AGEN POKER
Cerita Dewasa / Cerita Sex / Cerita ABG / Cerita Dewasa Hot / Cerita Dewasa SMA / Kumpulan Cerita Dewasa
Pagi, dua hari kemudian…
Bram mencium kening istrinya lalu masuk ke dalam mobil dan
memundurkan mobil keluar garasi. Dalam beberapa menit, dia sudah di
jalan menuju bandara, hendak berangkat ke kota tempat Enrico akan
membuka cabang baru perusahaan. Diiringi lambaian tangan Sovi, Bram
meninggalkan rumah. gairahsex.com Pinggang Bram terasa agak pegal dan
matanya masih mengantuk. Kemarin malam dia tidak sempat cukup tidur
karena Sovi terus mengajaknya bercinta.
Dan pagi itu, dia jadi enggan
meninggalkan istrinya yang cantik itu lama-lama. Tapi tugas kantor harus
dijalankan. Setibanya di bandara, Enrico sudah ada di sana dan
menyambut Bram. Keduanya segera bergerak ke dalam untuk boarding. Satu
jam kemudian Bram sudah duduk di pesawat, memejamkan mata dan berusaha
memimpikan Sovi.
*****
Dua, tiga jam sesudah Bram pergi, Sovi resah sendiri di rumah. Bukan
pertama kali dia ditinggal Bram pergi bertugas ke luar kota, tapi entah
kenapa, kali ini terasa ada yang tak tertahan. Apalagi karena sejak dua
hari lalu, malam-malam di kamar mereka tak pernah sepi… Entah kenapa,
Sovi merasa sangat bergairah dan terus berusaha mencari kenikmatan.
Itu
semua terjadi sesudah Sovi berkonsultasi dengan Dr. Lorencia, yang tanpa
sepengetahuannya telah memperkuat sugesti yang ditanamkan Mang Enjup.
Sebelum Bram berangkat, tadi Sovi masih sempat memberi kenikmatan kepada
suaminya dengan memberi blowjob di kamar mandi. Hampir saja Sovi
membuat Bram telat pergi karena dia mengajak suaminya bercinta
sekalian.
Tapi Bram masih bisa mengendalikan keadaan dan mengingatkan
Sovi. Sovi menyentuh bibirnya sendiri dan mengulum jari telunjuknya,
membayangkan kejantanan Bram yang tadi ada di dalam mulutnya, mengingat
rasa benih suaminya yang tadi keluar di sana. Sambil duduk sendirian di
sofa ruang tengah, Sovi membayangkan adegan tadi pagi. Tangannya yang
satu lagi bergerak ke kemaluannya sendiri untuk masturbasi. Celana
dalamnya sudah basah lagi, terbawa khayalannya dan hasrat yang belum
kesampaian.
“Emmh… Mas… Mas Bram…” Sovi menggumamkan nama suaminya ketika dia
merangsang dirinya sendiri, matanya setengah terpejam dan kepalanya
rebah ke sandaran sofa selagi jari-jarinya bergerak keluar masuk liang
kewanitaannya.
Tapi Sovi tak kunjung mendapat orgasme. Yang dia inginkan bukan
jarinya sendiri, melainkan kejantanan, kejantanan Bram…atau siapapun.
“Ohh,” keluh Sovi yang frustrasi, terhenyak di sofa dengan tak puas.
Dia menyerah dan berusaha melupakan hasrat yang mengganggu pikirannya
dengan melakukan kegiatan lain. Sovi mulai membereskan rumah, menonton
TV, menyiapkan makan siang untuk dirinya sendiri. Setidaknya ada
kesibukan, walau perasaannya masih terasa terganjal. Seminggu. Tanpa
Bram. Kenapa sekarang terasa susah sekali dilalui? Jam-jam berlalu. Ada
telepon dari Bram, mengabarkan dia sudah sampai di tujuan. Pembicaraan
hanya singkat karena Bram keburu dijemput oleh rekan kerja di sana.
Sesudahnya, Sovi kembali bermasturbasi, tapi dia gagal lagi mencapai
klimaks.
*****
Sore menjelang malam.
Sovi makan malam sendirian. Sesudah makan, cuci piring, lalu
beberes. Lalu… apa? Sovi menyalakan televisi. Hanya berita atau
sinetron. Tidak ada yang menarik untuk ditonton. Apa telpon Citra saja
supaya ada teman bicara? Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah.
Ada tamu? Mengintip dari balik jendela depan, Sovi melihat tiga orang
keluar dari mobil itu. Salah seorangnya Mang Enjup. Ketiganya membuka
pintu gerbang dan langsung menuju pintu rumah, lalu mengetok pintu. Sovi
yang sudah di dekat pintu langsung membukakan pintu.
“Puuunten,” Mang Enjup memberi salam.
“Eh, Mang Enjup. Ada apa, Mang, tumben mampir ke rumah? Ayo, ayo masuk.”
Mang Enjup didampingi dua anak buahnya—Danang yang urakan dan Reja yang tegap.
“Mangga calik,” Sovi mempersilakan tamu-tamunya duduk.
“Sebentar, saya bikin teh dulu.”
“Aduh, ngga usah repot-repot,” Mang Enjup berbasa-basi, tapi membiarkan saja Sovi pergi ke belakang untuk membuatkan minum.
Danang dan Reja duduk di sofa, senyam-senyum karena masih ingat apa
yang terjadi terakhir kali mereka datang ke rumah itu. Lima menit
kemudian Sovi keluar membawa baki dengan tiga cangkir teh hangat di
atasnya. Dengan cekatan Sovi menyuguhkan minum kepada ketiga tamunya.
Ketika Sovi duduk kembali, Mang Enjup langsung membuka pembicaraan. Mang
Enjup sengaja menggeser posisi duduknya sehingga berada di sebelah
tempat duduk Sovi.
“Lagi sepi ya, si Aden baru pergi kan,” kata Mang Enjup, merujuk ke Bram.
“Neng Sovi enggak kesepian kan?”
“Ah, nggak Mang…” kata-kata Sovi tidak sesuai dengan isi hatinya.
“Udah biasa kan kalau Mas Bram pergi keluar kota.”
“Gini,” kata Mang Enjup.
“Besok malam teh ada undangan dari Bapak Walikota. Pesta apa
selametan atau semacamnya. Beliau ngundang orang-orang bisnis juga,
termasuk dari perusahaan-perusahaan rekanan pemda. Perusahaan kita
diundang juga.” Sebagai putri seorang pengusaha, Sovi paham bahwa acara
Walikota itu bukan pesta biasa, melainkan ajang lobi bisnis.
“Tadinya Mang mau ajak si Aden ke sana,” kata Mang Enjup,
“tapi rupanya ada tawaran dari luar kota yang harus diurus juga, jadi
Mang dan dia bagi tugas, dia keluar kota, Mang urus Pak Walikota. Cuma
tadi teh Mang kepikiran, gimana kalau ajak Neng Sovi sekalian? Kan
Neng Sovi juga penerus perusahaan kita, jadi ada baiknya mulai jalin
kontak bisnis. Banyak gunanya buat nanti. Ya biar kenal sama sesama
pengusaha, pejabat, anggota DPRD, dan pastinya Pak Walikota. Mau ikut
kan?”
Sovi mengangguk setuju. Kata-kata Mang Enjup memang masuk akal. Dia
dan Bram sama-sama disiapkan untuk mewarisi perusahaan orang tua mereka,
jadi sudah kewajibannya untuk mempersiapkan diri agar bisa melakukan
tugas itu sebaik-baiknya. Mang Enjup tidak berlama-lama. Sesudah
berbasa-basi sedikit, dia pamit pulang. Mang Enjup bilang akan menjemput
Sovi besok sore. Sovi mengantar para tamunya keluar sampai ke pintu
pagar, lalu masuk kembali. Di dalam mobil, Danang mengeluh kepada Mang
Enjup.
“Mang, udah begitu aja? Si Sovi nggak kita apa-apain?”
“Hush!” Mang Enjup menghardik.
“Ngga sabaran amat sih? Tunggu ajah. Nanti juga kalian kebagian lagi. Sekarang kita pulang. Reja! Ayo jalan.”
Mobil melaju meninggalkan rumah Sovi.
*****
Besok sorenya…
Setelah menerima telepon dari Mang Enjup yang mengatakan akan
menjemput dua jam lagi, Sovi langsung bersiap. Penjelasan Mang Enjup
kemarin membuatnya merasa bertanggungjawab untuk memberi kesan baik.
Siapa tahu dari orang-orang yang ditemuinya malam itu, akan ada yang
jadi rekan bisnis masa depan. Mengenakan kebaya sutra tipis panjang
bersulam warna emas di atas kemben berwarna sama, dipadu rok panjang
batik yang tidak mengekang namun tetap bernuansa etnis, Sovi tampak
anggun menawan. Mang Enjup yang datang menjemputnya, lagi-lagi bersama
Danang dan Reja, tidak bisa tidak menyatakan kekaguman.
“Uwaaah… meni geulis pisan euy, si Neng,” Mang Enjup memuji.
Sovi tersipu dipuji seperti itu. Mang Enjup langsung mengajak pergi.
“Ayoh kita berangkat.”
Mang Enjup sendiri mengenakan kemeja batik dan celana panjang hitam,
sementara Danang terlihat tidak cocok mengenakan kemeja putih lengan
panjang, dasi, rompi, dan celana bahan. Reja hanya berkaos dan bercelana
jeans.
Dia sadar bahwa sebagai sopir paling-paling dia cuma bakal
menunggu di tempat parkir. Malam itu rumah dinas Walikota menjadi ajang
suatu pesta. Sebenarnya alasan pesta itu diselenggarakan tak begitu
jelas, hanya saja melihat dari daftar tamu yang mencakup para pejabat,
anggota DPRD, gairahsex.com pengusaha, dan profesional, sebagian besar
yang hadir sudah maklum bahwa pesta itu ada hubungannya dengan tender
suatu proyek besar yang akan dilaksanakan beberapa hari mendatang.
Suasana pesta yang formal namun akrab pun menjadi ajang penguasa dan
pengusaha saling mendekat, menjalin hubungan, dan di balik itu semua
berusaha mendapatkan keuntungan dengan cara halal maupun lainnya. Di
antara dekorasi indah, karangan bunga, makanan lezat, dan minuman mahal,
manusia-manusia berkepentingan saling berbaur dan berbincang. Sovida
yang gratis di dunia, bahkan di tengah pesta.
Ini bukan pertama kali Sovi hadir dalam pesta kalangan atas, tapi
baru kali ini dia hadir sebagai seorang “ahli waris bisnis”. Dia
memandangi orang-orang yang ada dengan antusias. Banyak sekali laki-laki
berumur 40-an ke atas dalam setelan yang terlihat mahal atau batik
sutra. Ada juga beberapa laki-laki muda yang terlihat perlente.
Tamu-tamu perempuan yang hadir semuanya tampil gemerlap, dengan gaun
mahal dan perhiasan berkilauan.
Kebanyakan tamu perempuan juga berumur
40-an ke atas, mungkin mereka juga adalah pejabat atau pengusaha atau
istri pejabat/pengusaha. Kehadiran Sovi sendiri justru menarik
perhatian. Ketika Mang Enjup, Sovi, dan Danang masuk ke ruangan, tetamu
langsung menengok dan tidak bisa melepaskan pandangan dari perempuan
anggun yang baru hadir.
Sovi yang anggun dalam kebaya emasnya langsung menjadi pusat
perhatian, dan terdengar gumaman serta decak dari sebagian tamu. Dan
entah berapa pembicaraan bisnis yang tersela, tergantikan kekaguman.
Baik kekaguman yang menghormati, maupun yang membayangkan hal yang
tidak-tidak. Mang Enjup yang luas pergaulannya memperkenalkan Sovi ke
sana-sini.
Ini anggota DPRD; ibu ini guru besar kedokteran di
universitas; suami-istri itu pengusaha ekspor-impor; bapak itu kepala
dinas. Semua perkenalan berlangsung singkat, Sovi sampai kerepotan
mengingat nama mereka semua. SeSovip kali, Mang Enjup selalu
memperkenalkan Sovi sambil menyebut orangtuanya, Bram, dan orangtua
Bram. Banyak yang langsung paham apa arti semua itu, dan biasanya
mereka akan mengangguk-angguk setuju. Sovi adalah calon penerus bisnis
orangtuanya, salah satu bisnis besar di kota itu dan daerah-daerah lain.
“Hei, Sovi!” terdengar panggilan akrab.
Sovi menoleh dan melihat Dr. Lorencia yang juga hadir di pesta itu.
Dr. Loren memuji kebaya dan kecantikan Sovi. Sambil tangannya seperti
mau menggerayangi Sovi. Bagi yang tidak tahu orientasi si psikolog
spesialis, kelihatannya seperti dua perempuan yang bersahabat akrab.
Tapi sentuhan Dr. Loren jelas tidak cuma menyampaikan keakraban.
Mang Enjup tidak menunjukkan bahwa dia kenal Dr. Loren, tapi sempat
memberi isyarat kepada perempuan berkacamata itu agar tidak menahan
Sovi, karena ada urusan lebih penting. Sovi dan Mang Enjup meninggalkan
Dr. Loren, dan Sovi bilang nanti dia akan ngobrol lagi dengan Dr. Loren.
Tapi Danang, yang dari tadi mengintil Mang Enjup tanpa diperkenalkan ke
siapa-siapa, tetap bersama Dr. Loren dan mengajak ngobrol. Mereka
berdua sudah saling kenal rupanya. Di tengah ruangan dalam rumah dinas
Walikota, Mang Enjup mengantar Sovi berkenalan dengan Pak Walikota. Sovi
sudah sering melihat wajah Pak Walikota di televisi dan koran, tapi dia
merasa baru satu kali bertemu dengan pejabat itu.
Pak Walikota bertubuh tegap dan besar; dia mantan perwira yang
kemudian masuk ke partai politik dan memenangkan pemilihan kepala daerah
tahun lalu. Umurnya kira-kira 50-an, dengan rambut mulai beruban, tapi
wajahnya masih terlihat ganteng.
Dia menjabat tangan Sovi dan tersenyum
lebar. Jabat tangannya erat dan lama sekali, seolah dia tak mau melepas
tangan Sovi; tindakannya itu disaksikan oleh seorang perempuan setengah
baya bertubuh gemuk yang berdiri di sampingnya dan mengenakan kebaya
mewah, dengan rambut disasak dan beruntai-untai kalung di lehernya.
Perempuan itu istri Pak Walikota.
“Senang bisa kenalan dengan Bu Sovi,” kata Pak Walikota.
“Sama-sama, Pak,” jawab Sovi sopan.
“Bu Sovi masih ingat tidak? Waktu Bu Sovi menikah dengan Pak Bram, saya datang,” kata Pak Walikota.
Sovi diam saja, dia sendiri tak yakin apa dia ingat pernah bertemu
dengan Pak Walikota sebelumnya. Pak Walikota terus berusaha
memperpanjang pembicaraan, dengan menyebut bahwa dia kenal orangtua Sovi
dan Bram. Sovi hanya mengangguk-angguk.
“…saya sudah lama tidak ketemu bapak Bu Sovi. Tolong kasih tahu ya
kalau Bapak sedang ada di sini. Saya pingin ajak ngobrol dia,” pinta
Pak Walikota.
“Iya, Pak,” ujar Sovi singkat.
“Tapi saya sudah senang kok bisa ketemu lagi dengan putrinya. Tidak
sangka, ternyata cantik sekali. Bapak dan Ibu pasti bangga,” Pak
Walikota berusaha memuji.
Mang Enjup masuk ke dalam pembicaraan, membawa topik tender proyek
yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Pak Walikota dan Mang Enjup
membahas itu, sementara Sovi dan istri Pak Walikota jadi penonton. Lalu
beberapa orang lain datang mendekat.
“Hai… Pak Jupri mau nyolong start rupanya,” kata seorang laki-laki
bertubuh kecil, berkulit kuning, bermata sipit, yang datang dari
belakang Mang Enjup. Dia merangkul Mang Enjup dengan gaya sok akrab,
lalu menoleh ke Pak Walikota. Mang Enjup mengomentari orang baru itu.
“Hahaha… Koh Ahonk bisa aja. Kan tadi situ yang udah duluan
ngobrol. Siapa dong yang nyolong start?” Mang Enjup menyindir laki-laki
kecil itu, yang bernama Ahonk Sunargo, seorang pengusaha yang juga ikut
tender proyek.
Tapi selagi dua orang itu saling sindir, datang lagi seorang
laki-laki berjas biru yang mengabaikan keduanya dan langsung menjabat
tangan Pak Walikota.
“Selamat malam, Pak. Maaf saya baru datang. Biasa, gandengan saya
kelamaan dandan,” kata laki-laki berjas biru itu, yang lebih muda
daripada Mang Enjup dan Koh Ahonk.
“Saya dari tadi udah tanya-tanya, Majed ke mana. Rupanya nungguin
gandengan,” celetuk Pak Walikota menyambut laki-laki muda itu, yang
bernama Majed. Majed berpenampilan seperti orang asing, tubuhnya
jangkung, hidungnya mancung, wajahnya brewokan tapi ganteng. Kontras
dengan Mang Enjup yang sudah tua dan gemuk, atau Ahonk yang kurus kecil.
Dan Majed juga salah seorang peserta tender.
“Gandengannya ganti lagi, Jed?” komentar Pak Walikota melihat sosok
yang menggelayut di lengan Majed, seorang perempuan berkulit sawo
matang, tapi tidak tampak seperti pribumi. Tubuhnya berbentuk seperti
gitar Spanyol dengan dada besar, pinggang ramping, dan pinggul seksi.
Perempuan itu berbicara sedikit ke Majed. Celetukannya, berbahasa
Spanyol juga. Majed membisikkan sesuatu dan perempuan itu tertawa. Majed
memperkenalkan gandengannya itu.
“Kenalkan, Pak, ini Sabri. Lengkapnya Sabrina Iffa Almaraz. Latino
tapi masih ada keturunan Timur Tengah, kayak penyanyi itu, Shakira. Dia
dikirim sama kantor pusat di Amerika buat training setahun di kantor
cabang Indonesia, terus saya yang suruh handle.”
Majed memang mewakili perusahaan internasional yang juga bersaing
dengan perusahaan orangtua Sovi dan perusahaan Ahonk di tingkat lokal.
Penjelasan Majed mengenai asal-usul Sabri terkesan dibuat-buat, tapi Pak
Walikota tak memusingkan itu; dia sibuk memandangi rambut coklat
panjang dan mata kelabu-biru Sabri. Ahonk yang diserobot kesempatannya
oleh Majed tiba-tiba mengangkat telepon selulernya, memencet satu nomor,
lalu menelepon. Mang Enjup menguping pembicaraan singkat Ahonk.
“Ada di mana… Ayo sini cepet!” yang kemudian dilanjutkan beberapa patah kata bahasa Cina.
Tak lama kemudian muncullah seorang perempuan bertubuh langsing dan
berwajah menarik, ras oriental. Dia mengenakan baju sutra longgar dan
celana panjang, rambut hitamnya dikepang satu di belakang kepala dan
dihias jepit besar berbentuk anggrek. Ahonk memperkenalkannya kepada Pak
Walikota sebagai “asistennya yang baru”, Shena. Dengan kehadiran Shena,
jadilah Pak Walikota dirubung tiga laki-laki, juga tiga perempuan
cantik. Sovi, Sabri, dan Shena. Entah kapan, istri Pak Walikota sudah
tidak berada di samping suaminya, memilih untuk mengobrol dengan sesama
istri pejabat daripada harus menemani suaminya.
Sovi menyimak obrolan
Pak Walikota dengan Mang Enjup, Ahonk, dan Majed. Dia merasa perlu
terlibat dengan urusan proyek itu. Ditangkapnya berbagai hal yang
tersirat; bahwa ketiga orang itu sebelumnya bekerja sama melobi DPRD
sehingga menggolkan proyek besar yang akan ditender, namun sekarang
ketiga pihak akan melupakan kerjasama dan bersaing dalam tender.
Ketiganya sama-sama licin dalam berkata-kata, hampir tak pernah
keceplosan mengumbar maksud dan siasat di depan lawan-lawannya.
“Oke, keputusannya tiga hari lagi. Negosiasi Bolangnal dengan Anda
bertiga akan saya lakukan sehari sebelumnya. Nanti lokasi dan waktunya
akan diberitahu asisten saya,” Pak Walikota menutup pembicaraan dengan
mereka bertiga, lalu pamit untuk beralih mengobrol dengan tetamu lain.
Bu Walikota entah sudah ada di mana. Tiga laki-laki dan tiga perempuan
itu pun bubar.
“Neng, tadi ikut denger obrolan kita kan?” tanya Mang Enjup.
“Iya, Mang,” jawab Sovi.
“Perusahaan kita bakal bersaing dengan perusahaannya Pak Ahonk dan Pak Majed itu di tender.”
“Nah, Neng Sovi, Mang tuh sebenarnya pengen minta bantuan. Selama ini
Mang dan Bram sudah usaha keras supaya kita bisa menang. Sekarang
tinggal satu tahap lagi. Kalau pertandingan bola, kita udah masuk
Final. Tinggal gimana supaya kita menang juga di Final. Makanya… Bram
kan lagi tidak di sini, padahal masih ada satu negosiasi lagi sebelum
keputusan. Boleh tidak kalau Mang minta Neng Sovi bantuin Mang di
negosiasi terakhir itu?”
Mang Enjup mengatakan itu sambil menatap wajah Sovi dan tangannya
mengurut-urut lengan Sovi; tanda dia menggunakan sedikit keahlian
gendamnya. Sovi merasa sudah sewajarnya dia ikut terlibat, jadi dia pun
mengangguk setuju.
“Boleh Mang… Nanti Sovi bantuin sebisanya, apa aja, supaya perusahaan kita yang dapat proyeknya,” ujar Sovi.
“Hatur nuhun, geulis,” kata Mang Enjup.
“Nah, ini sudah malam. Mang mau pulang. Sovi mau pulang juga, atau
masih mau di sini?” Mang Enjup melepas pegangannya dari Sovi,
menghentikan upaya mempengaruhi.
“Emm…” Sovi memperhatikan sekelilingnya. Sebenarnya malam belum
larut, baru sekitar pukul 9, dan dia juga kesepian di rumah. Tadi dia
belum sempat ngobrol dengan Dr. Lorencia.
“Sovi belakangan aja deh, Mang.”
“Ya udah. Mang pulang dulu sama Reja, nanti Reja Mang suruh balik
lagi ke sini buat nganter pulang Neng Sovi. Danang mah biarin aja di
sini dulu.”
Mang Enjup kemudian meninggalkan rumah dinas walikota untuk pulang bersama Reja ke rumahnya sendiri yang tidak jauh dari sana.
Sovi kembali beredar dan melanjutkan obrolan dengan beberapa orang di
sana. Ada seorang temannya waktu kuliah yang hadir juga di sana,
mendampingi suaminya yang menjadi pejabat menengah setempat. Temannya
itu menanyakan Bram. Sovi bilang Bram sedang tugas kantor di luar kota.
Mereka mengobrol, memuaskan rasa kangen sesudah beberapa lama tak
bertemu. Di tempat lain, Danang memanfaatkan kesempatan mencicipi
berbagai suguhan, termasuk minuman keras, di pesta itu. Sekarang efek
alkohol dan membuat dia merasa gerah. Ditambah lagi, sedari tadi dia
menyaksikan bahwa sebenarnya banyak juga “pemandangan indah” di pesta
itu. Ada perempuan-perempuan muda dan cantik di antara para tetamu.
Di antaranya Sabri Almaraz yang dibawa Majed, dan Shena asisten
Ahonk. Dan tentunya Sovi. Tadi Danang sempat mengobrol dengan Dr.
Lorencia. Mereka berdua sudah kenal sebelumnya, karena Danang sering
ikut ke mana pun Mang Enjup pergi. Termasuk ketika beberapa waktu lalu
Mang Enjup meminta Dr. Loren menggarap kesadaran Sovi. Danang tahu
mengenai ilmu gendam Mang Enjup, bahkan dia pernah minta diajari, tapi
ternyata dia tidak berbakat. Makanya dia iri kepada Dr. Loren yang bisa
menyerap ilmu pamannya. Keduanya tadi mengobrol banyak, dan akhirnya
mereka jadi saling tahu pengalaman masing-masing dengan Sovi.
Danang
masih penasaran dengan Sovi. Kemarin dia kesal sekali waktu ikut datang
ke rumah Sovi tapi tidak terjadi apa-apa. Sekarang apalagi. Melihat
Sovi, ditambah efek alkohol, membuat Danang belingsatan menahan sange.
Danang sebenarnya pengecut, dia tidak berani mengapa-apakan Sovi kalau
sendirian. Tapi begitu tadi bertemu Dr. Loren dan berbagi cerita,
segera muncul rencana di kepalanya untuk bisa meniduri Sovi malam itu.
Dia tahu Dr. Loren juga berminat dengan Sovi. Jadi, begitu melihat Sovi
ditinggal Mang Enjup, Danang langsung mendekati Dr. Loren lagi. Keduanya
punya keinginan yang sama, jadi bisa bersepakat. Waktu Sovi terlihat
mendekati Dr. Loren, Danang menyingkir.
Sovi dan Dr. Loren mengobrol lagi, agak berbisik-bisik. Dr. Loren
menanyakan apakah Sovi masih ada masalah dengan traumanya. Sovi menjawab
sudah tidak ada masalah. Obrolan mereka tidak berlangsung lama karena
Dr. Loren bilang dia mau pulang, naik taksi. Sovi menanyakan alamat
rumah Dr. Loren; ternyata sama dengan tempat praktiknya. Karena arah
pulang mereka sejalan, Sovi menawari Dr. Loren pulang bareng. Dr. Loren
menyanggupi.
Sovi melihat Danang tidak jauh dari sana lalu memanggil
Danang, menanyakan apakah Reja sudah balik lagi dari mengantar Mang
Enjup. Danang menelepon sebentar lalu bilang Reja sudah ada di tempat
parkir lagi. Sesudah berpamitan dengan Pak Walikota dan orang-orang
lain, Sovi menuju pintu keluar diikuti Dr. Loren dan Danang yang saling
pandang sambil cengar-cengir. Tidak cuma Mang Enjup yang jago menjerat
orang—mereka berdua juga bisa.
AGEN POKER TERPERCAYA
Di depan pintu, Reja sudah menunggu dengan mobil Mang Enjup. Si sopir
membukakan pintu belakang untuk Sovi dan Dr. Loren, sedangkan Danang
duduk di kursi depan. Mobil segera bergerak meninggalkan rumah dinas
walikota. Sambil jalan, Dr. Loren melanjutkan obrolan dengan Sovi,
sementara Danang dan Reja diam saja. Mobil menuju rumah Dr. Loren. Tapi
Dr. Loren lantas bicara sambil tangannya menggenggam pergelangan tangan
Sovi.
“Sovi, aku pengen mampir ke rumahmu, boleh nggak?” Sambil mengatakan
itu Dr. Loren tiba-tiba menyentak halus tangan Sovi, satu teknik untuk
menjatuhkan sasaran ke dalam keadaan setengah terhipnotis.
“Iya… Boleh…” kata Sovi.
“Kita ke rumahku dulu deh…”
Danang menengok ke belakang dan nyengir. Reja mengarahkan mobil ke jalan menuju rumah Sovi.
*****
Singkat cerita, mereka semua tiba di rumah Sovi dan turun. Sovi masih
dalam keadaan setengah terhipnotis dan sama sekali tidak curiga akan
maksud Danang dan Dr. Loren. Tadi di mobil, Dr. Loren sudah memberi
sugesti,
“Kamu mau turuti semua yang kami suruh, kan?” dan Sovi menyanggupi.
Dan sejak di mobil Dr. Loren sudah mulai menggerayangi Sovi, mulai
dari meremas-remas paha, meraba leher, sampai mengulum telinga Sovi.
Sovi bereaksi dengan tertawa kegelian dan mendesah. Danang bolak-balik
menengok untuk curi pandang, tapi Dr. Loren selalu memelototinya kalau
dia ketahuan. Waktu mereka masuk rumah, Sovi sudah terangsang berat
gara-gara Dr. Loren. Keadaan itu, ditambah pengaruh hipnotis, membuat
dia mau saja disuruh menunjukkan kamar tidurnya. Dr. Loren menggiring
Sovi ke kamar tidur, diikuti Danang dan Reja. Dr. Loren menengok ke arah
dua laki-laki itu dan berkata,
“Aku duluan, dan jangan coba-coba ikutan. Sori, aku nggak suka
cowok. Kalau ada yang berani ikutan, bakal kuhipnotis jadi banci.
Silakan nonton tapi jangan ada yang macam-macam.”
Danang nyengir mendengar ancaman itu, tapi menganggapnya serius,
karena sudah melihat bagaimana Dr. Loren bisa membuat Sovi mengikuti
semua kata-katanya. Sovi duduk di pinggir tempat tidur, masih berkebaya
lengkap. Loren menyuruhnya membuka baju. Dengan patuh, Sovi membuka
kebaya, rok panjang, dan kembennya, sampai hanya tersisa celana dalam
G-string dan bra. Sementara itu Loren membuka-buka lemari pakaian Sovi,
mencari sesuatu.
“Sovi,” kata Dr. Loren,
“Merem.” Sovi menurut dan memejamkan mata.
Loren sudah mengambil beberapa syal dari dalam lemari, lalu
mengikatkan satu syal sehingga menutupi kedua mata Sovi. Loren lalu
mendorong Sovi sehingga Sovi rebah di tempat tidur. Kemudian Loren
mengikat kedua pergelangan tangan Sovi dengan syal lain. Loren tersenyum
dan menjilat bibir.
Loren kemudian membuka seluruh pakaiannya sampai telanjang, tanpa
peduli Danang dan Reja berdiri menonton di belakangnya. Dia lalu
berlutut di tempat tidur dan menyibak kedua paha Sovi. Loren membungkuk
ke depan, ujung-ujung jarinya menggerayangi leher Sovi. Dia bisa
merasakan nafas Sovi mulai memburu. Jemari Loren terus menyusuri sekujur
tubuh Sovi, tanpa menyentuh payudara Sovi. Lalu dengan cekatan Loren
mencopot kancing bra Sovi. Payudara Sovi tumpah keluar. Loren
menundukkan kepala, dan memasukkan satu puting Sovi ke mulutnya. Sovi
mengerang keenakan. Loren pindah ke payudara satunya sambil
mengelus-elus sekujur tubuh Sovi. Puting Sovi mulai mengeras.
Loren lalu beralih ke bagian bawah tubuh Sovi dan melepas celana
dalam Sovi. Sovi terus mendesah dan merintih, ingin lebih. Setelah
membuka celana dalam Sovi, Loren memperhatikan vagina Sovi yang sudah
basah. Loren memasukkan satu jari, kemudian dua jari ke sana. Sovi
bereaksi dengan menggerakkan panggulnya menanggapi colokan jari Loren.
Loren mencabut jemarinya dan mulai menciumi perut Sovi, makin lama makin
ke bawah.
Dia mencapai kemaluan Sovi dan mulai menjilati klitoris
Sovi. Sovi mulai tegang. Lidah Loren menjalar menyapu bibir kewanitaan
Sovi, kemudian keluar-masuk rekahannya. Makin lama suara Sovi makin
kencang. Dua jari Loren kembali masuk ke kemaluan Sovi yang becek. Sovi
tersentak dan menjerit kaget, diikuti tarikan nafas panjang yang
gemetar. Bibirnya tersenyum lebar.
“Mau diteruskan?” tanya Loren.
“Iya…” jawab Sovi.
Loren mencium Sovi, menghisap lembut bibir bawah Sovi.
“Baiklah, sayang,” kata Loren, sambil jari-jarinya beraksi di dalam vagina Sovi.
Loren merasakan kedua paha Sovi bergerak hendak merangkul tubuhnya,
dan pinggul Sovi bergerak menanggapi tusukan jarinya. Dengan lembut, ia
terus merangsang klitoris dan vagina Sovi. Nafas Sovi makin memburu
dan wajahnya memerah selagi dia mendekati orgasme. Akhirnya, Sovi
mencapai klimaks. Dia menahan nafas selagi sekujur tubuhnya bergetar,
kemudian mengeluarkan lolongan panjang tanda kenikmatan. “Oooo…. Eufhhh!!”
Dr. Lorencia mulai tak tahan, memandangi tubuh indah Sovi yang
menggelinjang karena nikmat di depannya. Dia mulai bermasturbasi,
menjolokkan jari ke dalam vaginanya sendiri, merangsang kewanitaannya
sampai basah. Kemudian dia bergerak sampai akhirnya berposisi
mengangkangi dada Sovi. Dr. Loren membuka penutup mata dan ikatan di
tangan Sovi, membisikkan perintah, lalu bergeser lagi, menyodorkan
klitorisnya ke mulut Sovi. Sovi langsung melakukan apa yang tadi
diperintahkan. Dia majukan kepalanya, dan melahap kemaluan Loren di
depannya, menyedot klitoris Loren.
“Mmmmm… yes… oh… ayo terus mainin lidahnya…” ujar Loren saat dia
mulai menggerakkan pinggulnya maju-mundur, mengentoti muka Sovi. Sovi
tidak peduli apa yang terjadi… rasa, bau, dan gesekan vagina Loren saja
yang penting baginya saat itu. Jari Sovi pun ikut main di sana. Sugesti
yang tadi Loren berikan membuatnya tidak canggung ketika bercinta
dengan sesama wanita.
“Aku… ah… sebentar lagi… oh… ohh…”
Dan, segera setelah berkata seperti itu, tubuh si psikolog cantik
mulai gemetar tak terkendali, makin cepat dan bergairah
menggesek-gesekkan selangkangannya ke mulut Sovi, seolah-olah mau
memastikan rasa kewanitaannya akan menempel terus di mulut Sovi sampai
berjam-jam ke depan. Ketika akhirnya mencapai klimaks, Loren melolong
dan mendesah, suaranya begitu bernafsu sampai-sampai Danang yang
menonton merinding mendengarnya.
Sovi pelan-pelan menjilati sisa-sisa
orgasme Loren (yang masih mengangkangi mukanya, biarpun nyaris ambruk
karena lemas) sampai bersih, membuat Loren terengah dan bergidik dengan
Sovip sapuan lidahnya. Loren akhirnya turun dari ranjang, lalu mencium
bibir Sovi dengan mesra. Dia tak menyangka percobaannya tadi dengan Sovi
berefek dahsyat kepada dirinya sendiri, dan dia puas dengan “mainan
baru”-nya. Sesudahnya, Dr. Loren menengok ke Danang dan Reja.
“Nih, silakan. Aku udah puas, sekarang aku mau pulang ya.”
Danang dan Reja sudah tidak peduli lagi dengan Dr. Lorencia.
Sovi—anak bos mereka—sudah ada di depan mereka dalam keadaan telanjang,
terhipnotis, dan terangsang. Kapan lagi dapat kesempatan seperti ini?
Tangan Danang langsung menjamah vagina Sovi. Dia usapkan jari tengah
sepanjang rekahannya, lalu dia tekuk jari itu dan celupkan ke dalam.
“Wuihh,” Danang berbisik di telinga Sovi, “Basah kuyup memeknya. Udah sange’ berat ya, Sovi?”
Sovi tidak menjawab; tapi jari Danang makin mudah bergerak di dalam
kemaluannya. Danang menjilati kuping Sovi dan membuat istri rekan
kerjanya itu makin tegang. Bibir luar vagina Sovi terentang ke luar
Sovip kali Danang menarik keluar jarinya, seolah-olah enggan melepaskan.
Nafas Sovi makin memburu, bibirnya mengeluarkan suara-suara merintih
kecil. Danang terus menjolok-jolokkan jarinya di vagina Sovi, sementara
tangan satunya membuka celananya sendiri. Dengan tak sabar Danang
memelorotkan celana dan celana dalamnya. Penisnya lepas dari kungkungan,
berdiri mencuat di tengah rambut kemaluannya yang lebat.
“Kamu lihat kan ini, Sovi? Doyan kontol kan sekarang? Sebentar lagi
ini bakal masuk ke memek kamu, Sovi. Punya Reja juga. Mulai sekarang
kamu lonte kami, Sovi. Memek kamu buat dimasukin titit semua orang.
Nggak cuma Bram,” kata Danang, seolah meniru cara Dr. Loren mensugesti
Sovi. “Nih, buktinya memek kamu becek. Lihat nih jari gue.” Danang
mencabut jari-jarinya dari vagina Sovi, mengendusnya, lalu memeperkan
cairan kewanitaan dari kemaluan Sovi yang menempel di sana ke pipi kanan
dan kiri Sovi.
Danang mengambil bantal dan menaruhnya di bawah pantat Sovi. Danang
lalu menggenggam penisnya dengan satu tangan dan menusukkannya ke lubang
Sovi yang menghadap ke depan-atas. Sovi tidak melawan sama sekali.
Kedua pahanya tetap mengangkang menyambut Danang. Kepala penis Danang
menghilang dari pandangan, memasuki liang kenikmatan Sovi. Sovi merintih
lembut dan menggerakkan pinggulnya, sehingga setengah batang Danang
masuk ke saluran cintanya. Danang membungkuk dengan bertumpu ke kedua
tangan di kiri-kanan tubuh Sovi, perlahan-lahan memasukkan seluruh
kejantanannya ke vagina Sovi.
“Wuehh… Masih tetep enak memek luh Ti… sempit!” komentar Danang. Dia
mulai bergerak keluar masuk beberapa kali. Penisnya basah terlumasi
cairan kewanitaan Sovi. Sovi membalas Sovip gerakan Danang. Dia
menggerakkan pinggulnya, menyodorkan kehormatannya, membuka pahanya
lebar-lebar agar Danang bisa mendorong sedalam mungkin.
“Sialan… rasanya enak banget,” Danang terus mencerocos. “Baru kali
ini gue ngerasain memek lonte sempit kayak gini! Gratisan lagi!” Dia
bergerak cepat untuk sejenak.
“Lu suka kan, Sov?” Danang bertanya dengan nada memaksa. “Ayo bilang!”
“Iyahh… aku suka dientoth…” kata Sovi yang tubuhnya terguncang-guncang menerima genjotan.
“Enak gak kontolnya?”
“Enaa…kh… entot terus…”
Sovi mengangkat kakinya memeluk tubuh Danang, lalu menggunakan
kakinya untuk membantu mendorong tubuh Danang. Danang menengok ke Reja.
“Mau ikutan nggak, Ja?” tanya Danang.
Reja mengangguk. Sementara Reja membuka sepatu, baju, dan celana,
Danang keluar dari vagina Sovi dan mengubah posisi tubuh Sovi. Sovi
ditarik dan ditelungkupkan sehingga bagian atas tubuhnya berbaring di
atas tempat tidur, sementara pantatnya menungging ke arah Danang dan
Reja. Kemaluannya terlihat dari belakang, merah dan basah. Danang
kembali mencolokkan satu jari ke sana.
“Lu mau dientot lagi, Sov?” tanya Danang.
“Sama Reja?”
“I… iya…” Sovi berkata sambil terengah. Jari Danang menggosok daerah sekitar klitorisnya.
“Minta dia ngentot kamu,” suruh Danang.
“A-aaahhh…” Sovi merajuk manja.
“Ayo, kalau nggak minta, kami cabut nih,” dorong Danang.
“…entot aku… Ja…”
“Yang keras! Yang jelas!”
“Entot aku… Reja, Danang… entotin aku… yah?” pinta Sovi.
“Bagus… Gitu emang harusnya lonte,” kata Danang melecehkan. “Sok
atuh, Ja, silakan dientot, dia udah minta.” Danang mencabut jarinya
dari vagina Sovi dan ganti menggerayangi pantat Sovi.
Reja mendekat, menggenggam penisnya yang sudah tegak. Danang berkomentar,
“Sialan, Ja, bikin iri aja barang lu.”
Tanpa banyak bicara si sopir itu menusuk kemaluan Sovi. Sovi masih
basah dan siap disetubuhi lagi. Reja mulai mendorongkan kejantanannya ke
dalam Sovi dari belakang, dorongan tubuhnya cukup kencang sehingga
membuat pantat dan payudara Sovi berguncang. Danang sudah pindahkan
tangannya ke muka Sovi, dan Sovi mengulum jari Danang yang beberapa saat
lalu ada dalam vaginanya. Danang duduk di tempat tidur dan memindahkan
tubuh atas Sovi ke pangkuannya, tepat di depan penisnya yang masih tegak
karena belum ejakulasi. Reja tetap di dalam Sovi selagi tubuh Sovi
berubah posisi, menggenggam pinggul Sovi.
“Ayo, Sovi, isep kontol gue. Emut tuh kontol gue…”
Sementara Reja mengentot Sovi dari belakang, Sovi mengulurkan tangan
dan menggenggam pangkal kemaluan Danang. Sovi menjulurkan kepalanya ke
depan dan memasukkan penis Danang ke mulutnya. Sovi mulai menggerakkan
kepalanya naik-turun batang Danang. Danang berbaring dan membiarkan Sovi
menggarap kemaluannya. Sovi tampak menikmati sekali: dia menyedot
kepalanya, sampai pipinya mengempot. Gerakannya kadang cepat, kadang
pelan menggoda.
“Ahh… Udah jago ya lu nyepong,” kata Danang.
“Terus. Pake lidahnya lagi. Anjrit… Bisa cepet keluar nih gua. Jangan berhenti. Gue mau keluar di dalem mulut lu.”
Danang menggertakkan giginya dan memejamkan mata.
“Nah… oohhh… udah mau…” Danang mencerocos,
“Udah mau! Keluarrr!…” Tubuhnya mulai menyentak. Dia mendorong
pinggulnya, memasukkan penisnya sejauh mungkin di dalam mulut Sovi. Sovi
mengeluarkan suara aneh, bunyi seperti meneguk minuman, dan kepalanya
mundur, sehingga cipratan mani Danang mendarat di mukanya. Danang
cepat-cepat mencengkeram belakang kepala Sovi dan menariknya kembali ke
batangnya. Sovi tidak melawan dan mengulum kembali batang yang sedang
menyemburkan isinya itu.
Terdengar suara menelan, tapi sebagian semburan
Danang tumpah keluar dan berleleran di bibirnya. Sovi mengisap kepala
penis Danang dan mengocok batangnya, mengosongkan isinya ke dalam mulut. Sovi merasakan Reja makin terangsang melihatnya mengisap ejakulasi
Danang, lalu kembali memperhatikan senjata tumpul keras yang begitu
nikmat membelah kemaluannya. Dia mendesak balik dorongan Reja,
menginginkan lebih.
“Lu isep crot nya si Reja juga, ya,” perintah Danang. Dia menarik
Sovi ke depan, sehingga terlepas dari penis Reja, lalu mendorong kepala
Sovi ke arah reja.
“Sono isep!”
Reja ikut duduk di tempat tidur. Sovi merayap ke pangkuan Reja,
payudaranya menekan paha Reja. Wajahnya masih belepotan cairan putih
Danang. Sovi memegang penis Reja dengan dua tangan—lebih panjang
daripada penis Danang yang panjangnya hanya segenggaman Sovi lebih
sedikit—dan mengocok batang yang basah karena cairan vagina itu.
Sovi
mengecup ujungnya, lalu mendorong mulutnya menyelubungi kepala penis
itu. Dia melepas genggamannya dan terus memasukkan batang panjang itu
sampai sedalam-dalamnya, sampai ujungnya menyentuh pangkal tenggorokan.
Jari-jari Sovi merangsang pangkal tebal batang Reja yang tak masuk ke
mulutnya. Bibir Sovi ketat menjepit penis Reja yang bergerak
keluar-masuk mulut.
Di dalam mulut, lidah Sovi lincah mengelus-elus dan bermain-main di
bagian bawah batang Reja. Sovi masih dalam keadaan akan mematuhi apapun
yang diperintahkan kepadanya, jadi ketika Danang menyuruhnya menyepong
Reja, dia pun berusaha sebaik mungkin. Dia hanya mengulum kepala burung
Reja, mengisapnya, sambil tangannya mengocoki batang Reja.
Kedua
tangannya bermain, tidak hanya di batang tapi juga di kantong biji,
memeras, menggelitik. Sovi sudah siap dengan apa yang akan terjadi.
Sperma Reja meletup keluar dari penisnya ke dalam mulut Sovi. Sovi
menelan dan terus mengocok. Reja menembak beberapa kali lagi dalam
mulut Sovi, dan semuanya disedot habis oleh Sovi.
Setelah Sovi melepas penis Reja yang melemas, Danang menyuruhnya
telentang dan merentangkan kedua lututnya. Danang kemudian mulai
melahap vagina Sovi, menjolokkan lidah ke dalam. Sovi mengerang dan
mencengkeram rambut Danang yang dicat merah, menekan kepala Danang ke
selangkangannya. Danang menjilat sepanjang bagian luar vagina Sovi,
menelusuri bibir-bibir yang basah dengan liur campur cairan cinta. Dia
menowel-nowel klitoris Sovi dengan ujung lidahnya. Mulutnya menutup
seluruh vagina Sovi, tapi dari cara Sovi menggeleng-gelengkan kepala,
jelas di dalam sana lidahnya bermain-main menggoda. Sovi merintih
nikmat tanpa henti, tubuhnya gemetar akibat lidah nakal Danang. Lalu
Danang berhenti. “Ohh… jangan…” keluh Sovi,
“terusin…”
“Terusin apa?” Danang bertanya, pura-pura bego.
“Sovi udah… dikit lagi…” pinta Sovi.
“Terusin… jilatin memek Sovi…”
“Apa? Nggak kedengeran,” goda Danang.
“…Jilatin… memek Sovi!” Sovi berkata lebih keras.
“Nggak ah,” tolak Danang. Sovi mengeluh,
“Aa~aahh…”
“Gue gak mau jilat lu, tapi gue mau ngentot lu. Tapi lu mesti minta!” perintah Danang. “Ayo minta!”
“ento… ia…”Gairah sex
“Apa?”
“Entotin Sovi…”
“Apa? Gak kedengeran!”
“ENTOTIN MEMEK SOVI DONG… PLIS… SOVI PENGEN BANGET NIH…!” Akhirnya
Sovi sampai berteriak, merendahkan dirinya sendiri demi kepuasan.
“Boleh aja,” kata Danang. “Tapi ada syaratnya! Lu mesti biarin gue dan Reja ngentot lu di bagian apa aja. Ngerti??”
“IYA!!… DUH… CEPETAN!!” Suara Sovi makin putus asa.
“Oke,” kata Danang sambil menengok ke Reja.
“Ayo barengan, Ja.”
“Sini, Sovi,” panggil Danang. Dia telentang di tempat tidur. “Naik
ke atas gue, terus lu masukin titit gue ke memek lu.” Sovi bergerak
menunggangi Danang. Danang menarik wajah Sovi dan menciumnya, lidah
mereka berdua saling jilat. Danang mengulurkan tangan dan meraih
senjatanya, lalu memasukkannya ke celah di selangkangan Sovi. Kepala
burungnya masuk di antara bibir vagina, dan pelan-pelan sisanya
menyusul.
Danang menyodok sedikit-sedikit, sementara Sovi mulai
menggoyang pinggul, memutar penis Danang, sambil membiarkannya terus
masuk. Akhirnya, batang Danang masuk semua. Lalu Sovi mulai
menggerakkan pinggulnya, bergerak naik turun dan memutar batang keras di
dalam kemaluannya, menari di pangkuan Danang. “Sekarang lu tusuk bokongnya, Ja,” kata Danang.
Pantat Sovi tepat di depan Reja, dan tangan-tangan Danang
mencengkeram sambil melebarkan kedua belahannya, memperlihatkan lubang
kecil di tengah.
“Lu suka kan,” Danang berbisik kepada Sovi.
“Awalnya sakit, tapi lama-lama enak.”
“Agghh,” Sovi mengeluh halus ketika jari Reja mencolok lubang
pantatnya. Danang menyuruh Sovi tidak melawan, dan meskipun masih
sempit, jari Reja bisa masuk sedikit demi sedikit sampai seluruhnya
masuk di sana. Reja kemudian memutar-mutar jarinya.
Setelah menyiapkan
lubang itu, Reja mencabut lagi jarinya dari dalam sana. Sovi tidak
bergerak selagi Danang terus menggenjot dari bawah dan merentangkan
kedua bongkahan pantatnya yang bahenol. Reja maju dan meletakkan kepala
burungnya di lubang belakang Sovi, lalu mendorongnya.
“Ahh…hh!!” pekik Sovi. “Gede… banget!!” Sovi mencoba menghindar,
tapi tidak bisa, bagian depannya sudah terpantek penis Danang, dan dari
belakang senjata Reja menusuk tajam.
*****
Di jalan…
Dr. Lorencia tersenyum-senyum sendiri dalam taksi yang sedang
membawanya pulang ke rumah. Dia sudah sukses membuat Sovi menjadi
perempuan binal hamba nafsu malam itu, dan memang itulah yang diinginkan
Mang Enjup. Tadi dia mendapat penjelasan lagi mengenai rencana Mang
Enjup, secara tidak langsung, ketika dia mengawasi gerak-gerik laki-laki
tua itu bersama Sovi di pesta. Dasar bajingan cabul, pikir Dr. Loren.
Anak bos sendiri akan dikorbankan…Tapi Dr. Loren tidak ambil pusing. Dia
menyentuh kemaluannya sendiri di balik pakaian, mengingat bagaimana
tadi Sovi memberikan kenikmatan kepadanya.
Andai saja dia lebih dulu kenal perempuan muda yang polos itu, dia
pasti tidak akan segan merebut Sovi dari suaminya dan menjadikannya
budak seksnya sendiri. Satu hal lagi yang dipikirkan Loren. Pengaruh
hipnotisnya punya batas waktu. Dan sekarang waktunya hampir habis.
Kalau Danang dan Reja sudah selesai sih tidak masalah, tapi apa jadinya
kalau Sovi sadar ketika sedang dicabuli dia laki-laki itu? Dr. Lorencia
tersenyum nakal. Entah Sovi akan memprotes dan melawan, atau terus
berperan sebagai pelacur murahan. Tiba-tiba dia ingin balik lagi melihat
apa yang terjadi. Tapi taksi sudah keburu mencapai rumahnya.
Reja mendorong maju lagi, terus makin dalam ke lubang pantat Sovi.
Reja merasa saluran itu mulai menyerah terhadap desakan kepala
burungnya.
“Auhh… Sakit!” Sovi memekik.
“Jangan… dimasukin… lagih! Ngga kuatt…! Sakii…tt!”
Sentakan rasa sakit itu juga membuat Sovi sadar dari keadaan
terhipnotis. Danang melihat perubahan di sinar mata Sovi, yang tadinya
sayu dan kosong kini terlihat seperti mendapat api-nya lagi. Sovi
tersadar. Dan dia mendapati dirinya telanjang, terjepit di antara dua
laki-laki dalam persetubuhan. Bukan dengan suaminya. Rasa nikmat campur
sakit dari depan dan belakang.
Refleksnya membuat dia meronta, tapi
Danang dan Reja memeganginya kuat-kuat. Dia menjerit, tapi jeritan
paniknya tercampur dengan jeritan nikmat ketika Danang mengemut
putingnya dan Reja menciumi bahunya. Pikiran Sovi kacau karena tidak
menyangka tiba-tiba berada dalam keadaan seperti itu. Dan di dalam
kepalanya, seperti terus bergema suara yang menyuruh dia menyerah saja
dan menikmati keadaan. Menyuruh dia mengerti bahwa dia sebenarnya wanita
jalang yang haus kenikmatan.
Jeritan dan gerakan Sovi yang baru sadar
disalahartikan oleh Danang dan Reja, mereka kira perempuan muda itu
makin terangsang. Akibatnya makin hebat saja gempuran mereka terhadap
Sovi. Reja sudah memasukkan setengah penisnya.
Lingkaran otot dubur Sovi mencengkeram erat di sekitar batang penis
Reja yang mendesaknya. Reja memundurkan pinggul, menarik batangnya
sampai batas kepala, dan mendorong maju lagi, lebih dalam daripada
sebelumnya. Kali ini batangnya masuk dengan lebih mudah, biarpun saluran
belakang Sovi sangat sempit dan lebih melawan daripada vaginanya.
“Ah… gede banget…” keluh Sovi. Dia belum sepenuhnya menguasai diri, kepalanya masih terlanda birahi membara.
“ Reja mundur lagi sedikit lalu mendorong sisanya ke dalam dubur Sovi. Sovi meringis, kepalanya ambruk ke dada Danang.
“Yahh…!” Sovi meringis.
“Sakit… ahh….! Jangan… didorong… lagi!”
Reja diam beberapa saat, menikmati jepitan tabung pengeluaran Sovi
terhadap batang yang sudah dia susupkan seluruhnya ke dalam. Kemudian
dia menggenjot pelan-pelan. Tubuh Sovi mulai merasa lebih nyaman, tapi
perasaannya tetap ingin berontak. Danang juga mulai bergerak lagi,
seirama dengan Reja, masuk, keluar, masuk, keluar kedua lubang Sovi.
Sovi hanya bisa menggelinjang dan mengeluarkan bunyi-bunyi tak jelas.
“Gimana Sovi. Enak kan sekarang?” tanya Danang.
“Iyahh… mendingan… ayoh… lagi,” Sovi menjawab sekaligus meminta.
Danang dan Reja menggenjot dengan penuh semangat. Sovi membalasnya dengan mengeluarkan suara-suara penuh nafsu.
“Yahh… ah… iya… ah… oh… enak banget… Oh… OH!… Sodok terus… Terus!”
Sovi terjepit di antara dua laki-laki, menggelepar, menerima sodokan
keras dan kencang dari dua arah. Dia makin bergairah dengan Sovip
gerakan. Dan dia sadar sepenuhnya apa yang dia alami. Dia sedang
bersetubuh dengan dua laki-laki yang bukan suaminya. Tapi dia tak
peduli.
Yang menguasai kepalanya adalah keinginan untuk mencapai
orgasme, untuk mencapai kenikmatan badan. Dan biarpun Bram baru pergi
satu hari, tubuhnya sudah tak kuat menahan. Maka dia tidak pedulikan
kalau yang menyetubuhinya bukan orang yang berhak. Sejak di pesta pun
Sovi sudah resah, karena dia menyadari bagaimana sebagian tamu
memandangi dirinya penuh nafsu. Dia tahu di kepala mereka yang ada
justru keinginan untuk menindihnya, merobek paksa bajunya, menggagahinya. Ditambah lagi, Mang Enjup berkali-kali mencolek
tubuhnya, terutama di bagian pantat. Dan dia malah merasa senang
dilecehkan seperti itu.
Sovi membungkuk, merapatkan tubuh memeluk Danang. Reja mendorong
dari belakang, penisnya masuk semua ke lubang pantat. Disertai
teriakan, Sovi mengalami klimaks. Tubuhnya tersentak-sentak di tengah
kedua laki-laki yang menghimpitnya.
“Ohhh…” Sovi meringis dengan wajah menempel ke dada Danang.
“Auhh… enak banget… unghh…” Sovi terbenam dalam kenikmatan, mulutnya
mengeluarkan suara-suara penuh nafsu, dan saluran-salurannya menjepit
kedua kejantanan di dalam tubuh. Reja juga merasa akan klimaks sebentar
lagi, dia menghantam makin kencang keluar-masuk, mendorong
sedalam-dalamnya kemudian menariknya keluar lagi. Sementara itu,
ekspresi Danang berubah seperti menahan sakit dan tanpa banyak cingcong
dia berejakulasi di dalam vagina Sovi. Disusul Reja yang menghunjamkan
penisnya dalam-dalam dan melepas pejunya ke dalam pantat Sovi.
*****
Sesudahnya, Danang dan Reja pulang begitu saja, meninggalkan Sovi
yang menggeletak ternoda di atas tempat tidurnya sendiri. Danang dan
Reja menyangka mereka meninggalkan Sovi dalam kondisi masih terhipnotis,
padahal sebenarnya tidak. Sovi meringkuk di tempat tidurnya… tersenyum
merasakan cairan kelelakian Danang dan Reja di dalam rongga-rongga
tubuhnya, mengingat orgasme dahsyat yang dia dapat, mengingat betapa
bernafsunya kedua laki-laki tadi. Entah kenapa, dia tidak lagi merasa
bersalah seperti sesudah disetubuhi aparat sesudah kena ciduk. Sesuatu
di dalam kepalanya—sugesti yang ditanamkan Dr. Lorencia—membuat dia
merasa apa yang dia lakukan wajar saja. Peduli amat dengan statusnya
sebagai istri Bram. Yang dipentingkannya hanya kenikmatan badan.
SeSovip hari. Dari Bram suaminya, atau dari siapapun.
Sovi terjerumus makin dalam…
No comments:
Post a Comment