AGEN POKER
Cerita Dewasa / Cerita Sex / Cerita ABG / Cerita Dewasa Hot / Cerita Dewasa SMA / Kumpulan Cerita Dewasa
“jemput Sovi. gausah pikirin kakak, kakak bs pulang sendiri”
Citra sempat mengirim SMS itu sebelum dia membuka pintu kamar kosong
yang sudah disediakan untuknya. Beda dengan kamar-kamar suite di lantai
lima, kamar-kamar di lantai empat lebih kecil dan sederhana, karena
sebagian besar penggunanya hanya berada 3 jam di sana. Sesudah memilih
perempuan di bawah, para hidung belang yang ingin memuaskan hasrat
birahi biasa menuju ke kamar-kamar ini yang tersedia lumayan banyak di
Hotel bintang V.
Selain perlengkapan kamar hotel biasa seperti tempat
tidur, lemari, dan TV, di kamar-kamar itu terdapat cermin di dinding dan
langit-langit. Kamar mandinya bukan berupa kamar sendiri, melainkan
kotak 1×2 meter berdinding bening dengan shower. Dia langsung mengajak
duduk si pengawal di tempat tidur dan menanyakan nama.
“Helga,” kata si pengawal malu-malu.
Citra mengaku bernama “Fenti” kepada Helga, lalu bergeser duduk
merapat ke Helga. Dilihatnya Helga tegang dan tidak santai—karena
merasa meninggalkan tugas, jadi Citra merayu-rayu si pengawal agar makin
terlena. Kata-kata manis tidak perlu banyak. Citra menyambung dengan
kecupan ke pipi.
“Kok diem aja… Kamu suka aku nggak?” tanya Citra dengan nada manja.
“Eh, iya, suka Fen…”
Mulai terlihat bahwa Helga sedang mempelajari kecantikan Citra.
Dalam kamar yang temaram itu, wajah Citra tampak bercahaya. Tak salah
tadi dia repot-repot bedakan dulu di mobil Bram. Bra-nya membuat
dadanya kelihatan lebih membusung, dan Helga juga terlihat melirik ke
sana. Dasar laki-laki, Citra membatin. Walaupun diam saja tapi
sebenarnya melirik juga, dan pasti ketahuan kalau sedang lihat-lihat.
“Cium dong,” tantang Citra.
Sepasang bibir merah yang manis menyediakan diri di depan Helga.
Pengawal itu ragu, masih tak percaya ada perempuan menyodorkan diri
seperti itu kepadanya. Ditambah lagi Citra menggenggam tangannya, lalu
lanjut mengelus lengannya. Helga merinding merasakan halusnya tangan
Citra. Citra lalu menarik tangan Helga ke balik roknya, agar si
pengawal bisa mengelus pahanya. Dan selagi membimbing tangan Helga ke
arah pangkal paha, Citra mencondongkan badan ke depan dan mencium bibir
Helga. Helga masih bujangan, dan sedang tak punya pacar.
French kiss
dari Citra mengejutkannya. Ketika lidah Citra membuka bibirnya dan
bergulat dengan lidahnya, si pengawal menahan nafas. Selesai
menjelajahi rongga mulut Helga, Citra melepas ciumannya dan ganti
menjilati leher Helga. Lalu balik lagi ke mulut, satu lagi french kiss
dan mengulum lidah Helga. Citra merasakan nafas si pengawal jadi
memburu, lalu menjulurkan tangannya ke bagian selangkangan celana
Helga. Tangan satunya lagi dengan gemas meremas kepala Helga yang
berambut cepak. Tahu-tahu saja posisi Citra sudah menunggangi
selangkangan Helga, kepalanya berada sedikit di atas kepala si
pengawal.
Citra merasakan kedua tangan Helga menjamah pantatnya.
Bagus. Si pengawal mulai berani. Dan itu wajar. Seharian dia bertugas
mengawal tiga perempuan cantik, lalu tadi di dalam dia sempat menonton
pesta seks ketiganya melawan kumpulan orang jelek. Anunya protes minta
ikutan, tapi dia tak berani ikut kalau tidak diperintahkan bosnya, Pak
Walikota. Bahkan tadi dia sempat mencegah Shena kabur. Karena tidak
tahan, dia pindah berjaga di luar. Tapi di luar dia malah bertemu
perempuan ini, “Fenti”…
“Aku buka ya?” kata Citra.
Tanpa menunggu jawaban Helga, Citra membuka satu demi satu kancing
kemeja safari yang dipakai si pengawal, lalu langsung melepas kemeja
itu. Dilihatnya tubuh Helga yang gempal seperti petinju. Citra
tersenyum; pemuda bertubuh gempal itu ternyata sifatnya malu-malu. Lalu
Citra kembali mencium bibir Helga sambil mengelus-elus bahu dan wajah
Helga. Citra membantu Helga melepas kaos dalam lalu dia teruskan
menggodai pemuda itu dengan menjilati putingnya. Sekalian, Citra
membuka resleting celana Helga dan membebaskan kejantanan Helga dari
dalam bungkusnya.
“Udah keras nih,” kata Citra sambil mengocok-ngocok batang kejantanan Helga.
Bentuknya pendek tapi berdiameter lumayan. Citra melepas Helga dan
merebahkan diri di tempat tidur. Dia melipat lututnya dan menjangkau ke
bawah, langsung mencopot rok dan celana dalam. Dipanggilnya Helga
supaya mendekat. Si pengawal sudah melepas semua bajunya juga dan
sekarang berlutut di hadapan Citra, penisnya yang tegang menunjuk ke
arah kewanitaan Citra yang sudah menunggu. Citra meraih tasnya dan
merogoh ke dalam, lalu mengeluarkan sebungkus kondom.
“Pakai dulu ya?” kata Citra.
Dengan cekatan Citra merobek bungkus kondom dan memasangkannya ke
penis Helga. Lalu dia menggeser bagian bawah tubuhnya, meraih batang
yang sudah diberi pengaman itu, dan memasukkannya ke dalam
kewanitaannya. “Ayo goyang,” perintah Citra. “Entot aku Fri…”
Helga memang bujangan, tapi dia sudah tidak perjaka, gara-gara pernah
diajak jajan oleh teman-temannya ke lokalisasi beberapa kali. Jadi dia
sudah tahu apa yang harus dilakukan. Dia langsung bergerak maju-mundur
menikmati gratisan dari “Fenti”.
“Ah… ah… ahah enakh!” Citra ber-acting sebagaimana layaknya seorang
pelacur pemuas nafsu, kedua lengannya meraih ke atas dan kedua tangannya
mencengkeram bantal, kepalanya menengadah dan berpaling, bibirnya
mengerang-erang keenakan. “Ah… hah… ah jangan… ah enak…!!” Meskipun
tak begitu terangsang, vagina Citra menjepit penis Helga.
“Ayohh… Lagii… lagi… terus…” Citra menjerit-jerit seolah bernafsu,
sambil tangannya meremasi buah dadanya yang masih terbungkus baju.
Pinggulnya bergerak mendesakkan seluruh bagian kejantanan Helga ke dalam
vagina. Helga juga mulai berani, tangannya mulai menjamah
bagian-bagian lain tubuh Citra. Apalagi Citra sengaja “berisik” demi
memancing nafsu Helga agar makin bergejolak. “Enak banget… terus
sayang… aku suka sayang…” dengan kata-kata seperti itu, Citra memacu ego
kelelakian Helga. Sebagai wanita penggoda berpengalaman, Citra tahu
bagaimana membuat laki-laki lawan mainnya merasa “perkasa”.
Citra lalu
berganti posisi, dia menyuruh Helga rebahan sementara dia bergerak
mengangkangi selangkangan Helga sambil menghadap wajah Helga, posisi
woman on top. Dia menggenggam penis Helga yang masih tegak dan
mengarahkan lagi ke rekahan kewanitaannya. Sambil tersenyum seksi Citra
mulai menunggangi bawah perut Helga. Sekalian dia membuka kaos
ketatnya. Helga langsung menyambut, kedua tangannya menjamah kedua
payudara Citra bersamaan, menekan-nekan puting Citra. Citra tampak
kegelian dan kedua lengannya bergerak seolah mengusir tangan Helga.
“Ah… janganh… geli… pentilku gelii… Nanti aku cepet keluarh…”
Citra akhirnya menjauhkan tangan-tangan Helga dari payudaranya. Dia
kegelian betulan, dan terangsang, ada titik sensitif di payudaranya.
Sekalian dia mengubah posisi kaki, dari tadinya berlutut seperti
menunggangi sekarang menjadi berjongkok mengangkang untuk mengubah
posisi tusukan di kemaluannya.
Kedua tangan Helga digenggamnya dan dia
mengubah gerakan jadi naik-turun. Tapi akhirnya Citra melepas tangan
Helga dan keasyikan ajrut-ajrutan di atas Helga. Bunyi “cpok-cpok-cpok”
kulit bertemu kulit terdengar Sovip kali pantat Citra menghantam perut
Helga. Bosan dengan posisi itu, Citra lalu berhenti dan memutar tubuh
sehingga membelakangi Helga, posisi reverse cowgirl, tanpa mencabut
tusukan kejantanan Helga. Dia langsung beraksi, pantatnya mengulek
selangkangan Helga, nafasnya terengah memburu.
Helga menikmati
pemandangan punggung dan pantat mulus Citra menggelinjang di depannya.
Citra berhenti lagi, lalu mengangkat pinggulnya sehingga kemaluan Helga
keluar dari dalam tubuhnya. Dia mengubah posisi dengan canggung karena
masih mengenakan sepatu hak tinggi—dia tahu banyak laki-laki suka dia
tetap memakai sepatu hak tinggi ketika bersetubuh—berbalik kemudian
merayap ke arah wajah Helga.
“Aku mau dientot dari belakang… dogy… ayo,” pinta Citra.
Helga langsung bergerak, berposisi berlutut di belakang Citra yang
menungging, dan tanpa banyak basa-basi menyetubuhi perempuan cantik yang
baru dia kenal itu dari belakang. Helga kembali melihat wajah mesum
Citra yang pasang ekspresi keenakan, menoleh ke belakang seolah ingin
melihat bagaimana penis Helga menggempur liang kenikmatan. Tubuh Citra
terguncang-guncang dihantam serangan demi serangan. Jeritan-jeritannya
pun makin seru. Lama-lama posisi doggy style berubah karena Citra
tergolek ke sisi kiri. Paha kanan Citra menyelip di bawah selangkangan
Helga sementara pergelangan kaki kirinya digenggam Helga.
“Hah… ah… ah mau keluar…!” seru Helga di tengah dengusan nafasnya.
Citra juga berpura-pura mau orgasme, melengking-lengking tak karuan
seolah sampai ke puncak kenikmatan. Lalu Citra merasa goyangan Helga
berhenti dan Helga menancapkan dalam-dalam penisnya. Mendengar suara
erangan Helga, Citra tahu si pengawal itu sedang berejakulasi, maka dia
pun menjerit pura-pura klimaks. Pinggulnya dia gerakkan memutar,
memeras batang yang berejakulasi di dalam vagina.Helga mundur mencabut
barangnya. Citra memutar tubuh, berbalik jadi menghadap Helga, lalu
meraih ke kemaluan Helga untuk mencabut kondom yang penuh.
“Hmm~! Pejunya banyak yaa…” kata Citra sambil nyengir,
menggoyang-goyang kantong lateks berisi cairan putih yang barusan
dilepasnya dari kejantanan Helga. Dengan profesional dia mengikat ujung
kondom sehingga isinya tak bisa keluar. Dilihatnya Helga yang masih
kelihatan fit.
Mungkin Bram masih perlu waktu, pikir Citra.
“Masih ada sisanya nggak?” tantang Citra sambil menjilat bibir. Helga nyengir.
****
KORIDOR
Bram membaca SMS dari kakaknya barusan, yang memesankan supaya dia
fokus ke Sovi. Dia menyimpan lagi HP-nya di dalam dompet di ikat
pinggangnya. Lalu Bram melihat ke langit-langit koridor. Pertama-tama
Bram memastikan tidak ada kamera CCTV di langit-langit. Artinya, apapun
yang mau dia lakukan, tidak ada yang bakal merekamnya. Kedua, dia
mencari satu lagi benda di langit-langit.
Ketemu!
Di langit-langit, kira-kira setengah jalan dari pintu kamar suite ke
pertigaan koridor, Bram melihat sprinkler, keran air darurat untuk
pemadam kebakaran. Dia berusaha menjangkau sprinkler itu tapi letaknya
cukup tinggi. Bram lantas menyeret satu pot tanaman yang besar ke
sana. Setelah sekali lagi memastikan tidak ada orang berkeliaran di
koridor, Bram berdiri di atas pot besar itu dan merogoh ke dalam
kantong. Tadi di dalam lift dia mengambil korek api gas milik Citra.
Korek itu sekarang menjadi bagian rencananya. Bram menyalakan korek gas
dan menggunakan apinya untuk memanaskan sprinkler.
*****
PENTHOUSE
Tangan lembut Sovi mendatangkan kehidupan. Kejantanan Pak Walikota
tidak dibiarkan lemas begitu saja sesudah tadi ejakulasi. Beberapa kali
kocokan sudah cukup untuk membangunkannya lagi. Sovi merasakan hangat
batang itu, terbakar panas gairah pemiliknya untuk mencicip syahdu yang
terlarang. Pak Walikota berbaring telentang di tempat tidur. Sovi
berjongkok mengangkang di atas kelaki-lakiannya. Sovi membukakan pintu
kewanitaannya bagi penis Pak Walikota selagi dia merendahkan jongkoknya…
“HHAA… GHNN!!”
Tubuh cantik Sovi tiba-tiba gemetar dan ambruk menindih dada Pak
Walikota, tepat ketika kejantanan Pak Walikota terhunjam seluruhnya
menembus vaginanya. Pak Walikota bingung dan segera menggenggam
Sovi.
“Sovi… Sovi? Ada apa?”
“Ahh… Pakk… T-Sovi keluarr…” rintih Sovi. Pak Walikota tersenyum
kecil. Terbersit sedikit rasa bangga karena merasa bisa membuat Sovi
orgasme. Padahal sebenarnya Sovi memang sudah terangsang berat sejak
tadi melayani orang-orang jelek di bawah, dan klimaksnya ibarat tinggal
menunggu kena “satu sentilan” lagi.
“Nggak apa-apa… Bapak terusin ya? Entot Sovi…” dengan wajah memerah sesudah terlanda orgasme, Sovi mengatakan itu.
Tentu saja Pak Walikota tak menolak. Dia akhirnya mendapat juga apa
yang diidam-idamkannya, bersanggama dengan Sovi. Dengan lembut Pak
Walikota mulai bergerak, makin lama makin kencang mengguncang Sovi di
atasnya. Sovi yang masih lemah pasca-orgasme pasrah, menerima dirinya
dijadikan pelampiasan nafsu Pak Walikota. Wajahnya bersandar di atas
dada Pak Walikota yang penuh bekas luka, namun tak ada sedikitpun rasa
jijik. Itulah yang membuat Pak Walikota makin antusias.
Makin tinggi kedudukan seseorang dan makin terpenuhi kebutuhannya,
biasanya impiannya makin tinggi dan sukar. Dalam hal Pak Walikota,
impiannya adalah kembali menikmati pelampiasan nafsu birahi bersama
perempuan yang mau menerimanya tanpa jijik karena tubuhnya yang rusak.
Lebih spesiBolangk lagi, dengan Sovi, gairahsex.com perempuan muda yang
sebenarnya bersuami namun telah menjadi obsesinya selama beberapa
tahun. Dan Sovida yang mengalahkan puasnya merasakan impian yang
kesampaian.
“Emh, mmmmh…” Sovi menengadah dan mencium Pak Walikota.
Pak Walikota membalas ciuman itu dengan lembut, tangannya mengelus
rambut Sovi. Iri. Pak Walikota iri sekali dengan Bram. Anak muda itu
mendapat istri yang dari luar terlihat begitu cantik dan anggun, dan
dalamnya ternyata binal dan seksi. Sovi sendiri sedang tak ingat dengan
Bram suaminya. Dia sedang mematuhi pemrograman bejat yang terpasang.
Semua perubahan yang terjadi—makeover dari Citra, sugesti dari Mang
Enjup dan Dr Loren—dia sudah tak tahu lagi apa alasannya.
Memang awalnya dia berubah demi memuaskan selera Bram. Dan itu
berhasil, Bram kelihatan lebih menyukai penampilan dan pembawaannya yang
baru. Tapi Sovi belum juga menyadari bahwa ada pihak yang memanfaatkan
kecenderungan barunya demi kepentingan sendiri. Sugesti Mang Enjup
membuatnya terobsesi memuaskan nafsu laki-laki. Semua laki-laki, bukan
hanya yang paling berhak yakni Bram. Dan Dr Loren memperkuat sugesti
itu dengan menghapus trauma-nya. Sovi yang seharusnya menjadi seorang
istri seSovi dijerumuskan. Mang Enjup melacurkannya kepada Pak
Walikota. Dan Sovi tidak menolak itu. Dia seorang istri, namun sudah
menjadi tak ubahnya seorang wanita murahan penjual tubuh juga…
*****
Di lain tempat..
Stamina orang-orang yang ada di sana seolah tidak ada habisnya.
Sabri sedang menghisap entah penis keberapa sambil berposisi menungging
dan di belakangnya ada yang menyetubuhinya. Rambut perempuan Latino itu
sudah kusut, tubuhnya mandi keringat, dan kemaluannya mulai terasa
panas. Dia sudah pernah terlibat pesta seks, tapi jarang-jarang
durasinya bisa selama itu. Entahlah. Apa mungkin karena yang terlibat
ini orang-orang yang dalam keadaan normal sulit mendapat perempuan,
sehingga mereka memanfaatkan kesempatan langka sebaik-baiknya? Dari
tadi dia menunggu kapan orang-orang itu puas semua. Tapi mereka terus
kembali dan kembali. Bergantian, melahap dia dan melahap perempuan
sipit itu. Sementara Sovi dan Pak Walikota sudah tidak di sana.
“Aa… ahhh…” terdengar rintih lemah Shena yang dipaksa orgasme lagi.
Sabri kasihan mendengarnya. Shena sudah hampir pingsan tapi
orang-orang itu tak ada yang peduli. Ditambah lagi, karena tadi Shena
bersikap angkuh, mereka lebih gemas dan kasar menyetubuhinya. Wajah
putih Shena belepotan sperma; tadi ada yang berejakulasi di sana. Shena
sendiri sudah tidak bisa protes, apalagi melawan. Dia tergolek seperti
boneka yang ditinggal pemiliknya. Itulah dia sekarang: boneka cantik
yang tak berdaya, mainan laki-laki. Ditelanjangi, digagahi, dihujani
mani. Tidak adakah yang bisa menghentikannya? Yang bisa menarik mereka
keluar dari lingkaran keji itu?
*****
KORIDOR
Di sprinkler pemadam kebakaran, ada sumbat pemicu berupa tabung kaca
yang menghalangi bukaan pipa air. Tabung kaca itu dirancang agar pecah
apabila mencapai suhu tertentu—yang menandakan di dekatnya ada api. Api
di ujung korek gas yang disodorkan Bram sudah hampir sepuluh menit
membakar tabung kaca di sprinkler depan pintu kamar suite…
PYARR! BYUUUURRR…
Bram nyengir ketika tabung kaca itu pecah dan air keluar memancar membasahi koridor. Sedetik kemudian terdengar—
KRIIIIIINGGGGGGG…
Seiring tersemburnya air dari pipa pemadam kebakaran, alarm berbunyi
dan sprinkler-sprinkler lain di sekitarnya jadi aktif, ikut mengguyur
interior hotel dengan air. Bram turun dari pot tanaman yang dari tadi
diinjaknya untuk mencapai sprinkler yang disundut dan bergerak ke arah
pintu kamar suite menembus hujan buatan. Di depan pintu itu dia merapat
ke arah sisi berengsel, menunggu reaksi.
*****
Di KAMAR SUITE LT. 5
Dering alarm kebakaran membahana mengalahkan suara desah nafsu
manusia. Beberapa sprinkler di dalam kamar suite ikut aktif,
menyemprotkan air ke seluruh ruangan. Sabri menjerit ketika air dingin
menerpa kulitnya. Shena memejamkan mata. Kumpulan orang jelek
kebingungan sejenak, kemudian salah seorang di antara mereka teriak
“Kebakaran!?” dan semuanya jadi panik. Beberapa yang paling panik
langsung berlari menuju pintu tanpa peduli keadaan mereka. Meskipun
pintu kamar tak bisa dibuka kecuali dengan kunci kartu dari luar, di
sisi dalam pintu bisa langsung dibuka dengan memutar gagang.
Orang yang
paling dekat pintu membuka pintu dan langsung keluar. Bram di samping
pintu melihat seorang laki-laki jelek basah kuyup dan telanjang muncul
dari pintu. Bram langsung berteriak-teriak
“Ada kebakaran! Ayo cepat semuanya keluar! Ke tangga darurat di
ujung sana!” Sambil berpura-pura menjadi pegawai hotel, Bram menahan
pintu tetap terbuka sambil menggerak-gerakkan tangan menunjukkan arah.
Seisi ruangan terburu-buru keluar.
Sebagian masih sempat berpakaian,
walaupun kadang mereka asal comot saja sehingga mengambil pakaian orang
lain sehingga ada yang keluar dengan memegangi celana yang terlalu
besar, ada yang cuma sempat pakai kaos, dan lainnya.
Sabri sempat menyambar kemeja orang dan memakainya, dan dia termasuk
yang cepat keluar walaupun sekujur tubuhnya lelah.
Penghuni kamar-kamar
lain juga terlihat keluar menyelamatkan diri. Koridor jadi ramai
dengan orang-orang yang panik, semua bergegas menuju pintu tangga
darurat di ujung. Semuanya terjadi begitu cepat. Dalam sekejap kamar
suite yang tadinya penuh tubuh-tubuh manusia yang saling belit dalam
nafsu itu kosong, penghuninya lari menyelamatkan diri dengan berbagai
kadar ketelanjangan.
Tapi dari semua orang yang melewatinya di pintu, Bram tidak melihat
Sovi maupun Pak Walikota. Bram melangkah masuk, menembus hujan gerimis
sprinkler yang mulai melemah. Di dalam, Bram melihat ruangan besar yang
berantakan dan basah kuyup. Di tengah ruangan itu Bram mendapati
seorang perempuan yang tersungkur dan berusaha berdiri; perempuan itu
telanjang. Shena terlalu lemah untuk bisa buru-buru menyelamatkan
diri. Bram menghampirinya.
“Masih ada orang lain di dalam sini?” tanya Bram.
Shena tidak menjawab, hanya menunjuk ke arah belakang. Bram
membantunya berdiri, mengambilkan sehelai baju (entah punya siapa karena
baju Shena sendiri sudah robek-robek) lalu menutupi tubuh Shena dengan
baju itu. Bram lalu memapah Shena ke pintu.
“Xiexie…” bisik Shena, mengucap terima kasih dalam bahasa ibunya.
Tapi Bram hanya mengantar sampai ke pintu dan membukakan pintu.
“Tangga darurat di ujung sana. Saya mau periksa ke dalam, siapa tahu
masih ada orang,” pesannya kepada Shena yang kemudian berjalan
tertatih-tatih ke tangga darurat. Di bawah hujan dari pipa-pipa air
pemadam kebakaran, air mata Shena mengalir.
*****
KAMAR LT. 4
Ketika alarm berbunyi, Helga sedang memeluk erat tubuh Citra yang
digumulinya. Sprinkler di sana tidak ikut aktif, tapi alarm kebakaran
menyala juga di lantai 4. Karuan, Helga kaget.
“Ada apa ini?” katanya sambil melepas pelukannya dan keluar dari tubuh Citra.
Citra agak dongkol, karena sedikit lagi dia klimaks. Tapi dia sudah
tahu rencana Bram, jadi dia tidak heran. Tugasnya satu lagi…Helga
berpakaian dengan buru-buru. Citra juga. Sebisanya Citra tidak mau
sampai kalah gesit dari Helga. Begitu Helga bergegas keluar, Citra
tidak ketinggalan. Di luar, orang-orang yang sedang ada di kamar lain.
AGEN POKER TERPERCAYA
Umumnya para PSK dari lounge bawah dan tamu—berkerumun dan semuanya
bergerak menuju tangga darurat. Dengan sendirinya Helga dan Citra juga
terbawa arus manusia. Helga berbicara dengan beberapa orang dan
menyimpulkan bahwa barusan itu alarm kebakaran. Di tangga darurat, Helga
menunjukkan gelagat seperti yang Citra sudah duga. Dia mau melawan
arus dan naik ke lantai 5. Pasti karena dia mau memeriksa keadaan orang
yang seharusnya dia kawal, Pak Walikota. Citra langsung menarik
lengannya.
“Mau ke mana, ini orang-orang pada ke bawah?” tanya Citra.
“Aku mesti balik ke, … bosku. Dia di atas,” kata Helga. Helga tak mau menyebut “Pak Walikota”.
“Dia pasti udah ke bawah juga, lihat tuh orang-orang dari atas juga
pada turun, ayo kita turun dulu aja nanti baru dicari di bawah,” bujuk
Citra. Helga masih mau naik tapi dia terdorong-dorong oleh arus
orang-orang yang turun, maka akhirnya dia pun mengikuti kata Citra.
*****
KAMAR SUITE LT. 5
Bram membuka Tiap pintu dalam kamar suite itu sambil harap-harap
cemas, bersiap menemukan Sovi di balik pintu. Entah dalam keadaan apa.
Orang-orang berbagai bentuk dan ukuran yang tadi melewatinya jelas
habis melakukan sesuatu yang membuat mereka telanjang… Bram
menebak-nebak apa yang barusan terjadi, dan dia sudah memikirkan
kemungkinan-kemungkinan.
“Brak!”
Setiap pintu dibukanya dengan gebrakan, seolah mau mengagetkan
siapapun di dalamnya. Kamar tidur. Kamar tidur. Kamar mandi. Semua
kosong dan tak terlihat seperti bekas dipakai orang. Di satu kamar dia
menemukan tas baju dan barang-barang pribadi seseorang. Pak Walikota.
“Dia masih ada di sini. Tapi di mana?”
Dan Sovi juga pastinya masih ada di dalam sana. Bram melihat telepon
seluler mahal, mungkin milik Pak Walikota, yang kebasahan terguyur air
dari sprinkler di kamar itu. Dia meraba pinggangnya sendiri. Dompet
HP-nya tertutup rapat sehingga biarpun dia sendiri basah kuyup kena
semburan sprinkler, ponselnya aman. Tapi dia belum juga menemukan Sovi.
Satu pintu lagi. Di balik pintu terakhir yang Bram buka, gairahsex.com
ada tangga ke atas. Berdebar-debar, Bram menaiki tangga itu. Di sana
tidak ada sprinkler sehingga tangganya kering. Di ujung tangga ada
pintu…Ketika menggenggam gagang pintu di ujung atas tangga, Bram
menenangkan diri dulu. Kalau di semua ruangan di bawah tidak ada Sovi,
maka Sovi ada di sini…Dan waktu Bram merapatkan tubuhnya ke pintu itu,
samar-samar dia mendengar…
“…ooh… ahh… aah…”
Tapi Bram tak terburu nafsu. Dia masih sempat memikirkan sesuatu. Tangannya kembali bergerak mengambil satu barang bawaannya…
*****
PENTHOUSE
“AAHH!! AHH! PAAKK!! TERUS PAK!”
Pak Walikota makin bernafsu melihat Sovi yang sampai menjerit-jerit
keenakan. “Pelacur”-nya itu ternyata berisik di ranjang, tepat seperti
yang dia sukai. Dia berposisi tegak berlutut di ranjang sementara Sovi
rebah telentang. Kedua kaki Sovi memeluk pinggang Pak Walikota, seolah
mau mendesakkan kejantanan Pak Walikota makin dalam.
Kedua tangan Sovi mencengkeram seprai, tak kuasa menahan derasnya
aliran kenikmatan. Pak Walikota menyukai bagaimana kedua payudara Sovi
bergoyang-goyang ikut irama gerak tubuhnya, dan ekspresi wajah Sovi yang
dimabuk birahi. Mereka berdua tidak tahu apa yang terjadi di
lantai-lantai lain hotel, karena sungguh ini hanya kebetulan koneksi
alarm kebakaran ke penthouse memang sedang rusak, dan dua teknisi yang
hari itu memeriksa alarm tidak memeriksa ke sana.
Maka yang mengagetkan mereka bukanlah bunyi. Melainkan…dua kilatan
cahaya mengagetkan Pak Walikota. Dia langsung menoleh ke arah cahaya
itu dan sekali lagi terjadi kilatan cahaya.Di pintu penthouse, Pak
Walikota melihat seorang laki-laki muda yang membidikkan ponsel
berkamera ke arahnya. Kilatan-kilatan cahaya tadi berasal dari lampu
kilat kamera. Pak Walikota kaget setengah mati. Lalu dia menyadari apa
yang barusan terjadi.
Anak muda itu mengabadikan dirinya dalam posisi memalukan! Maka reaksi pertamanya adalah murka.
“Apa-apaan ini? Siapa kamu? Sini. Ke sinikan HP-nya!”
Pak Walikota yang kalap langsung mencabut “senjata”-nya dari dalam
vagina Sovi. Bram melihat Pak Walikota berjalan dengan marah ke
arahnya, tubuh besarnya tegap, telanjang, dan penuh bekas luka. Dengan
nekad Bram sekali lagi memotret, tepat di depan muka Pak Walikota.
Lampu kilat memaksa Pak Walikota memejamkan mata.
“Ah! Sial!” Pak Walikota sekejap tak bisa melihat karena
pandangannya disergap cahaya terang, dan sejenak matanya
berkunang-kunang. Bram memanfaatkan kesempatan yang cuma sedetik itu
untuk menghindar dari depan Pak Walikota dan melesat menuju Sovi yang
tergeletak di ranjang.
Mengetahui orang yang memotretnya menghindar,
Pak Walikota berbalik dan kembali memburu ke arah Bram. Bram sempat
menggenggam lengan Sovi, tapi tidak sempat berbicara sebelum Pak
Walikota menerkamnya. Pak Walikota memiting leher Bram di ranjang.
Tapi Pak Walikota lupa tubuhnya sangat tak terlindung dan…DUGG! Entah
refleks atau sengaja, Bram mengayunkan kakinya dan menendang
selangkangan Pak Walikota keras-keras. Pak Walikota melolong kesakitan
dan cengkeramannya terlepas. Bram langsung mendorong Pak Walikota
sampai terjengkang di lantai, lalu menarik lengan Sovi.
“Auhh… Bajingan! Siapa kamu? Wartawan? Kamu berani macam-macam…”
Pak Walikota mengancam, tapi ancamannya itu terdengar menggelikan karena
dikeluarkan dalam posisi bergelung memegangi selangkangan di lantai.
Bram berdiri di depan Pak Walikota yang meringkuk di lantai, tangan
kiri membidikkan lensa kamera telepon ke arah Pak Walikota, tangan kanan
merangkul Sovi. Sovi terlihat kaget sampai tak bisa berkata-kata.
“Saya suaminya, Pak,” kata Bram. Dia baru menyadari betapa
menjijikkan pejabat tinggi di hadapannya. Bukan karena tubuhnya yang
rusak, tapi karena orang ini, entah bagaimana caranya, telah mencabuli
istrinya.
“Sini. Sinikan HP kamu!!” Pak Walikota berusaha bangun sambil
menahan nyeri, lengannya terjulur mau merebut telepon Bram. Tapi Bram
mengancam balik.
“Bapak maju lagi, foto-foto ini langsung saya sebar ke internet,”
kata Bram. Bram memencet beberapa tombol lalu membalik handphone
sehingga Pak Walikota bisa melihat foto yang tadi Bram ambil, jelas
menunjukkan wajahnya ketika sedang menyetubuhi Sovi. Di pojok foto itu
terlihat tulisan “Upload?” dan Bram siap menekan tombol di bawahnya.
Baik Pak Walikota maupun Bram sama-sama merasa panas dingin. Pak
Walikota merasa seperti ditodong, aib bagi dirinya akan tersiar dalam
beberapa detik kalau sampai foto-foto itu di-upload. Bram sendiri
gemetaran, sebagian karena dingin akibat bajunya basah, tapi lebih
banyak karena dia sedang menggertak seorang pejabat dan dia sendiri
tidak yakin ancamannya bakal mempan. Tapi Bram merasakan hangat tubuh
Sovi yang merapat ke tubuhnya dan dia menjadi tambah berani.
“Saya cuma mau jemput istri saya, Pak,” kata Bram tenang.
“Kita anggap saja kejadian ini tidak pernah ada. Saya tahu Bapak
orang terhormat… dan saya sendiri mau Bapak tetap terhormat. Jadi saya
minta Bapak biarkan kami pergi.”
Pak Walikota tak bisa berkata apa-apa. Dia sendiri masih bingung
kenapa Bram bisa masuk ke penthouse. Dalam keadaan panik akalnya tak
jalan. Dia bukannya orang yang tak bisa mengancam. Tapi dia tadi kaget
ketika Bram tidak gentar dengan ancamannya dan malah balik mengancam.
Dan dalam hati kecilnya dia menyadari sendiri bahwa yang dilakukannya
memang tak bisa dipertanggungjawabkan.
Dia akan sukar membela diri kalau sampai tersebar ada fotonya
beradegan intim dengan seorang perempuan yang bukan istrinya. Dan jelas
istri orang lain, malah. Tapi dia tak bisa menekan laki-laki itu
karena, akibat kemajuan zaman, dalam sekejap seluruh dunia bisa langsung
melihat segala yang disembunyikannya. Jadi dia hanya bisa bengong
menonton ketika Bram berjalan pelan-pelan membawa Sovi menuju pintu.
Bram membuka pintu. Sebelum keluar dari kamar itu membawa Sovi, dia
melontarkan peringatan sekali lagi.
“Saya nggak akan sebar foto-foto ini selama Bapak tidak ganggu kami…
Mohon Bapak ingat hubungan baik Bapak dengan keluarga kami. Itu buat
kebaikan kita semua.”
Bram dan Sovi kemudian keluar dari penthouse. Pak Walikota merasakan
kepalanya berat. Dan selangkangannya sakit. Dia ambruk lagi,
meringkuk, seperti tidak ada tenaga untuk bangun. Dia mulai
berteriak-teriak.
“Helga! Helga!” Dia memanggil pengawalnya. Sia-sia, orang yang
dipanggil sedang ada di bawah bersama para tamu dan karyawan yang
menyelamatkan diri dari “kebakaran”, dan malah mencari-cari Pak Walikota
di bawah.
*****
“Mas…” seru Sovi lirih kepada Bram ketika mereka berdua kembali di kamar suite lantai 4.
Bram menoleh dan melihat wajah cantik istrinya yang tampak
kelelahan. Dia membuka kamar mandi. di sana tadi dia melihat ada
beberapa kimono handuk, jadi diambilnya satu dan dipakaikannya kimono
handuk itu kepada Sovi.
“Ayo kita pulang, Sayang,” kata Bram lembut.
Semburan air dari sprinkler yang aktif mulai lemah. Tanpa banyak
kata, dengan genggaman tangan amat erat, keduanya melangkah keluar dari
kamar suite. Koridor yang basah. Tangga darurat, lantai demi lantai.
Pada Sovip langkah, Bram tak melepas rangkulannya atas Sovi. Sampai di
bawah, Bram tak mencari Citra. Kakaknya bisa mengurus dirinya sendiri.
Suasana ramai oleh orang-orang yang kebingungan mengira ada kebakaran;
tanpa menarik perhatian siapapun, Bram langsung menuju mobilnya di
tempat parkir.
Ketika dia duduk di belakang kemudi dan Sovi duduk di sampingnya, dia
merasa sedikit lega. Secepat mungkin Bram meninggalkan hotel itu,
menuju rumah. Sepanjang perjalanan Bram dan Sovi sama-sama membisu. Tak
lama kemudian mereka sampai di rumah. Bram memasukkan mobil ke garasi
lalu membantu Sovi keluar. Lalu Bram merasakan sesuatu dalam dadanya
yang membuat dia tidak ingin membiarkan Sovi berjalan sendiri dari mobil
ke dalam rumah. Tiba-tiba digendongnya istrinya itu, seolah mereka
pengantin baru, dengan dua tangan di depan tubuh. Dengan agak repot
Bram membuka pintu sambil menggendong Sovi, lalu dia langsung memboyong
Sovi ke kamar tidur mereka. Di sana dia membaringkan Sovi dengan lembut
di tempat tidur.
Dilihatnya mata Sovi berkaca-kaca.
“Mas… Aku… aku…” Sovi tak sempat melanjutkan apapun yang mau dikatakannya, karena Bram keburu memeluk dan menciumnya.
Dalam kepala Bram sendiri terngiang potongan-potongan kata-kata yang didengar dan diucapkannya, sekitar setahun lalu…
“Saya nikahkan ananda… Bramanda Arditya… dengan anak saya yang bernama Soviandra Rasni… “
“Saya terima nikahnya Sovi… maaf, Soviandra Rasni…”
Bram masih ingat bagaimana hadirin dan penghulu waktu itu tertawa
ketika dia salah menyebut nama panggilan Sovi dan bukan nama lengkapnya
ketika mengucap ijab qabul. Suasana bahagia namun tegang jadi cair,
tapi janji kesepakatan nikah itu dia ucapkan sungguh-sungguh, dan dia
menerima Sovi dalam hidupnya dengan segala tanggung jawab yang
menyertai. Termasuk, tentunya, menjaga istrinya. Bram sendiri baru
menyadari betapa nekad tindakannya tadi. Mulai dari membuat kehebohan
dengan menyabot sistem pemadam kebakaran hotel, sampai berkonfrontasi
langsung dengan seorang pejabat tinggi. Mengancam walikota! Kalau
untuk alasan lain, Bram mungkin akan pikir-pikir melakukan semua itu.
Tapi kalau demi Sovi…
“Maafkan aku…” bisik Bram ke telinga Sovi.
“Mulai sekarang aku nggak akan lepaskan kamu lagi…”
*****
I just want you close
Where you can stay forever
You can be sure
That it will only get better
Rasanya seolah malam pertama lagi bagi Bram. Biarpun dia hanya
meninggalkan Sovi beberapa hari, namun pertemuannya kembali dengan
istrinya harus didahului perjuangan. Namun dia sadar, demi Sovi dia mau
menahan diri dan menempuh semua bahaya.
You and me together
Through the days and nights
I don’t worry ’cause
Everything’s going to be alright
People keep talking they can say what they like
But all i know is everything’s going to be alright
Setelah tenang, Sovi menceritakan segalanya. Mulai dari keputusannya
mengubah penampilan atas saran Citra. Lalu semua yang dia sadari telah
dia alami. Segala kejadian aneh, segala perbuatan yang seharusnya tak
dia lakukan, peristiwa-peristiwa yang Bram belum tahu. Bram sendiri,
berdasarkan cerita Citra, tahu hal-hal lain yang Sovi sendiri tak tahu,
tapi dia biarkan istrinya menumpahkan semuanya. Termasuk bagaimana Mang
Enjup melibatkannya untuk melobi Pak Walikota, yang menyebabkan dia
jadi ada di hotel.
When the rain is pouring down
And my heart is hurting
You will always be around
This I know for certain
Sovi menyelesaikan ceritanya dan diam menunggu reaksi Bram. Marah?
Kecewa? Tidak, bukan itu. Bram memeluknya erat, menciumnya, dan malah
meminta maaf. Bram tahu, akar perubahan Sovi ada di dirinya sendiri,
keinginan dan kesukaannya. Dia senang dengan perubahan penampilan dan
sikap istrinya, tapi dia tak tahu bahwa perubahan itu kebablasan dan
telah menjerumuskan Sovi.
You and me together
Through the days and nights
I don’t worry ’cause
Everything’s going to be alright
People keep talking they can say what they like
But all i know is everything’s going to be alright
Kata-kata sudah cukup, dan digantikan oleh sentuhan. Karena mereka
sepasang kekasih, dan yang mereka butuhkan bukan kata-kata. Mereka
butuh bersatu kembali, dan itulah persatuan jiwa-raga dua manusia yang
sebenarnya…
I know some people search the world
To Bolangnd something like what we have
I know people will try, try to divide, something so real
So till the end of time I’m telling you there ain’t no one
Maka ketika mereka kembali bersatu, satu-tubuh, Bram di dalam Sovi,
semua terasa lancar dan wajar kembali. Bram tidak menginginkan apa-apa
lagi selain istri yang dicumbunya. Sovi merasa nyaman memasrahkan diri
kepada suaminya. Dan semua rindu, sesal, gairah, serta cinta
disempurnakan dengan sampainya mereka berdua bersamaan ke puncak
kenikmatan. Sepenggal surga yang dititipkan di dalam tubuh manusia.
No one, no one
Can get in the way of what I’m feeling
No one, no one, no one
Can get in the way of what I feel for you
–“No One”, Alicia Keys
*****
SATU SETENGAH TAHUN KEMUDIAN
Aku berusaha keras menahan supaya tidak buru-buru mencapai klimaks.
Sedikit lagi, ingin kubiarkan dia mendapat kenikmatan duluan. Kalau
tidak, dia bakal kesal dan merecokiku terus untuk cepat-cepat mampir
lagi.
“AHH!! IYA TERUSS!! KONTOL KAMU… AHG! MENTOK! PANJANG BANGET! NGHAHH!! KAMU APAIN AKUUU…”
Kuperhatikan wajah Citra di bawahku yang terguncang-guncang selagi
kugenjot dia kencang-kencang. Lipstik merah menornya sudah terhapus
ciuman demi ciuman kami, lapisan bedak tebal di mukanya pudar kena
keringat. Namun rias matanya masih utuh dan seksi. Dia
berteriak-teriak keras sekali sehingga aku yakin siapapun yang ada di
bangunan ini bisa mendengarnya. Kata-katanya, aku tak percaya
sepenuhnya, karena aku tahu dia perempuan penggoda berpengalaman yang
pasti lihai memikat dengan ucapan.
“HNNNGGGGHHH!!!!” Tiba-tiba Citra mengejang, memelukku erat dan
mencium bibirku, saking kerasnya sampai kukira dia bukan mencium tapi
menggigit. Selangkanganku terasa basah. Ah, dia sudah keluar…
Sesudah puas, Citra melepasku, wajahnya ambruk kembali ke bantal.
Kucium keningnya yang basah oleh keringat, tepat di antara kedua alisnya
yang dilukis.
“Ahh… Sayang… maaf aku keluar duluan… Sekarang giliran kamu ya?”
Seperti biasa, dia selalu minta maaf kalau dia dapat orgasme duluan.
Tapi kami sama-sama lebih suka seperti itu, karena kalau aku yang
duluan, malah repot membuat dia ikut klimaks. Dia langsung menjalankan
prosedur standarnya. Dia mulai mendesah-desah lagi, berlebihan, sambil
membisikkan kata-kata kotor sementara liangnya yang becek kusumbat
dengan batangku…
“Ah… oh… fuck me baby… Entot aku… Entot Citra… Aku pengen peju kamu… Semburin peju kamu di dalam memek aku… Ahhn…”
Dan biasanya kalau dia sudah keluar, kulepas juga kontrol atas
kontolku, kubiarkan orgasme yang kutahan berjalan dengan sendirinya.
“Ahh… ah Cit… aku… NGHH!!”
Kurasakan kemaluanku menegang dan meledak di hangat jepitan vagina
Citra, entah kenapa terasa lebih hangat, dan kutembakkan benihku di
dalam sana sambil kepalaku menyuruk ke dada Citra.
“Ah… terus Sayang… aku suka banget kalo kamu keluarin di dalam…”
Citra menyemangatiku sambil satu tangan memeluk kepalaku dan
mengelus-elus rambutku, tangan lain mengitik-ngitik lubang anusku, dan
pinggulnya digoyang perlahan memeras penisku.
Penisku berkedut-kedut di dalam vaginanya, melontarkan seluruh
isinya. Ketika semuanya sudah keluar tubuhku ambruk menimpa tubuh
Citra.
“Unghhh…” keluhku, keenakan sekaligus kelelahan. Citra tersenyum
lalu mendorong tubuhku. Ketika kucabut senjataku yang masih tersisa
ketegangannya…
“Lho, kok copot?” gumamku melihat kondom yang tadi kupasang sudah tidak ada.
“Eish… nyangkut di dalam. Pantesan tadi enak banget…” kata Citra yang kemudian menuju kamar mandi untuk segera cuci-cuci.
Aku ambruk lagi, telungkup, sambil nyengir dan berharap kalau Citra
langsung membasuh kewanitaannya, kecelakaan crot di dalam itu tidak
bikin aku jadi harus bertanggung jawab…Setelah berbaring beberapa lama,
aku bangun dan membersihkan diri juga. Citra sudah selesai. Ketika aku
keluar dari kamar mandi mengenakan handuk, kulihat Citra sudah kembali
mengenakan pakaian, kaos ketat dan rok mini. Selesai berpakaian, Citra
mengajakku keluar dari kamar itu.
“Ayo, kita ngobrolnya di depan aja,” ajak Citra. Kami pun keluar
dari kamar itu menuju bagian depan. Tempat itu adalah salon Citra.
Di depan, dua perempuan sedang duduk-duduk. Yang satu bertubuh
pendek montok dengan payudara besar dan rambut diwarnai pirang. Satunya
lagi bertubuh langsing. Mereka adalah Prily, anak buah Citra yang
sudah lama ikut dengan Citra, dan Helen, mantan SPG kosmetik yang baru
diajak kerja Citra di tempatnya.
Prily nyeletuk,
“Udah lega, Mbak Citra? Kan Masnya udah dateng nengokin. Pasti kepalanya udah nggak pusing lagi ni~”
“Hus, jangan sembarangan,” seru Citra. Aku dan Citra lalu duduk agak jauh dari Prily dan Haula.
“Lanjutin ceritanya,” kumulai lagi pembicaraan.
“Tadi kepotong di bagian adik kamu bawa pulang istrinya.”
“Kamu kenapa sih penasaran banget ama mereka?” tanya Citra sambil mengerling genit.
“Kok bukannya penasaran sama akuu?”
Aku senyum saja. Tapi, sejak aku mulai dengar kisah Bram dan Sovi
dari Citra, aku memang tertarik. Citra mesem-mesem, lalu kembali
bercerita.
“Beberapa hari sesudah itu, Bram ketemu sama orangtua kami. Dia
ngasih tahu tentang pembukaan cabang baru perusahaan di kota-nya
Enrico. Lalu dia minta untuk diserahi tanggung jawab pegang cabang
itu. Orangtua kami setuju. Jadi Bram langsung boyong Sovi, pindah ke
sana.”
“Bram juga mau jauhin Sovi dari Mang Enjup dan Pak Walikota ya,” kutimpali.
“Iya, emang itu niat adikku. Sesudahnya ya … mereka berdua di sana,” Citra menyudahi ceritanya. Aku mengangguk-angguk.
“Tapi mereka masih sering pulang nengok rumah. Rumah sebelah, rumah
mereka. Aku yang diminta jagain, tapi aku lebih suka di sini. Dan
mereka kemarin bilang mau datang hari ini,” kata Citra.
Tak Beberapa lama kemudian, kudengar suara mobil berhenti tak jauh
dari salon. Citra keluar. Aku mengikuti. Kulihat mobil terparkir di
depan rumah sebelah. Dari dalamnya keluar beberapa orang. Pertama,
dari balik pintu pengemudi, muncul seorang laki-laki muda. Citra
mendekati dan merangkulnya. Laki-laki muda itu pasti Bram.
Kuperkirakan dia seumuran denganku. Lalu dari pintu penumpang, muncullah
seorang perempuan cantik. Rambutnya yang lurus sebahu digerai,
tubuhnya yang aduhai terbungkus pakaian yang anggun namun aku bisa
melihat lengkung pinggulnya yang cantik membentuk di balik rok.
Wajahnya dirias dengan apik.
Inikah Sovi?
Aku sudah mendengar ceritanya dari Citra. Semua yang mereka alami.
Dan rasanya cocok kalau perempuan muda ini jadi tokoh utamanya. Meski
pakaiannya tergolong sopan dan dandanannya tak semeriah Citra, Sovi
memancarkan aura keseksian yang sangat kuat, dari penampilan maupun
pembawaan. Perubahannya tidak hilang. Tapi aku yakin sekarang dia
hanya menyajikan dirinya seperti itu bagi suaminya. Yang belum Citra
ceritakan adalah yang sedang digendong Sovi.
Seorang bayi yang lucu,
berumur kira-kira tiga atau empat bulan… Kucoba melihat wajah bayi itu
dengan lebih jelas, dan ketika kulihat kemiripan anak itu dengan Bram,
entah kenapa hatiku terasa lega. Dari jauh kuperhatikan keluarga muda
itu; Bram, Sovi, dan buah hati mereka. Kelihatannya mereka bahagia.
Namun di balik itu ada kisah yang seru. Tentang sepasang kekasih yang
saling berjuang demi pasangannya. Rasanya sayang kalau berlalu begitu
saja.
Atas dasar itu, kugoreskan pena menulis kisah mereka.
No comments:
Post a Comment