AGEN POKER
Cerita Dewasa / Cerita Sex / Cerita ABG / Cerita Dewasa Hot / Cerita Dewasa SMA / Kumpulan Cerita Dewasa
Beberapa hari Setelah menemukan foto PSK di HP suaminya, Sovi
memutuskan untuk mencoba ganti penampilan jadi lebih seksi supaya
suaminya, Bram, tak lagi perlu jajan. Setelah percobaan pertama, Sovi
mulai rutin mengubah penampilannya demi Bram, tapi dia masih belum
terbiasa. Suatu hari, ketika Bram pulang diantarkan rekan-rekan kerjanya Sovi bertengkar dengan suaminya, Bram, setelah menemukan foto PSK di
HP Bram. Atas saran Citra kakak iparnya, Sovi mencoba mengubah
penampilannya menjadi seperti yang disukai Bram… menjadi lebih seksi dan
binal. Rupanya cara itu berhasil. Sepertinya kehidupan Sovi dan Bram
akan berubah…
Tapi kalau segalanya berjalan lancar-lancar saja, kurang seru ‘kan?
*****
Sudah dua minggu berlalu sejak Sovi pertama kali mencoba berdandan
sensual untuk suaminya. Sudah beberapa kali juga mereka coba mengulang
role-playing. Awalnya Bram memang suka. Tapi setelah yang ketiga-empat
kali, Bram menyadari bahwa Sovi masih takut-takut menjalani perannya.
Tidak heran. Mustahil mengubah sifat ‘anak baik’ Sovi yang sudah berakar
sejak kecil.
Sovi tidak punya pengalaman berperilaku genit dan nakal
seperti pelacur-pelacur langganan Bram. Itu bikin Bram agak kecewa.
Selain itu, setelah pengalaman pertamanya di-anal oleh Bram, Sovi kapok.
Sakit, katanya; dia merasa nyeri selama sehari sesudahnya. Padahal Bram
ingin melakukannya lagi. Itu bikin Bram tambah kecewa. Tapi Sovi belum
tahu tentang kekecewaan Bram. Dia sendiri mengira Bram sudah puas,
karena dia merasakan sendiri bahwa Bram makin bergairah. Sovi pun jadi
jauh lebih sering terpuaskan. Buat Sovi, rumahtangga mereka berdua
terasa semakin mesra. Sovi tidak keberatan biarpun harus tambah repot
demi Bram.
*****
Suatu malam…
Menjelang tengah malam di rumah Bram dan Sovi. Bram belum pulang;
tapi sore sebelumnya dia sudah mengontak Sovi, meminta Sovi
‘bersiap-siap’. Sovi tahu apa artinya itu, jadi sebelumnya Sovi mampir
ke salon milik Citra dulu. Citra yang sebelumnya sudah janji mau terus
membantu Sovi dengan senang hati merias Sovi. Persis seperti pertama
kali. Sovi kembali menunggu Bram dengan sabar di rumah. Malam itu Sovi
memilih mengenakan gaun tidur sutra tipis pendek berwarna hijau, tanpa
bra. Sovi mendengar bunyi mobil masuk garasi. Lalu suara langkah orang
mendekati pintu. Suaminya tersayang sudah datang…Pintu terbuka.
“Puuunten.”
Ternyata bukan cuma Bram yang datang. Sovi tertegun melihat empat
orang yang ada di depan pintunya. Bram ada, tapi dalam keadaan tak sadar
dan dipapah dua orang. Sedangkan yang memberi salam dalam bahasa daerah
tadi adalah seorang laki-laki tua botak berperut buncit.
“Mang Enjup?” tanya Sovi.
“Euleuh-euleuh, Neng Sovi… Apa kabar? Ini, tadi kita habis ketemu
klien, si Aden Bram kebanyakan minum, sampai mabuk berat terusnya
ketiduran,” jawab si laki-laki tua.
Laki-laki tua itu nyengir memperlihatkan sebaris gigi menguning.
Namanya Jupri, tapi Sovi mengenalnya sebagai “Mang Enjup”, orang
sekampung orangtuanya yang sudah bekerja untuk orangtuanya sejak awal
mereka memulai usaha. Mang Enjup awalnya pesuruh, tapi lama-lama bapak
Sovi mendapati bahwa bawahannya itu pintar membujuk dan meyakinkan
orang, sehingga karier Mang Enjup pun lancar sebagai juru runding
perusahaan. Di perusahaan keluarga mereka, Mang Enjup kini menempati
jabatan manajer; Bram ditempatkan sebagai bawahannya, dengan harapan
bisa menyerap ilmu Mang Enjup untuk kariernya kelak di posisi lebih
tinggi. Maka itu Bram sering mendampingi Mang Enjup, menemui rekan
bisnis dan ikut bernegosiasi.
“Baik, Mang. Aduh, maaf kalo Bram ngerepotin Mang. Ayo, masuk dulu.”
Mang Enjup kenal baik dengan keluarga Sovi dan Bram sejak lama, sejak
keduanya masih kecil. Waktu kecil, Sovi senang bermain-main dengan Mang
Enjup yang lucu dan suka menggendong-gendongnya. Tapi setelah Sovi agak
besar, orangtuanya sempat melarang dia bermain dengan Mang Enjup. Waktu
itu Sovi sedih, tapi tak lama kemudian dia lupa karena sudah akrab
dengan teman-teman sekolahnya. Mang Enjup sendiri tak pernah jauh dari
Sovi karena dia terus bekerja sebagai bawahan orangtua Sovi. Bram yang
ketiduran dipapah oleh dua orang bawahan Mang Enjup: asistennya, Bonang,
dan supir merangkap pengawalnya, Bondan.
Bonang bertubuh sedang, berkulit gelap dengan muka jerawatan. Biarpun
pekerjaannya kantoran, tapi Bonang lebih sering berpenampilan urakan.
Rambutnya yang agak gondrong dicat kemerahan, walaupun dia tidak jadi
tambah keren karenanya. Dia keponakan Mang Enjup yang sebelumnya
nganggur dan disuruh ikut pamannya supaya belajar kerja, tapi sebenarnya
dia tidak punya keahlian selain menghabiskan duit. Sementara Bondan
mantan prajurit yang dipecat karena indisipliner, dan selanjutnya
bekerja sebagai bodyguard plus supir Mang Enjup.
Penampilannya masih
khas tentara dengan rambut cepak dan badan berotot—ditambah bekas luka
sabetan pisau di pipi kirinya, peninggalan perkelahian dengan sesama
prajurit yang membuat dia dipecat. Bondan dan Bonang membawa Bram ke
dekat sofa, lalu pelan-pelan menaruh Bram di sofa. Sovi mencoba
membangunkan Bram, tapi suaminya itu malah ngorok keras, menyemburkan
hawa beralkohol dari mulutnya.
“Mas Bram, kubilang juga apa, Mas tuh nggak kuat minum…” kata Sovi
kepada Bram yang tentu saja tidak menjawab. Sovi menyadari Bram bakal
tertidur sampai besok pagi, jadi dia beralih ke tamu-tamunya.
Tanpa dipersilakan, Mang Enjup sudah duduk di salah satu kursi tamu.
Dia menghela nafas lega ketika bisa mendesakkan pantatnya yang besar di
sofa.
“Mau minum dulu, Mang?” sapa Sovi, berbasa-basi.
“Jangan repot-repot, Neng. Mamang juga sebentar lagi pulang. Udah malam.”
“Nggak apa-apa, Mang, sebentar aja Sovi bikinin. Kopi?”
“Boleh, boleh.”
Sovi tersenyum, lalu meninggalkan ruang tamu. Mang Enjup
memperhatikan Sovi dengan penuh minat. Salah satu penyebab orangtua Sovi
dulu sempat melarang Sovi terlalu dekat dengan pegawai mereka itu,
adalah karena mereka tahu sifat Mang Enjup yang ‘cunihin’. Mereka takut
Sovi jadi mangsa kebiasaan buruk Mang Enjup yang suka bergenit-genit
dengan perempuan.
Di satu sisi, gaya bergaul Mang Enjup yang supel dan
cepat akrab sangat memudahkan dia malang-melintang di ajang bisnis. Di
sisi lain, sifat itu juga membuat Mang Enjup bereputasi agak jelek di
perusahaan. Sudah agak lama Mang Enjup tidak bertemu Sovi, walaupun Bram
sudah jadi bawahannya cukup lama. Mang Enjup juga biasanya mengenal
Sovi yang berpenampilan sederhana, polos, dan baik-baik. Jadi, ketika
yang membuka pintu rumah Bram tadi adalah perempuan bermake-up tebal
dengan baju seksi, Mang Enjup sempat heran sebelum menyadari bahwa itu
Sovi.
Rasa penasarannya berlanjut. Selain itu…Sovi kembali dari dapur
membawa tiga cangkir kopi di atas nampan untuk tamu-tamunya. Mang Enjup
memperhatikan anak bosnya itu. Hampir tumpah liurnya melihat bentuk
tubuh Sovi yang samar-samar terlihat di balik gaun malam sutra yang
dipakai Sovi. Matanya tak melewatkan kesempatan mengintip belahan dada
Sovi ketika Sovi membungkuk untuk menaruh cangkir kopi di depannya. Sovi
lalu duduk menemani Mang Enjup, mengobrol ringan mengenai Bram dan
perusahaan. Mang Enjup tidak henti-hentinya memuji-muji orangtua Sovi
dan Bram yang berhasil mengembangkan bisnis bersama menjadi cukup maju.
“Omong-omong,” celetuk Mang Enjup sambil tersenyum lebar, memandangi
wajah Sovi, “meni geulis pisan Neng Sovi ini malam. Apa baru pulang dari
kondangan?”
“Ah, si Mang bisa aja,” Sovi tersipu,
“Enggak ada apa-apa, Mang, ini sih… buat suami aja.” Mukanya memerah.
“Euleuh-euleuh…. Buat si Aden? Baguuusss… Itu baru namanyah istri
yang baik, mau dandan secantik-cantiknya buat suami. Jangan kayak si
Kokom sama si Lilis, boro-boro mau dandan buat Mang, kerjanya di rumah
cuma molor sama ngomel.” Kokom dan Lilis adalah istri tua dan istri muda
Mang Enjup, keduanya tinggal di kota asalnya, di rumah yang berbeda.
Mang Enjup sendiri tidak memperhatikan istri-istrinya karena dia
sendiri punya banyak selingkuhan: karyawati bawahannya, klien, rekanan,
dan lain-lain. Tapi begitu dia melihat Sovi, anak bosnya yang sudah dia
kenal sejak kecil, yang sedang berpenampilan seksi ‘demi suami’, semua
perempuan itu tersingkir dari kepala Mang Enjup. Bukan tanpa alasan dulu
dia berakrab-akrab dengan Sovi kecil. Sovi sudah diincarnya sejak lama.
Tapi lalu Sovi menikah dengan Bram. Biar begitu, Mang Enjup orang yang
tidak suka melewatkan kesempatan. Bram sedang teler. Sovi ada di
depannya…
“Ah, tapi si Aden ketiduran gitu, Neng? Kasihan, sudah dandan
cantik-cantik, eeh malah ditinggal tidur. Kumaha atuh, Neng?” sindir
Mang Enjup, sambil terus memperhatikan wajah Sovi.
Sovi melengos.
“Yah… ya udah, nggak pa-pa, tinggal cuci muka terus tidur.”
Mang Enjup bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke arah Sovi. Sovi
tidak beranjak. Dia merasa tidak perlu bereaksi. Mang Enjup duduk di
sofa, di samping Sovi; lengannya merangkul pundak Sovi.
“Sayang atuh. Gimana kalau sama Mang saja?” Sovi tidak mampu menolak kata-kata Mang Enjup.
Selain keluwesannya dalam bergaul, yang membuat Mang Enjup sangat
hebat dalam mempengaruhi orang juga adalah semacam aji-ajian ilmu gendam
yang dikuasainya.
Ilmu itu mirip dengan hipnotis tingkat tinggi. Kalau
sudah bisa menguasai pandangan dan perhaSovin sasarannya, Mang Enjup
bisa membuat pertahanan mental sasarannya runtuh dengan menghilangkan
rasa curiga dan tak percaya. Selanjutnya, sasaran ilmunya akan menurut
saja kepada semua kata Mang Enjup. Biasanya Mang Enjup baru akan
menggunakan gendam kalau cara biasa sudah buntu, dan hanya untuk
kasus-kasus yang “harus menang”. Itu untuk pekerjaan utamanya sebagai
negosiator, dan dia jarang sekali harus perlu melakukannya; Mang Enjup
cukup jago bersilat lidah dan melobi, sehingga dengan mengajak klien
atau rekanan pelesir ke tempat hiburan, dan membayari ongkos makan +
minum + cewek, urusan bisa beres.
Tapi untuk urusan pribadi, Mang Enjup tidak segan-segan menggunakan
ilmu gendamnya. Apalagi untuk yang satu ini. Ketika perempuan yang dia
incar bertahun-tahun sudah di depan mata. Sejak Sovi membawakan kopi,
Mang Enjup sudah melancarkan serangan. Sambil ngobrol, dia terus
memandangi mata Sovi, menguasai perhaSovin dan mengendorkan konsentrasi
Sovi. Ketika tadi dia bangun dan pindah duduk ke sebelah Sovi, Sovi
sudah jatuh ke tangannya, makanya Sovi tidak bergerak. Kesadaran Sovi
sudah digenggam Mang Enjup. Sekarang Sovi ada dalam rangkulan Mang
Enjup, tatapannya kosong. Mang Enjup tersenyum penuh kemenangan. Kedua
bawahannya, Bonang dan Bondan, duduk diam sambil menyeruput kopi
masing-masing, tidak berani berbuat apapun.
“Heheheheheh,” Mang Enjup terkekeh. Tangannya mulai beraksi mengelus-elus leher Sovi, bahu Sovi, terus ke pinggang dan paha.
Mang Enjup tersenyum lebar ketika menyadari Sovi tidak pakai celana
dalam. Sebelumnya, dia sudah melihat bahwa Sovi tidak memakai beha
ketika mengintip belahan dada Sovi yang tampak waktu Sovi menyuguhkan
kopi tadi. Sungguh senang dia melihat Sovi kecil yang dulu
digendong-gendong dan dipangku-pangkunya (dengan niat tersembunyi,
tentunya) sekarang tumbuh jadi perempuan cantik yang bertubuh lumayan
bagus, dan entah kenapa, gaya berdandannya di rumah mirip kupu-kupu
malam.
“Sovi. Bisa jawab pertanyaan Mamang?” kata Mang Enjup sambil mengelus-elus paha Sovi.
“Bisa,” suara Sovi datar, tanpa ekspresi.
“Sedang apa kamu tadi, Sovi?”
“Aku nunggu Mas Bram pulang.”
“Kamu pakai apa sekarang, Sovi?”
“Sekarang aku cuma pakai gaun malam pendek, yang dulu dibelikan Mas Bram.”
“Terus apa lagi?”
“Nggak pakai apa-apa lagi.”
“Kamu pakai beha? Celana dalam?”
“Nggak. Aku nggak pakai beha, nggak pakai celana dalam…”
“Begitu. Terus. Ada apa dengan mukamu?”
“Tadi aku ke salon Kak Citra. Minta didandani seperti kemarin-kemarin.”
“Didandani… seperti gimana, Sovi?”
“Yang lengkap… tebal, menor, seperti dandanan Kak Citra.”
Mang Enjup juga ingat Citra. Dia tersenyum sendiri mengingat-ingat
masa lalu. Kemudian dia melanjutkan interogasi. Sekarang satu tangannya
mulai menjamah ke balik gaun tipis Sovi. Ditemukannya kemaluan Sovi, dan
mulailah dia mengelus-elus bagian luarnya.
“Coba lihat mukamu Sovi… bedak tebal, lipstik merah… bajumu juga seperti itu. Kenapa kamu dandan seperti ini, Sovi?”
“Buat Mas Bram…”
“Kenapa?” Mang Enjup menemukan klitoris Sovi dan mulai menjepit-jepitnya di sela jari. Sovi mendesah tertahan.
“Hahh… karena… saran Kak Citra. Aku mesti jadi seperti yang Bram suka, katanya.”
“Bram suka yang seperti ini? Apa dia minta?”
“Tidak… tapi aku lihat foto-foto di HP-nya… foto wanita panggilan…
dandanan mereka seperti itu… ehh… ah…” Mang Enjup menjolokkan satu
jarinya ke celah kewanitaan Sovi. Sementara itu, Mang Enjup juga
menjilati tengkuk Sovi, sehingga Sovi mulai terangsang.
“Terus gimana Sovi… Bram suka?”
“Bram suka…”
“Kamu sendiri?”
Sovi terdiam, tidak menjawab. Mang Enjup sekarang sudah memasukkan
dua jarinya, dan mulai mengobel vagina Sovi, sambil mencubit-cubit
klitoris Sovi. Daerah yang dijelajahi jari Mang Enjup mulai terasa
basah.
“Ayo jawab Sovi… Jawab yang jujur.”
“Aku… ah!” Sovi mengerang sedikit setelah Mang Enjup mencubit itilnya agak keras, lalu melanjutkan,
“…malu…”
“Kenapa malu, Sovi?”
“Malu… soalnya harus berpakaian dan berdandan seperti ini… Seperti
pelacur yang jual diri… nggak biasa… rasanya bukan seperti aku… aku
bukan perempuan murahan…”
Mang Enjup terus menggerayangi tubuh Sovi, meremas payudara Sovi,
menjilati tengkuk Sovi. Sovi tersandar tak berdaya pada badan Mang
Enjup, matanya kosong, bibirnya terus mengeluarkan erangan dan desahan
kenikmatan. Dari pengakuan Sovi, Mang Enjup tahu apa alasan dia bergaya
seperti pelacur. Muncul satu ide di kepala Mang Enjup.
“Kenapa harus malu, Sovi?”
“Soalnya…”
“Dengar kata-kata Mang sesudah ini, Sovi. Dengar dan ikuti untuk seterusnya. Ngerti?”
“Mengerti…”
“Kamu tahu seperti apa penampilanmu sekarang, Sovi?”
“Tahu…”
“Seperti apa?”
“Seperti pelacur… seperti perempuan murahan…”
“Tapi kamu nggak suka, kan?”
“Iya… aku nggak suka… tapi demi Bram.”
“Salah, Sovi.”
“Salah…?”
“Kamu salah, Sovi. Kamu sebenarnya diam-diam suka berpenampilan
seperti itu. Kamu sebenarnya suka berdandan secantik-cantiknya,
seseksi-seksinya. Iya kan, Sovi?”
“Iya…”
Mang Enjup nyengir. Lebar sekali. Lalu dia melanjutkan membisikkan sugestinya ke telinga Sovi.
“Kamu harus sadar, Sovi. Kamu harus sadar kamu itu seksi, dan diam-diam kamu mau dikagumi. Iya kan, Sovi?”
“Iya…”
“Mulai sekarang, kamu suka berdandan seksi. Ulangi.”
“Mulai sekarang, aku suka berdandan seksi.”
“Mulai sekarang, kamu ingin menggoda semua laki-laki. Ulangi.”
“Mulai sekarang, aku ingin menggoda semua laki-laki.”
“Bagus, Sovi. Jangan pernah lupa yang kamu bilang tadi. Ngerti?”
“Mengerti.”
Mang Enjup menengok ke arah Bram yang masih ngorok di atas sofa, dan
tidak tahu kehidupan istrinya sedang diubah untuk seterusnya. Sambil
terus menjamah seluruh tubuh Sovi, Mang Enjup membisikkan berbagai
sugesti ke telinga Sovi. Sementara itu, sentuhan demi sentuhan Mang
Enjup membuat tubuh Sovi makin tak mampu menahan gelora nafsu.
“Ahh… ah… ah! Ahnggg!!”
Terdengar erangan panjang Sovi, mengiringi orgasme pertamanya malam itu di tangan Mang Enjup.
“Bagaimana rasanya yang tadi Sovi?”
“Hahh… enak sekali Mang…”
“Sekarang giliran kamu bikin enak Mang. Ayo sini Sovi, Mang pangku.”
Sovi menurut, berdiri, lalu duduk di pangkuan Mang Enjup. Bokongnya
bersandar di perut gendut Mang Enjup. Burung Mang Enjup yang mengeras di
balik celana tergencet belahan pantat Sovi. Mang Enjup menyibak rambut
panjang Sovi ke depan, sehingga lidahnya tak terhalang ketika
menjelajahi punggung Sovi.
Kedua tangannya memegang pinggang Sovi dan
menggerak-gerakkan tubuh Sovi maju-mundur, sehingga bokong Sovi jadi
mengelus-elus ereksinya. Lalu Mang Enjup menggeser Sovi ke depan supaya
dia bisa membuka resleting celana, membebaskan kejantanannya. Penis Mang
Enjup tak terlalu besar dan nyaris tenggelam di bawah perutnya yang
gendut, tapi sekarang tegak dan keras setelah menikmati sentuhan bokong
Sovi.
Mang Enjup merogoh ke arah kemaluan Sovi, merangsang vagina Sovi
lagi. Sovi mulai keenakan, dan menyandarkan diri ke perut dan dada Mang
Enjup; Mang Enjup terus menjilati dan menggigiti telinga, tengkuk, dan
pundak Sovi.
Mang Enjup tersenyum jahat. Sovi, anak bosnya, yang sudah diincarnya
sejak kecil, sekarang sudah ada di tangannya. Dulu, ketika memangku Sovi
yang masih anak-anak, dia sudah membayangkan memerawani Sovi, merebut
kehormatan gadis kecil yang dipangkunya, membuat Sovi jadi wanita
dewasa. Tentu saja, Sovi kecil belum tahu bahwa Mang Enjup yang ramah
dan lucu itu selalu konak bila memangku atau menggendongnya. Sekarang,
Sovi yang sudah besar, sudah bahenol, kembali ada di pangkuannya.
Setelah bertahun-tahun menunggu dan berencana. Sayang Bram sudah
menduluinya membobol keperawanan Sovi. Tapi yang penting sekarang Sovi
sudah di tangannya…
“Nah, Neng Sovi, sekarang Mang mau masuk…”
Setelah merentangkan kedua paha Sovi, Mang Enjup mendorong kepala
burungnya masuk ke vagina Sovi. Sovi meringis sedikit; Mang Enjup
sendiri langsung kelabakan, tidak siap menghadapi ketatnya himpitan
dinding dalam vagina Sovi.
“Addeuhhh… Neng! Sempit amat inih!”
Mang Enjup amat puas, bisa melakukan sesuatu yang sudah diimpikannya
bertahun-tahun. Dia tak buang-buang waktu dengan segera menggenjot Sovi.
Tapi sayang, fisiknya yang sudah tua tak mendukung…
“Uuuh… !! Anjing siah!“
Mang Enjup memaki-maki karena burungnya terlalu cepat ejakulasi.
Impiannya bertahun-tahun untuk menyetubuhi Sovi terwujud… dan berakhir
setelah beberapa menit saja dengan tumpahnya cairan putih di dalam
vagina Sovi. Tak lama kemudian penisnya melembek dan menciut. Tapi Sovi
malah belum berhenti bergerak, pinggulnya terus geal-geol seperti penari
jaipong di pangkuan Mang Enjup.
Meski Sovi masih di pangkuannya, burung Mang Enjup belum bangun lagi.
Maklumlah, dia sudah tua, dan belum lama ini ahli pengobatan
tradisional spesialis kejantanan langganan Mang Enjup meninggal dunia
sehingga andalan Mang Enjup itu tidak lagi selalu siap bertempur. Ingin
ronde dua pun Mang Enjup harus menunggu lama. Sementara Sovi di
pangkuannya belum puas.
“Aahmm… mau lagi dong…”
“Hehehe…” Mang Enjup terkekeh mendengar permintaan manja Sovi tadi.
Sovi masih dalam pengaruh hipnotisnya… dan masih akan mendengar
kata-katanya. Dia memutuskan untuk menjerumuskan Sovi lebih lanjut.
“Mau apa, Sovi?”
“Mau… dientot lagi…”
Mang Enjup menoleh ke arah Bonang dan Bondan. Kedua anak buahnya itu
terlihat melongo setelah menonton adegan saru langsung di depan mereka.
“Bonang!” seru Mang Enjup. Yang dipanggil tersentak dari keadaan mupeng.
“HP kamu bisa rekam video kan? Ayo keluarin.”
AGEN POKER TERPERCAYA
Bonang nyengir dan langsung ngerti apa maksud atasan merangkap
pamannya itu. Segera dia keluarkan ponsel miliknya dengan fungsi perekam
video yang sudah beberapa kali memberi kontribusi 3gp kepada ajang
video saru amatir di internet. Mang Enjup mendorong pelan Sovi dari
pangkuannya, lalu membuat Sovi berlutut di lantai. Kemudian dia berdiri,
mengambil HP Bonang, dan menyuruh Bonang serta Bondan mendekat.
gairahsex.com Bonang dan Bondan berdiri di depan Sovi yang bersimpuh,
menghadapkan jendulan di balik celana mereka ke arah muka Sovi.
Sementara Mang Enjup sendiri duduk di kursi tamu, di belakang Bonang dan
Bondan, matanya tak lepas menatap mata Sovi. Dia menyalakan fungsi
kamera video HP Bonang. Bonang yang sudah horny berat sudah mau membuka
celana dan menerkam Sovi, tapi Mang Enjup lebih dulu memperingatkannya.
“Tahan dulu. Tunggu komando.” Kemudian Mang Enjup memulai menyorot
Sovi. Wajah Sovi yang tertutup tata rias tampak bengong; mulutnya yang
setengah terbuka dan matanya yang setengah tertutup memberi kesan
“Sovi,” perintahnya,
“Coba kamu bilang, siapa kamu.”
Sovi, tak berdaya di bawah pengaruh tatapan penjerumus Mang Enjup, menjawab. Suaranya kembali datar tanpa ekspresi.
“Saya Sovi… “
“Bagus Sovi. Sedang jadi apa kamu sekarang?”
“Saya sedang jadi…” Sovi berhenti; bawah sadarnya masih belum bisa mengungkapkan dengan jelas.
“Hee… Apa kamu tidak tahu Sovi? Sekarang kamu sedang jadi pelacur. Sedang jadi apa, Sovi?”
“Saya sedang jadi pelacur…”
“Benar Sovi. Kamu sedang jadi lonte. Kamu dandan menor, pake baju seksi. Buat siapa?”
“Buat Mas Bram…”
“Bukan.”
“Bukan?”
“Lihat siapa yang ada di sini, Sovi. Kamu tahu? Sebenarnya kamu
dandan bukan buat Bram saja. Kamu pengen dilihat semua orang. Dianggap
cantik dan seksi oleh orang. Karena kamu sebenarnya lonte yang suka
nggoda laki-laki.”
“Iya…” Mang Enjup melihat sedikit perubahan ekspresi, seolah Sovi
agak enggan. Mungkin bawah sadar Sovi sedang berusaha menolak
sugestinya.
“Jangan dilawan, Sovi. Akui saja.”
“…”
“Lihat Sovi. Lihat gara-gara kamu, dua orang ini jadi konak nggak ketulungan. Kasihan kan.”
“Konak…”
“Sebagai lonte, kamu jangan diam aja melihat orang konak. Hayo bantu mereka. Isap kontol mereka.”
Mang Enjup mengangguk ke arah Bonang dan Bondan. Keduanya dengan
senang hati membuka resleting celana dan menodongkan ‘senjata’ mereka ke
muka Sovi. Bonang sedikit iri melihat punya Bondan yang lebih besar
daripada punya dirinya sendiri. Kedua tangan Sovi masing-masing
menggenggam penis yang diacungkan ke arahnya, lalu mulai mengocok. Lalu
seperti lonte berpengalaman Sovi mulai menggilir kedua penis itu dengan
bibirnya.
Bonang terkekeh merasakan bibir empuk merah Sovi melumat
batangnya. Dielusnya rambut panjang Sovi. Kemudian ganti giliran Bondan,
Sovi memiringkan kepala lalu menggigit lembut pangkal batang Bondan
sebelum menjilatnya dari bawah ke atas. Mang Enjup memfilmkan itu sambil
terbahak-bahak dalam hati. Salah satu kenikmatan hidup yang paling dia
sukai adalah perempuan, namun sayang penyakit ejakulasi dini-nya sangat
mengganggu dia merasakan kenikmatan itu.
Kadang dia frustrasi ketika hanya bisa bertahan beberapa menit
menggarap gadis-gadis yang sudah menyerahkan diri kepadanya.
Frustrasinya itu akhirnya dia salurkan dengan cara merusak kepribadian
para sasarannya dengan ilmu hipnotis; perempuan yang jatuh ke tangannya
dia ubah menjadi lebih binal. Selanjutnya dia akan puas apabila
perempuan-perempuan itu terjerumus akibat perubahan yang dia tanamkan.
Pernah Mang Enjup membuat seorang perempuan mantan rekanannya yang sudah
menikah menjadi membenci suaminya, sehingga akhirnya bercerai. Kali
lain, Mang Enjup mengacau pemikiran seorang gadis yang diwawancaranya
untuk lamaran kerja, sehingga gadis yang awalnya alim itu kini
melacurkan diri di suatu kawasan hiburan malam terkenal (karena tidak
diterima kerja sebagai karyawatinya). Dan sekarang, dia pun sedang
mengubah Sovi.
Sovi berganti-ganti menyepong Bonang dan Bondan; lipstik merahnya
mulai celemotan setelah bibirnya naik-turun dua batang kejantanan. Kedua
anak buah Mang Enjup mulai tak tahan, dan Bonang yang duluan ejakulasi,
ketika posisi anunya sedang di dalam rongga mulut Sovi. Ketika itu juga
Bonang langsung refleks mencengkeram dan menekan kepala Sovi ke
selangkangannya, sehingga seluruh semburannya tidak ada yang tumpah di
luar.
“Uehh… gile enak banget!” teriak Bonang. Sovi mundur setelah
kepalanya dilepaskan Bonang, sambil menutup bibirnya dengan tangan,
seolah menahan agar dia tidak memuntahkan mani Bonang. Mang Enjup maju
dan menyorot muka Sovi dengan kamera video HP Bonang.
“Gimana, Sovi? Enak kan? Jangan ditelan dulu. Buka mulutnya.”
Sovi membuka mulutnya, memperlihatkan sisa sperma Bonang yang belum
sempat tertelan. Dimain-mainkannya cairan lengket itu dengan lidahnya,
sebelum akhirnya ditelan juga.
“Enak, Sovi?”
“Enak…”
“Enak kan ngisap kontol?”
“Iya… kontol enak…”
Semua itu terekam oleh kamera HP Bonang. Mang Enjup sengaja merekam
semuanya dalam video, untuk jaga-jaga. Barangkali kelak ada yang tidak
beres, dia bisa menyelamatkan diri dengan memeras Sovi. Tapi kata-kata
Sovi yang terakhir itu sungguh tidak terduga. Bisa aja si Neng ngomong
begitu…
“Nah, ingat itu Sovi. Kamu suka ngisap kontol. Coba ulangi.”
“Aku suka ngisap kontol.”
Sementara Bonang memulihkan diri, amunisi Bondan masih penuh. Bondan
tidak banyak bicara, tapi dari wajahnya terlihat dia tidak puas karena
Sovi berhenti.
“Bagus,” kata Mang Enjup kepada Sovi,
“nah, Sovi, karena kamu sekarang sudah jadi lonte, kamu harus ingat
baik-baik. Lonte itu nggak cuma ngentot sama suaminya. Lonte itu mau
ngentot sama semua orang. Gak peduli sejelek apapun orangnya, se-ancur
apapun orangnya, lonte harus mau. Mulai sekarang, kamu nggak akan
menolak ngentot sama siapapun. Biarpun kamu nggak suka, kamu nggak akan
nolak. Ngerti, Sovi?”
“Mengerti.”
“Nah, sekarang kamu ngentotlah sama dia.”
Bondan menghampiri Sovi yang duduk di lantai, membuat Sovi dalam
posisi seperti mau merangkak. Gaun pendek Sovi disibaknya sehingga
terlihatlah pantat Sovi yang mulus dan sekal. Tidak cuma Bondan, Mang
Enjup yang jadi juru kamera pun tergiur melihat bokong bulat-montok Sovi
yang tadi sempat mengulek kejantanannya. Mang Enjup memang paling suka
pantat bahenol khas perempuan kampung halamannya. Dengan antusias
ditontonnya dari balik kamera bagaimana kejantanan Bondan yang besar dan
menakutkan itu melesak masuk ke kewanitaan Sovi, sementara Sovi
meringis
keenakan selagi tubuh Bondan menindihnya.
Sebelumnya, baru Bram
yang pernah mencicipi tubuh Sovi. Tapi malam itu Sovi tadi telah
dijamah Mang Enjup (biar hanya sebentar), lalu Bonang (baru di mulut),
dan sekarang Bondan—barangnya-lah yang paling besar di antara semua yang
pernah mempenetrasi Sovi. Si nyonya muda itu merintih dan mengerang,
kelopak matanya yang dipercantik eyeshadow senada warna bajunya terpejam
ketika dia merasakan ukuran luarbiasa onderdil Bondan memaksa liang
kenikmatannya merentang lebih lebar daripada biasa.
Bondan menggenjot dengan buas dalam posisi doggy style, tanpa
basa-basi atau pelan-pelan dulu, dan ketika Sovi menjerit, makin
kencanglah aksinya. Entah Sovi menjerit kesakitan atau keenakan, Bondan
tidak peduli.
“AA!! AH! Ah! Ah!” Sovi menggigit bibir, berteriak, menganga,
menyentakkan kepala. Sovip tusukan Bondan membuatnya tersentak ke depan,
kedua payudaranya berguncang, gairahnya membara. Tak lama kemudian Sovi
mengalami orgasme kedua malam itu, di tengah gempuran gencar Bondan.
Mang Enjup merekam lolongan panjang yang muncul ketika Sovi tersungkur,
mencium lantai, rambutnya tergerai di sekeliling kepala, ditaklukkan
klimaks.
Tapi Bondan benar-benar tahan lama. Walaupun disiksa jepitan vagina
Sovi, dia masih tetap dapat mempertahankan kekerasan anunya. Didengarnya
Mang Enjup berkata sesuatu.
“Ja! Cabut, terus kamu bawa dia ke kursi, hajar pantatnya.”
Agak susah Bondan melepaskan burungnya dari sempitnya memek Sovi.
Supir mantan tentara itu lantas mencekal pinggang Sovi, lalu duduk dan
menarik Sovi ke pangkuannya. Sovi yang baru saja orgasme tidak mampu
melawan ketika ditarik Bondan. Ketika Sovi sudah berada di pangkuan
Bondan, Mang Enjup kembali mengajak bicara Sovi.
“Dasar nakal, Sovi. Sudah ngentot sama sembarang orang, keenakan pula. Dasar lonte.”
Sovi cuma terengah-engah menerima penghinaan dari Mang Enjup.
“Hei Sovi. Sudah pernah main belakang? Lubang pantatmu sudah pernah ada yang nyodok belum? Ayo dijawab.”
“Sudah…”
Ternyata si Bram doyan pantat juga, pikir Mang Enjup.
“Kamu suka dibegitukan, Sovi?”
“Enggak…”
“Kenapa nggak suka?”
“Sakit… jijik… malu…”
“Oh… gitu. Tapi mulai sekarang kamu nggak keberatan lagi dientot di pantat. Ngerti?”
“Mengerti…”
“Bagus. Sekarang buka tuh lubang biar kontol bisa masuk.”
Sovi mengangkang di atas pangkuan Bondan. Tangannya menjulur ke arah
selangkangan, meregangkan bagian sekitar lubang duburnya. Kemaluan jumbo
Bondan yang basah dengan cairan vagina Sovi bersiap masuk.
“Eughhh…” Wajah Sovi berubah meringis ketika kepala penis Bondan
berusaha menerobos saluran sempit yang baru satu kali ditembus dari luar
itu. “Ah! Haah! Haduhh!!” Ketika beberapa malam lalu Bram memerawani
anusnya, Sovi juga menjerit-jerit, tapi senjata Bram tidak sebesar punya
Bondan. Bisa dibayangkan perbandingan kekuatan desakannya dan rasa
sakit yang ditimbulkannya. Sampai-sampai air mata Sovi mengalir
selintas. Susah payah Bondan mendorong, memaksa dinding dalam dubur Sovi
agar mau menerima benda tumpul keras berukuran ekstra. Hampir pingsan
Sovi ketika seluruh penis Bondan berhasil dimasukkan sampai pangkal.
Sovi merasakan refleks normal bagian tubuhnya yang itu untuk
mendorong keluar benda-benda yang ada di dalamnya membuat jepitannya
terhadap batang Bondan makin kencang. Dia mengeluh lemah, merasakan
sensasi ‘terisi penuh’ yang tak wajar. Tubuh atasnya ambruk ke dada
Bondan; Bondan langsung menyambut dengan ciuman-ciuman ke tengkuk dan
bahu serta gerayangan ke dada dan perut, sementara pinggulnya mulai
memompa. Kemarin-kemarin Sovi sudah memutuskan tidak mau disodomi lagi
setelah pengalaman pertamanya dengan Bram. Tapi keputusannya itu sudah
dibatalkan pengaruh hipnotis Mang Enjup.
Nyeri yang Sovi rasakan ketika Bondan memasukkan penisnya sedikit
mereda, dan Sovi merasakan bahwa di antara rasa sakit itu terselip
kenikmatan. Sovi merintih lembut ketika Bondan menarik anunya sampai
hampir keluar. Sejenak dia merasa kosong, ingin diisi kembali; keinginan
itu segera terpenuhi dengan kembalinya batang Bondan ke dalam anusnya.
Bondan awalnya tidak bisa bergerak cepat, karena begitu sempitnya jalan
belakang Sovi yang jarang dipakai itu, tapi lama-lama gerakan
maju-mundurnya makin cepat. Dengan Sovip tusukan, Sovi merasakan
tubuhnya mulai menuju klimaks.
Sovi mulai menikmati seSovip gesekan batang Bondan di dinding saluran
duburnya, seSovip desakan kepala kontol Bondan dalam lubangnya. Nafas
Bondan mulai memburu, jepitan lubang anus Sovi benar-benar menguji
ketahanannya. Mang Enjup sangat puas melihat wajah Sovi yang kelihatan
sangat mesum, terengah-engah keenakan selagi anusnya disodok kontol
besar seorang laki-laki yang bukan suaminya. Anak bosnya itu benar-benar
kelihatan seperti lonte murahan. Dan Mang Enjup juga tahu, PSK betulan
saja banyak yang tidak mau melayani seks anal; artinya dia sudah
berhasil merubah Sovi menjadi lebih parah. Tak perlulah semua bagian
video yang direkamnya dipertahankan, pikir Mang Enjup. Cukup bagian si
Sovi dibo’ol saja.
“Woi, Ndan! Ikutan!” Bonang memutuskan untuk tidak bengong saja. Kemaluannya sudah bertenaga lagi. “Memeknya buat gua, ya!?”
Posisi Sovi yang mengangkang di pangkuan Bondan dengan pantat
tertembus senjata tumpul Bondan jelas sangat mengundang. Dengan
terburu-buru Bonang mendekati Sovi dari depan, dan tanpa basa-basi
menempatkan kepala penisnya di bibir vagina perempuan yang bukan haknya
itu. Sekali dorong, dan kehormatan Sovi sebagai seorang istri kembali
tercemar oleh bagian tubuh orang lain.
Sovi mendesah, mengerang, merasakan sensasi baru ketika dua orang
memasuki tubuhnya sekaligus—double penetration yang baru pertama kali
dialaminya sendiri. Memeknya langsung membanjir karena diterpa
rangsangan demi rangsangan. Bondan dan Bonang mengeroyok kedua lubang
Sovi dari depan dan belakang, kadang berbarengan, kadang berganSovin.
Sovi sendiri balas menggoyang pinggulnya, kadang melawan tusukan Bonang
dari depan, kadang menggilas coblosan Bondan dari bawah.
Yang keluar
dari mulut Sovi hanya aneka jerit kenikmatan yang tak jelas artinya.
Lalu sekujur tubuh Sovi serasa meledak ketika dia orgasme untuk ketiga
kalinya, lebih hebat dibanding yang sebelumnya. Bondan melenguh keras
ketika akhirnya kehilangan kendali, dicengkeramnya pinggul Sovi
keras-keras ketika penis besarnya memuncratkan mani ke dalam ujung
saluran pencernaan Sovi.
Lama sekali dia mengosongkan muatannya di dalam pantat Sovi. Ketika
semburannya selesai dan Bondan menarik keluar penisnya, dubur Sovi
menganga dengan tak senonohnya dan cairan putih keruh mengalir
keluar—sekali-sekali alirannya berubah jadi muncratan akibat refleks
normal bagian tubuh itu. Mang Enjup tak lupa mengabadikannya dalam
sorotan close-up. gairahsex.com Melihat Bondan mesti istirahat, Bonang
tidak berhenti.
Bondan menggeser tubuh Sovi sehingga bisa menyingkir
dari bawah Sovi. Sekarang Bonang ada di atas Sovi yang terduduk tanpa
daya di sofa. Sambil menggerayangi payudara Sovi dan mencupangi leher
Sovi, dia terus merangsek lubang sanggama Sovi. Terus begitu sampai
akhirnya Bonang pun ejakulasi, di dalam rahim Sovi. Sovi yang akalnya
sedang kacau tak mampu menolak benih asing tertumpah dalam dirinya. Mang
Enjup mulai kesal akan keadaan dirinya yang sudah tak muda lagi ketika
setelah cukup lama pun kejantanannya belum mampu bertempur lagi.
Sementara itu kedua asistennya yang masih muda hanya perlu waktu tak
seberapa lama sebelum mereka kembali siap menyetubuhi lonte mereka malam
itu, Sovi. Sejam kemudian, Bondan dan Bonang akhirnya tak kuat lagi.
Mereka
berdua menggeletak kecapekan di kiri-kanan Sovi yang juga terkapar.
Sungguh mengenaskan keadaan Sovi; wajahnya ternoda cipratan mani yang
tadi sempat ditumpahkan di sana, sementara liang vagina dan duburnya
yang babak belur dipenuhi sperma Bondan dan Bonang yang sedikit-sedikit
mengalir keluar. Dada dan pundaknya penuh bekas cupangan dan gigitan.
Benar-benar seperti seorang wanita tuna susila yang habis dibayar untuk
pesta seks semalaman. Setelah memotret Sovi dalam keadaan seperti itu
beberapa kali, Mang Enjup menggoyangkan tubuh Sovi untuk meminta
perhaSovinnya. Mang Enjup hendak menyelesaikan tindakannya terhadap Sovi
malam itu.
“Sovi, bangun. Tatap mata Mang dan dengarkan semua kata Mang. Mengerti?”
“Mengerti…” suara Sovi terdengar lemah.
“Sehabis ini, kamu akan lupa semua yang terjadi malam ini. Kamu tidak
akan ingat pernah diberitahu segala macam oleh Mang, tapi semua itu
tetap akan kamu patuhi dan ikuti. Tidak akan kamu kaitkan perubahan
perilakumu dengan kata-kata Mang. Sesudah Mang menjentikkan jari, kamu
akan tidur selama satu jam, lalu bangun dan tidak ingat apa-apa. Kalau
di badanmu ada bekas-bekas bersetubuh, itu karena kamu habis bersetubuh
dengan Bram. Ngerti, geulis?”
“Ya…”
CTAK.
Sovi memejamkan mata untuk tidur selama satu jam ke depan sesuai
perintah Mang Enjup. Mang Enjup tersenyum puas. Biarpun tidak bisa
maksimal menikmati tubuh Sovi, dia puas bisa mengubah Sovi untuk
seterusnya. Pikirannya sudah membayangkan berbagai hal yang bakal
dialami Sovi kelak.
“Bonang! Bondan! Hayoh jangan pada molor di sini. Kita pergi!”
Dua orang yang dipanggil itu bangun dengan susah payah. Bonang merasa
pinggangnya sakit dan dengkulnya tak bertenaga setelah entah beberapa
ronde tadi merasakan semua lubang yang bisa dientot di tubuh Sovi.
Bondan berdiri, menutup celananya, dan terus berjalan seperti tidak
terjadi apa-apa. Mang Enjup dan rombongannya kemudian meninggalkan Sovi
yang terkapar dan ternoda di ruang tamu, ditemani Bram yang masih
terbaring tak sadar di sofa.
Ketika Mang Enjup dan kedua bawahannya keluar pagar rumah Bram dan
Sovi untuk menuju mobil mereka yang diparkir di luar, satu suara menyapa
mereka.
“Baru pulang, Mang?”
Mang Enjup menoleh, melihat api rokok menyala di arah suara tadi
datang. Rokok dengan filter terjepit bibir merah seorang perempuan yang
wajah cantiknya kurang jelas terlihat di bawah lampu luar rumah yang
kurang terang.
“Euleuh-euleuh, Neng Citra, masih bangun? Ikutan ngeronda, atau sekarang salonnya buka dua puluh empat jam?”
Citra yang sedang duduk-duduk sambil merokok di luar salonnya itu menghampiri Mang Enjup.
“Ah si Mang bisa aja. Tumben mampir ke sebelah. Ada urusan sama Bram
atau Sovi?” kata Citra sambil melirik genit. Mang Enjup tidak bisa tidak
memperhatikan itu.
“Mang cuma ngobrol-ngobrol sebentar sama Neng Sovi. Kan sudah lama
tidak ketemu. Neng Sovi sekarang berubah, ya? Jadi pangling. Tambah
cantik dia.”
Citra terkikik. Berbeda dengan Sovi, Citra sudah lama tahu kebiasaan buruk laki-laki tua pegawai orangtua adik iparnya itu.
“Nah, sekarang Mang mau pulang dulu. Sudah malam, dan kepala Mang agak pusing. Biasa, kerjaan. Perlu konsentrasi. Capek.”
“Nggak mampir dulu, Mang?” goda Citra.
“Citra pijatin deh Mang biar gak pusing.”
Kenapa tidak, pikir Mang Enjup. Dia mengangguk dan kemudian mengikuti Citra masuk ke salon. Kedua anak buahnya membuntuti.
Bram membuka mata dengan berat. Dia merasa kepalanya sakit, dan dia
mengingat-ingat apa yang baru terjadi. Jelas tadi dia terlalu banyak
menenggak minuman keras ketika menemani Mang Enjup menjamu tamu di satu
pub. Setelah tamu itu pergi, dia terus minum-minum dengan Mang Enjup,
dan dia tidak ingat lagi apa saja yang dia obrolkan dengan atasannya
itu.
Mungkin dia menyebut-nyebut Sovi.
Berikutnya dia ambruk karena mabuk, lalu sepertinya dia ketiduran dan
diantar pulang oleh Mang Enjup, karena dia sekarang terbaring di sofa
di ruang tamunya sendiri.
Dan tadi dia bermimpi aneh sekali, dia bermimpi Sovi yang menunggunya
malah dipangku oleh Mang Enjup, lalu Sovi menuruti kata-kata Mang
Enjup, dan Sovi menyerahkan dirinya untuk disetubuhi dua orang yang
tidak bisa dia ingat siapa…
Di mana Sovi? Bram bangkit pelan-pelan, mengangkat kepalanya yang
puyeng, dan dilihatnya Sovi meringkuk di sofa, dengan baju dan dandanan
acak-acakan. Dilihatnya bekas mani yang mulai mengering di pipi Sovi.
Siapa yang…
Bram berguling sehingga turun dari sofa, lalu beringsut mendekati
Sovi. Digenggamnya bahu Sovi lalu diguncang-guncangnya perlahan agar
istrinya bangun.
“Sovi? Sayang, bangun yang…”
“Uuhhh… Mas… Bram?”
“Duh… sakit banget ni kepala. Kayaknya aku tadi kebanyakan minum… auw… apa… tadi aku diantar pulang?”
Sovi terdiam, bingung karena ingatan jangka pendeknya sudah
dikacaukan. Sovi tidak ingat bagaimana Bram pulang, siapa yang mengantar
Bram pulang, apa yang terjadi barusan. Yang dirasakannya cuma letih,
pegal di sekujur tubuh, dan nyeri di sekitar selangkangan. Bram mengelus
pipi istrinya yang tergeletak lemah di sofa. Tanpa sengaja dia
menyentuh peju kering yang tertempel di sana.
“Sovi… apa tadi kita…” Tatapan Sovi lemah, tapi kali ini dia menjawab.
“Iya, Mas…”
Sovi tersenyum lemah. Bram masih tidak percaya. Apa tadi dia bercinta
dengan istrinya? Dia tidak ingat sama sekali. Dilihatnya sekali lagi
wajah istrinya yang begitu dekat. Pastilah Sovi tadi berdandan
habis-habisan seperti biasa; sisa-sisanya masih terlihat, walaupun
sebagian sudah terhapus akibat apapun yang tadi terjadi. Aroma tubuh
Sovi bercampur bau asing yang tak Bram kenal. Ribuan pertanyaan
mengganggu pikiran Bram. Tapi dia terlalu pusing akibat hangover untuk
menanyakannya. Dia ambruk lagi, tertidur di samping wajah istrinya.
Entah bagaimana perasaan Bram kalau saja dia tahu apa yang sebenarnya
terjadi. Sovi telah terjerumus.
No comments:
Post a Comment