjup mengatakan itu sambil menatap wajah Sovi dan tangannya mengurut-urut lengan Sovi; tanda dia menggunakan sedikit keahlian gendamnya. Sovi merasa sudah sewajarnya dia ikut terlibat, jadi dia pun mengangguk setuju.

“Boleh Mang… Nanti Sovi bantuin sebisanya, apa aja, supaya perusahaan kita yang dapat proyeknya,” ujar Sovi.

“Hatur nuhun, geulis,” kata Mang Enjup.
“Nah, ini sudah malam.  Mang mau pulang. Sovi mau pulang juga, atau masih mau di sini?”  Mang Enjup melepas pegangannya dari Sovi, menghentikan upaya mempengaruhi.

“Emm…” Sovi memperhatikan sekelilingnya.  Sebenarnya malam belum larut, baru sekitar pukul 9, dan dia juga kesepian di rumah.  Tadi dia belum sempat ngobrol dengan Dr. Lorencia.
“Sovi belakangan aja deh, Mang.”

“Ya udah.  Mang pulang dulu sama Reja, nanti Reja Mang suruh balik lagi ke sini buat nganter pulang Neng Sovi. Danang mah biarin aja di sini dulu.”

Mang Enjup kemudian meninggalkan rumah dinas walikota untuk pulang bersama Reja ke rumahnya sendiri yang tidak jauh dari sana.

Sovi kembali beredar dan melanjutkan obrolan dengan beberapa orang di sana. Ada seorang temannya waktu kuliah yang hadir juga di sana, mendampingi suaminya yang menjadi pejabat menengah setempat.  Temannya itu menanyakan Bram. Sovi bilang Bram sedang tugas kantor di luar kota. Mereka mengobrol, memuaskan rasa kangen sesudah beberapa lama tak bertemu. Di tempat lain, Danang memanfaatkan kesempatan mencicipi berbagai suguhan, termasuk minuman keras, di pesta itu.  Sekarang efek alkohol dan membuat dia merasa gerah. Ditambah lagi, sedari tadi dia menyaksikan bahwa sebenarnya banyak juga “pemandangan indah” di pesta itu. Ada perempuan-perempuan muda dan cantik di antara para tetamu.

Di antaranya Sabri Almaraz yang dibawa Majed, dan Shena asisten Ahonk. Dan tentunya Sovi. Tadi Danang sempat mengobrol dengan Dr. Lorencia. Mereka berdua sudah kenal sebelumnya, karena Danang sering ikut ke mana pun Mang Enjup pergi. Termasuk ketika beberapa waktu lalu Mang Enjup meminta Dr. Loren menggarap kesadaran Sovi. Danang tahu mengenai ilmu gendam Mang Enjup, bahkan dia pernah minta diajari, tapi ternyata dia tidak berbakat. Makanya dia iri kepada Dr. Loren yang bisa menyerap ilmu pamannya. Keduanya tadi mengobrol banyak, dan akhirnya mereka jadi saling tahu pengalaman masing-masing dengan Sovi. 

Danang masih penasaran dengan Sovi. Kemarin dia kesal sekali waktu ikut datang ke rumah Sovi tapi tidak terjadi apa-apa. Sekarang apalagi. Melihat Sovi, ditambah efek alkohol, membuat Danang belingsatan menahan sange. Danang sebenarnya pengecut, dia tidak berani mengapa-apakan Sovi kalau sendirian.  Tapi begitu tadi bertemu Dr. Loren dan berbagi cerita, segera muncul rencana di kepalanya untuk bisa meniduri Sovi malam itu. Dia tahu Dr. Loren juga berminat dengan Sovi. Jadi, begitu melihat Sovi ditinggal Mang Enjup, Danang langsung mendekati Dr. Loren lagi. Keduanya punya keinginan yang sama, jadi bisa bersepakat. Waktu Sovi terlihat mendekati Dr. Loren, Danang menyingkir.

Sovi dan Dr. Loren mengobrol lagi, agak berbisik-bisik. Dr. Loren menanyakan apakah Sovi masih ada masalah dengan traumanya. Sovi menjawab sudah tidak ada masalah. Obrolan mereka tidak berlangsung lama karena Dr. Loren bilang dia mau pulang, naik taksi. Sovi menanyakan alamat rumah Dr. Loren; ternyata sama dengan tempat praktiknya. Karena arah pulang mereka sejalan, Sovi menawari Dr. Loren pulang bareng. Dr. Loren menyanggupi. 

Sovi melihat Danang tidak jauh dari sana lalu memanggil Danang, menanyakan apakah Reja sudah balik lagi dari mengantar Mang Enjup. Danang menelepon sebentar lalu bilang Reja sudah ada di tempat parkir lagi. Sesudah berpamitan dengan Pak Walikota dan orang-orang lain, Sovi menuju pintu keluar diikuti Dr. Loren dan Danang yang saling pandang sambil cengar-cengir. Tidak cuma Mang Enjup yang jago menjerat orang—mereka berdua juga bisa.

AGEN POKER TERPERCAYA 

Di depan pintu, Reja sudah menunggu dengan mobil Mang Enjup. Si sopir membukakan pintu belakang untuk Sovi dan Dr. Loren, sedangkan Danang duduk di kursi depan. Mobil segera bergerak meninggalkan rumah dinas walikota. Sambil jalan, Dr. Loren melanjutkan obrolan dengan Sovi, sementara Danang dan Reja diam saja.  Mobil menuju rumah Dr. Loren. Tapi Dr. Loren lantas bicara sambil tangannya menggenggam pergelangan tangan Sovi.

“Sovi, aku pengen mampir ke rumahmu, boleh nggak?”  Sambil mengatakan itu Dr. Loren tiba-tiba menyentak halus tangan Sovi, satu teknik untuk menjatuhkan sasaran ke dalam keadaan setengah terhipnotis.

“Iya… Boleh…” kata Sovi.
“Kita ke rumahku dulu deh…”
Danang menengok ke belakang dan nyengir. Reja mengarahkan mobil ke jalan menuju rumah Sovi.

*****

Singkat cerita, mereka semua tiba di rumah Sovi dan turun. Sovi masih dalam keadaan setengah terhipnotis dan sama sekali tidak curiga akan maksud Danang dan Dr. Loren. Tadi di mobil, Dr. Loren sudah memberi sugesti,

“Kamu mau turuti semua yang kami suruh, kan?” dan Sovi menyanggupi.

Dan sejak di mobil Dr. Loren sudah mulai menggerayangi Sovi, mulai dari meremas-remas paha, meraba leher, sampai mengulum telinga Sovi.  Sovi bereaksi dengan tertawa kegelian dan mendesah.  Danang bolak-balik menengok untuk curi pandang, tapi Dr. Loren selalu memelototinya kalau dia ketahuan. Waktu mereka masuk rumah, Sovi sudah terangsang berat gara-gara Dr. Loren. Keadaan itu, ditambah pengaruh hipnotis, membuat dia mau saja disuruh menunjukkan kamar tidurnya. Dr. Loren menggiring Sovi ke kamar tidur, diikuti Danang dan Reja. Dr. Loren menengok ke arah dua laki-laki itu dan berkata,

“Aku duluan, dan jangan coba-coba ikutan.  Sori, aku nggak suka cowok.  Kalau ada yang berani ikutan, bakal kuhipnotis jadi banci. Silakan nonton tapi jangan ada yang macam-macam.”
Danang nyengir mendengar ancaman itu, tapi menganggapnya serius, karena sudah melihat bagaimana Dr. Loren bisa membuat Sovi mengikuti semua kata-katanya. Sovi duduk di pinggir tempat tidur, masih berkebaya lengkap. Loren menyuruhnya membuka baju. Dengan patuh, Sovi membuka kebaya, rok panjang, dan kembennya, sampai hanya tersisa celana dalam G-string dan bra. Sementara itu Loren membuka-buka lemari pakaian Sovi, mencari sesuatu.

“Sovi,” kata Dr. Loren,
“Merem.”  Sovi menurut dan memejamkan mata.

Loren sudah mengambil beberapa syal dari dalam lemari, lalu mengikatkan satu syal sehingga menutupi kedua mata Sovi. Loren lalu mendorong Sovi sehingga Sovi rebah di tempat tidur. Kemudian Loren mengikat kedua pergelangan tangan Sovi dengan syal lain. Loren tersenyum dan menjilat bibir.

Loren kemudian membuka seluruh pakaiannya sampai telanjang, tanpa peduli Danang dan Reja berdiri menonton di belakangnya. Dia lalu berlutut di tempat tidur dan menyibak kedua paha Sovi. Loren membungkuk ke depan, ujung-ujung jarinya menggerayangi leher Sovi. Dia bisa merasakan nafas Sovi mulai memburu. Jemari Loren terus menyusuri sekujur tubuh Sovi, tanpa menyentuh payudara Sovi. Lalu dengan cekatan Loren mencopot kancing bra Sovi. Payudara Sovi tumpah keluar. Loren menundukkan kepala, dan memasukkan satu puting Sovi ke mulutnya. Sovi mengerang keenakan. Loren pindah ke payudara satunya sambil mengelus-elus sekujur tubuh Sovi. Puting Sovi mulai mengeras.

Loren lalu beralih ke bagian bawah tubuh Sovi dan melepas celana dalam Sovi. Sovi terus mendesah dan merintih, ingin lebih.  Setelah membuka celana dalam Sovi, Loren memperhatikan vagina Sovi yang sudah basah. Loren memasukkan satu jari, kemudian dua jari ke sana. Sovi bereaksi dengan menggerakkan panggulnya menanggapi colokan jari Loren.  Loren mencabut jemarinya dan mulai menciumi perut Sovi, makin lama makin ke bawah.  

Dia mencapai kemaluan Sovi dan mulai menjilati klitoris Sovi. Sovi mulai tegang. Lidah Loren menjalar menyapu bibir kewanitaan Sovi, kemudian keluar-masuk rekahannya. Makin lama suara Sovi makin kencang. Dua jari Loren kembali masuk ke kemaluan Sovi yang becek. Sovi tersentak dan menjerit kaget, diikuti tarikan nafas panjang yang gemetar. Bibirnya tersenyum lebar.

“Mau diteruskan?” tanya Loren.
“Iya…” jawab Sovi.
Loren mencium Sovi, menghisap lembut bibir bawah Sovi.

“Baiklah, sayang,” kata Loren, sambil jari-jarinya beraksi di dalam vagina Sovi.
Loren merasakan kedua paha Sovi bergerak hendak merangkul tubuhnya, dan pinggul Sovi bergerak menanggapi tusukan jarinya.  Dengan lembut, ia terus merangsang klitoris dan vagina Sovi.  Nafas Sovi makin memburu dan wajahnya memerah selagi dia mendekati orgasme.  Akhirnya, Sovi mencapai klimaks. Dia menahan nafas selagi sekujur tubuhnya bergetar, kemudian mengeluarkan lolongan panjang tanda kenikmatan. “Oooo…. Eufhhh!!”

Dr. Lorencia mulai tak tahan, memandangi tubuh indah Sovi yang menggelinjang karena nikmat di depannya. Dia mulai bermasturbasi, menjolokkan jari ke dalam vaginanya sendiri, merangsang kewanitaannya sampai basah. Kemudian dia bergerak sampai akhirnya berposisi mengangkangi dada Sovi. Dr. Loren membuka penutup mata dan ikatan di tangan Sovi, membisikkan perintah, lalu bergeser lagi, menyodorkan klitorisnya ke mulut Sovi. Sovi langsung melakukan apa yang tadi diperintahkan.  Dia majukan kepalanya, dan melahap kemaluan Loren di depannya, menyedot klitoris Loren.

“Mmmmm… yes… oh… ayo terus mainin lidahnya…” ujar Loren saat dia mulai menggerakkan pinggulnya maju-mundur, mengentoti muka Sovi.  Sovi tidak peduli apa yang terjadi… rasa, bau, dan gesekan vagina Loren saja yang penting baginya saat itu.  Jari Sovi pun ikut main di sana. Sugesti yang tadi Loren berikan membuatnya tidak canggung ketika bercinta dengan sesama wanita.
“Aku… ah… sebentar lagi… oh… ohh…”

Dan, segera setelah berkata seperti itu, tubuh si psikolog cantik mulai gemetar tak terkendali, makin cepat dan bergairah menggesek-gesekkan selangkangannya ke mulut Sovi, seolah-olah mau memastikan rasa kewanitaannya akan menempel terus di mulut Sovi sampai berjam-jam ke depan. Ketika akhirnya mencapai klimaks, Loren melolong dan mendesah, suaranya begitu bernafsu sampai-sampai Danang yang menonton merinding mendengarnya. 

Sovi pelan-pelan menjilati sisa-sisa orgasme Loren (yang masih mengangkangi mukanya, biarpun nyaris ambruk karena lemas) sampai bersih, membuat Loren terengah dan bergidik dengan Sovip sapuan lidahnya.  Loren akhirnya turun dari ranjang, lalu mencium bibir Sovi dengan mesra. Dia tak menyangka percobaannya tadi dengan Sovi berefek dahsyat kepada dirinya sendiri, dan dia puas dengan “mainan baru”-nya. Sesudahnya, Dr. Loren menengok ke Danang dan Reja.

“Nih, silakan.  Aku udah puas, sekarang aku mau pulang ya.”
Danang dan Reja sudah tidak peduli lagi dengan Dr. Lorencia.  Sovi—anak bos mereka—sudah ada di depan mereka dalam keadaan telanjang, terhipnotis, dan terangsang. Kapan lagi dapat kesempatan seperti ini? Tangan Danang langsung menjamah vagina Sovi. Dia usapkan jari tengah sepanjang rekahannya, lalu dia tekuk jari itu dan celupkan ke dalam.

“Wuihh,” Danang berbisik di telinga Sovi, “Basah kuyup memeknya. Udah sange’ berat ya, Sovi?”
Sovi tidak menjawab; tapi jari Danang makin mudah bergerak di dalam kemaluannya. Danang menjilati kuping Sovi dan membuat istri rekan kerjanya itu makin tegang. Bibir luar vagina Sovi terentang ke luar Sovip kali Danang menarik keluar jarinya, seolah-olah enggan melepaskan. Nafas Sovi makin memburu, bibirnya mengeluarkan suara-suara merintih kecil. Danang terus menjolok-jolokkan jarinya di vagina Sovi, sementara tangan satunya membuka celananya sendiri. Dengan tak sabar Danang memelorotkan celana dan celana dalamnya. Penisnya lepas dari kungkungan, berdiri mencuat di tengah rambut kemaluannya yang lebat.

“Kamu lihat kan ini, Sovi?  Doyan kontol kan sekarang?  Sebentar lagi ini bakal masuk ke memek kamu, Sovi.  Punya Reja juga. Mulai sekarang kamu lonte kami, Sovi. Memek kamu buat dimasukin titit semua orang.  Nggak cuma Bram,” kata Danang, seolah meniru cara Dr. Loren mensugesti Sovi.  “Nih, buktinya memek kamu becek.  Lihat nih jari gue.”  Danang mencabut jari-jarinya dari vagina Sovi, mengendusnya, lalu memeperkan cairan kewanitaan dari kemaluan Sovi yang menempel di sana ke pipi kanan dan kiri Sovi.

Danang mengambil bantal dan menaruhnya di bawah pantat Sovi.  Danang lalu menggenggam penisnya dengan satu tangan dan menusukkannya ke lubang Sovi yang menghadap ke depan-atas. Sovi tidak melawan sama sekali.  Kedua pahanya tetap mengangkang menyambut Danang. Kepala penis Danang menghilang dari pandangan, memasuki liang kenikmatan Sovi. Sovi merintih lembut dan menggerakkan pinggulnya, sehingga setengah batang Danang masuk ke saluran cintanya.  Danang membungkuk dengan bertumpu ke kedua tangan di kiri-kanan tubuh Sovi, perlahan-lahan memasukkan seluruh kejantanannya ke vagina Sovi.

“Wuehh… Masih tetep enak memek luh Ti… sempit!” komentar Danang. Dia mulai bergerak keluar masuk beberapa kali. Penisnya basah terlumasi cairan kewanitaan Sovi. Sovi membalas Sovip gerakan Danang. Dia menggerakkan pinggulnya, menyodorkan kehormatannya, membuka pahanya lebar-lebar agar Danang bisa mendorong sedalam mungkin.

“Sialan… rasanya enak banget,” Danang terus mencerocos.  “Baru kali ini gue ngerasain memek lonte sempit kayak gini!  Gratisan lagi!”  Dia bergerak cepat untuk sejenak.
“Lu suka kan, Sov?” Danang bertanya dengan nada memaksa. “Ayo bilang!”
“Iyahh… aku suka dientoth…” kata Sovi yang tubuhnya terguncang-guncang menerima genjotan.
“Enak gak kontolnya?”
“Enaa…kh… entot terus…”

Sovi mengangkat kakinya memeluk tubuh Danang, lalu menggunakan kakinya untuk membantu mendorong tubuh Danang. Danang menengok ke Reja.
“Mau ikutan nggak, Ja?” tanya Danang.

Reja mengangguk. Sementara Reja membuka sepatu, baju, dan celana, Danang keluar dari vagina Sovi dan mengubah posisi tubuh Sovi. Sovi ditarik dan ditelungkupkan sehingga bagian atas tubuhnya berbaring di atas tempat tidur, sementara pantatnya menungging ke arah Danang dan Reja.  Kemaluannya terlihat dari belakang, merah dan basah. Danang kembali mencolokkan satu jari ke sana.

“Lu mau dientot lagi, Sov?” tanya Danang.
“Sama Reja?”
“I… iya…” Sovi berkata sambil terengah. Jari Danang menggosok daerah sekitar klitorisnya.
“Minta dia ngentot kamu,” suruh Danang.
“A-aaahhh…” Sovi merajuk manja.
“Ayo, kalau nggak minta, kami cabut nih,” dorong Danang.
“…entot aku… Ja…”
“Yang keras!  Yang jelas!”
“Entot aku… Reja, Danang… entotin aku… yah?” pinta Sovi.

“Bagus… Gitu emang harusnya lonte,” kata Danang melecehkan.  “Sok atuh, Ja, silakan dientot, dia udah minta.”  Danang mencabut jarinya dari vagina Sovi dan ganti menggerayangi pantat Sovi.
Reja mendekat, menggenggam penisnya yang sudah tegak. Danang berkomentar,
“Sialan, Ja, bikin iri aja barang lu.”

Tanpa banyak bicara si sopir itu menusuk kemaluan Sovi.  Sovi masih basah dan siap disetubuhi lagi. Reja mulai mendorongkan kejantanannya ke dalam Sovi dari belakang, dorongan tubuhnya cukup kencang sehingga membuat pantat dan payudara Sovi berguncang. Danang sudah pindahkan tangannya ke muka Sovi, dan Sovi mengulum jari Danang yang beberapa saat lalu ada dalam vaginanya. Danang duduk di tempat tidur dan memindahkan tubuh atas Sovi ke pangkuannya, tepat di depan penisnya yang masih tegak karena belum ejakulasi. Reja tetap di dalam Sovi selagi tubuh Sovi berubah posisi, menggenggam pinggul Sovi.
“Ayo, Sovi, isep kontol gue.  Emut tuh kontol gue…”

Sementara Reja mengentot Sovi dari belakang, Sovi mengulurkan tangan dan menggenggam pangkal kemaluan Danang. Sovi menjulurkan kepalanya ke depan dan memasukkan penis Danang ke mulutnya. Sovi mulai menggerakkan kepalanya naik-turun batang Danang. Danang berbaring dan membiarkan Sovi menggarap kemaluannya. Sovi tampak menikmati sekali: dia menyedot kepalanya, sampai pipinya mengempot. Gerakannya kadang cepat, kadang pelan menggoda.
“Ahh… Udah jago ya lu nyepong,” kata Danang.

“Terus.  Pake lidahnya lagi.  Anjrit… Bisa cepet keluar nih gua.  Jangan berhenti.  Gue mau keluar di dalem mulut lu.”
Danang menggertakkan giginya dan memejamkan mata.
“Nah… oohhh… udah mau…” Danang mencerocos,

“Udah mau! Keluarrr!…”  Tubuhnya mulai menyentak.  Dia mendorong pinggulnya, memasukkan penisnya sejauh mungkin di dalam mulut Sovi. Sovi mengeluarkan suara aneh, bunyi seperti meneguk minuman, dan kepalanya mundur, sehingga cipratan mani Danang mendarat di mukanya. Danang cepat-cepat mencengkeram belakang kepala Sovi dan menariknya kembali ke batangnya.  Sovi tidak melawan dan mengulum kembali batang yang sedang menyemburkan isinya itu. 

Terdengar suara menelan, tapi sebagian semburan Danang tumpah keluar dan berleleran di bibirnya. Sovi mengisap kepala penis Danang dan mengocok batangnya, mengosongkan isinya ke dalam mulut. Sovi merasakan Reja makin terangsang melihatnya mengisap ejakulasi Danang, lalu kembali memperhatikan senjata tumpul keras yang begitu nikmat membelah kemaluannya. Dia mendesak balik dorongan Reja, menginginkan lebih.

“Lu isep crot nya si Reja juga, ya,” perintah Danang. Dia menarik Sovi ke depan, sehingga terlepas dari penis Reja, lalu mendorong kepala Sovi ke arah reja.
“Sono isep!”

Reja ikut duduk di tempat tidur. Sovi merayap ke pangkuan Reja, payudaranya menekan paha Reja. Wajahnya masih belepotan cairan putih Danang. Sovi memegang penis Reja dengan dua tangan—lebih panjang daripada penis Danang yang panjangnya hanya segenggaman Sovi lebih sedikit—dan mengocok batang yang basah karena cairan vagina itu.  

Sovi mengecup ujungnya, lalu mendorong mulutnya menyelubungi kepala penis itu. Dia melepas genggamannya dan terus memasukkan batang panjang itu sampai sedalam-dalamnya, sampai ujungnya menyentuh pangkal tenggorokan.  Jari-jari Sovi merangsang pangkal tebal batang Reja yang tak masuk ke mulutnya.  Bibir Sovi ketat menjepit penis Reja yang bergerak keluar-masuk mulut.

Di dalam mulut, lidah Sovi lincah mengelus-elus dan bermain-main di bagian bawah batang Reja. Sovi masih dalam keadaan akan mematuhi apapun yang diperintahkan kepadanya, jadi ketika Danang menyuruhnya menyepong Reja, dia pun berusaha sebaik mungkin. Dia hanya mengulum kepala burung Reja, mengisapnya, sambil tangannya mengocoki batang Reja. 

Kedua tangannya bermain, tidak hanya di batang tapi juga di kantong biji, memeras, menggelitik. Sovi sudah siap dengan apa yang akan terjadi.  Sperma Reja meletup keluar dari penisnya ke dalam mulut Sovi.  Sovi menelan dan terus mengocok.  Reja menembak beberapa kali lagi dalam mulut Sovi, dan semuanya disedot habis oleh Sovi.

Setelah Sovi melepas penis Reja yang melemas, Danang menyuruhnya telentang dan merentangkan kedua lututnya.  Danang kemudian mulai melahap vagina Sovi, menjolokkan lidah ke dalam.  Sovi mengerang dan mencengkeram rambut Danang yang dicat merah, menekan kepala Danang ke selangkangannya.  Danang menjilat sepanjang bagian luar vagina Sovi, menelusuri bibir-bibir yang basah dengan liur campur cairan cinta.  Dia menowel-nowel klitoris Sovi dengan ujung lidahnya.  Mulutnya menutup seluruh vagina Sovi, tapi dari cara Sovi menggeleng-gelengkan kepala, jelas di dalam sana lidahnya bermain-main menggoda.  Sovi merintih nikmat tanpa henti, tubuhnya gemetar akibat lidah nakal Danang.  Lalu Danang berhenti. “Ohh… jangan…” keluh Sovi,

“terusin…”
“Terusin apa?” Danang bertanya, pura-pura bego.
“Sovi udah… dikit lagi…” pinta Sovi.
“Terusin… jilatin memek Sovi…”
“Apa?  Nggak kedengeran,” goda Danang.
“…Jilatin… memek Sovi!” Sovi berkata lebih keras.
“Nggak ah,” tolak Danang.  Sovi mengeluh,
“Aa~aahh…”

“Gue gak mau jilat lu, tapi gue mau ngentot lu.  Tapi lu mesti minta!” perintah Danang.  “Ayo minta!”

“ento… ia…”Gairah sex
“Apa?”

“Entotin Sovi…”
“Apa?  Gak kedengeran!”
“ENTOTIN MEMEK SOVI DONG… PLIS… SOVI PENGEN BANGET NIH…!” Akhirnya Sovi sampai berteriak, merendahkan dirinya sendiri demi kepuasan.
“Boleh aja,” kata Danang. “Tapi ada syaratnya!  Lu mesti biarin gue dan Reja ngentot lu di bagian apa aja.  Ngerti??”

“IYA!!… DUH… CEPETAN!!” Suara Sovi makin putus asa.
“Oke,” kata Danang sambil menengok ke Reja.
“Ayo barengan, Ja.”

“Sini, Sovi,” panggil Danang.  Dia telentang di tempat tidur.  “Naik ke atas gue, terus lu masukin titit gue ke memek lu.”  Sovi bergerak menunggangi Danang.  Danang menarik wajah Sovi dan menciumnya, lidah mereka berdua saling jilat.  Danang mengulurkan tangan dan meraih senjatanya, lalu memasukkannya ke celah di selangkangan Sovi. Kepala burungnya masuk di antara bibir vagina, dan pelan-pelan sisanya menyusul. 

Danang menyodok sedikit-sedikit, sementara Sovi mulai menggoyang pinggul, memutar penis Danang, sambil membiarkannya terus masuk. Akhirnya, batang Danang masuk semua.  Lalu Sovi mulai menggerakkan pinggulnya, bergerak naik turun dan memutar batang keras di dalam kemaluannya, menari di pangkuan Danang. “Sekarang lu tusuk bokongnya, Ja,” kata Danang.

Pantat Sovi tepat di depan Reja, dan tangan-tangan Danang mencengkeram sambil melebarkan kedua belahannya, memperlihatkan lubang kecil di tengah.
“Lu suka kan,” Danang berbisik kepada Sovi.
“Awalnya sakit, tapi lama-lama enak.”

“Agghh,” Sovi mengeluh halus ketika jari Reja mencolok lubang pantatnya.  Danang menyuruh Sovi tidak melawan, dan meskipun masih sempit, jari Reja bisa masuk sedikit demi sedikit sampai seluruhnya masuk di sana.  Reja kemudian memutar-mutar jarinya. 

Setelah menyiapkan lubang itu, Reja mencabut lagi jarinya dari dalam sana. Sovi tidak bergerak selagi Danang terus menggenjot dari bawah dan merentangkan kedua bongkahan pantatnya yang bahenol. Reja maju dan meletakkan kepala burungnya di lubang belakang Sovi, lalu mendorongnya.

“Ahh…hh!!” pekik Sovi.  “Gede… banget!!”  Sovi mencoba menghindar, tapi tidak bisa, bagian depannya sudah terpantek penis Danang, dan dari belakang senjata Reja menusuk tajam.

*****
Di jalan…

Dr. Lorencia tersenyum-senyum sendiri dalam taksi yang sedang membawanya pulang ke rumah. Dia sudah sukses membuat Sovi menjadi perempuan binal hamba nafsu malam itu, dan memang itulah yang diinginkan Mang Enjup. Tadi dia mendapat penjelasan lagi mengenai rencana Mang Enjup, secara tidak langsung, ketika dia mengawasi gerak-gerik laki-laki tua itu bersama Sovi di pesta. Dasar bajingan cabul, pikir Dr. Loren.  Anak bos sendiri akan dikorbankan…Tapi Dr. Loren tidak ambil pusing. Dia menyentuh kemaluannya sendiri di balik pakaian, mengingat bagaimana tadi Sovi memberikan kenikmatan kepadanya.

Andai saja dia lebih dulu kenal perempuan muda yang polos itu, dia pasti tidak akan segan merebut Sovi dari suaminya dan menjadikannya budak seksnya sendiri. Satu hal lagi yang dipikirkan Loren. Pengaruh hipnotisnya punya batas waktu.  Dan sekarang waktunya hampir habis. Kalau Danang dan Reja sudah selesai sih tidak masalah, tapi apa jadinya kalau Sovi sadar ketika sedang dicabuli dia laki-laki itu?  Dr. Lorencia tersenyum nakal. Entah Sovi akan memprotes dan melawan, atau terus berperan sebagai pelacur murahan. Tiba-tiba dia ingin balik lagi melihat apa yang terjadi.  Tapi taksi sudah keburu mencapai rumahnya.
 
Reja mendorong maju lagi, terus makin dalam ke lubang pantat Sovi.  Reja merasa saluran itu mulai menyerah terhadap desakan kepala burungnya.
“Auhh… Sakit!”  Sovi memekik.

“Jangan… dimasukin… lagih!  Ngga kuatt…!  Sakii…tt!”
Sentakan rasa sakit itu juga membuat Sovi sadar dari keadaan terhipnotis.  Danang melihat perubahan di sinar mata Sovi, yang tadinya sayu dan kosong kini terlihat seperti mendapat api-nya lagi. Sovi tersadar. Dan dia mendapati dirinya telanjang, terjepit di antara dua laki-laki dalam persetubuhan.  Bukan dengan suaminya. Rasa nikmat campur sakit dari depan dan belakang. 

Refleksnya membuat dia meronta, tapi Danang dan Reja memeganginya kuat-kuat. Dia menjerit, tapi jeritan paniknya tercampur dengan jeritan nikmat ketika Danang mengemut putingnya dan Reja menciumi bahunya.  Pikiran Sovi kacau karena tidak menyangka tiba-tiba berada dalam keadaan seperti itu. Dan di dalam kepalanya, seperti terus bergema suara yang menyuruh dia menyerah saja dan menikmati keadaan. Menyuruh dia mengerti bahwa dia sebenarnya wanita jalang yang haus kenikmatan. 

Jeritan dan gerakan Sovi yang baru sadar disalahartikan oleh Danang dan Reja, mereka kira perempuan muda itu makin terangsang. Akibatnya makin hebat saja gempuran mereka terhadap Sovi. Reja sudah memasukkan setengah penisnya.

Lingkaran otot dubur Sovi mencengkeram erat di sekitar batang penis Reja yang mendesaknya. Reja memundurkan pinggul, menarik batangnya sampai batas kepala, dan mendorong maju lagi, lebih dalam daripada sebelumnya. Kali ini batangnya masuk dengan lebih mudah, biarpun saluran belakang Sovi sangat sempit dan lebih melawan daripada vaginanya.

“Ah… gede banget…” keluh Sovi.  Dia belum sepenuhnya menguasai diri, kepalanya masih terlanda birahi membara.

“ Reja mundur lagi sedikit lalu mendorong sisanya ke dalam dubur Sovi.  Sovi meringis, kepalanya ambruk ke dada Danang.

“Yahh…!” Sovi meringis.
“Sakit… ahh….!  Jangan… didorong… lagi!”
Reja diam beberapa saat, menikmati jepitan tabung pengeluaran Sovi terhadap batang yang sudah dia susupkan seluruhnya ke dalam.  Kemudian dia menggenjot pelan-pelan.  Tubuh Sovi mulai merasa lebih nyaman, tapi perasaannya tetap ingin berontak.  Danang juga mulai bergerak lagi, seirama dengan Reja, masuk, keluar, masuk, keluar kedua lubang Sovi.  Sovi hanya bisa menggelinjang dan mengeluarkan bunyi-bunyi tak jelas.

“Gimana Sovi.  Enak kan sekarang?” tanya Danang.
“Iyahh… mendingan… ayoh… lagi,” Sovi menjawab sekaligus meminta.
Danang dan Reja menggenjot dengan penuh semangat.  Sovi membalasnya dengan mengeluarkan suara-suara penuh nafsu.

“Yahh… ah… iya… ah… oh… enak banget… Oh… OH!… Sodok terus… Terus!”
Sovi terjepit di antara dua laki-laki, menggelepar, menerima sodokan keras dan kencang dari dua arah.  Dia makin bergairah dengan Sovip gerakan.  Dan dia sadar sepenuhnya apa yang dia alami.  Dia sedang bersetubuh dengan dua laki-laki yang bukan suaminya.  Tapi dia tak peduli.  

Yang menguasai kepalanya adalah keinginan untuk mencapai orgasme, untuk mencapai kenikmatan badan.  Dan biarpun Bram baru pergi satu hari, tubuhnya sudah tak kuat menahan.  Maka dia tidak pedulikan kalau yang menyetubuhinya bukan orang yang berhak.  Sejak di pesta pun Sovi sudah resah, karena dia menyadari bagaimana sebagian tamu memandangi dirinya penuh nafsu.  Dia tahu di kepala mereka yang ada justru keinginan untuk menindihnya, merobek paksa bajunya, menggagahinya. Ditambah lagi, Mang Enjup berkali-kali mencolek tubuhnya, terutama di bagian pantat.  Dan dia malah merasa senang dilecehkan seperti itu.

Sovi membungkuk, merapatkan tubuh memeluk Danang.  Reja mendorong dari belakang, penisnya masuk semua ke lubang pantat.  Disertai teriakan, Sovi mengalami klimaks.  Tubuhnya tersentak-sentak di tengah kedua laki-laki yang menghimpitnya.

“Ohhh…” Sovi meringis dengan wajah menempel ke dada Danang.

“Auhh… enak banget… unghh…”  Sovi terbenam dalam kenikmatan, mulutnya mengeluarkan suara-suara penuh nafsu, dan saluran-salurannya menjepit kedua kejantanan di dalam tubuh.  Reja juga merasa akan klimaks sebentar lagi, dia menghantam makin kencang keluar-masuk, mendorong sedalam-dalamnya kemudian menariknya keluar lagi.  Sementara itu, ekspresi Danang berubah seperti menahan sakit dan tanpa banyak cingcong dia berejakulasi di dalam vagina Sovi.  Disusul Reja yang menghunjamkan penisnya dalam-dalam dan melepas pejunya ke dalam pantat Sovi.

*****
Sesudahnya, Danang dan Reja pulang begitu saja, meninggalkan Sovi yang menggeletak ternoda di atas tempat tidurnya sendiri. Danang dan Reja menyangka mereka meninggalkan Sovi dalam kondisi masih terhipnotis, padahal sebenarnya tidak. Sovi meringkuk di tempat tidurnya… tersenyum merasakan cairan kelelakian Danang dan Reja di dalam rongga-rongga tubuhnya, mengingat orgasme dahsyat yang dia dapat, mengingat betapa bernafsunya kedua laki-laki tadi. Entah kenapa, dia tidak lagi merasa bersalah seperti sesudah disetubuhi aparat sesudah kena ciduk.  Sesuatu di dalam kepalanya—sugesti yang ditanamkan Dr. Lorencia—membuat dia merasa apa yang dia lakukan wajar saja.  Peduli amat dengan statusnya sebagai istri Bram.  Yang dipentingkannya hanya kenikmatan badan.  SeSovip hari.  Dari Bram suaminya, atau dari siapapun.

Sovi terjerumus makin dalam…

AGEN POKER TERPERCAYA INDONESIA

Cerita Dewasa / Cerita Sex / Cerita ABG / Cerita Dewasa Hot / Cerita Dewasa SMA / Kumpulan Cerita Dewasa

No comments:

Post a Comment