AGEN POKER
Cerita Dewasa / Cerita Sex / Cerita ABG / Cerita Dewasa Hot / Cerita Dewasa SMA / Kumpulan Cerita Dewasa
Pernikahannya berlangsung seperti normalnya orang menikah. Sampai
suatu saat, Sovi menemukan beberapa foto PSK di HP suaminya… sehingga ia
bertanya dalam hati. apa yang bisa dia lakukan agar suaminya tak lagi
perlu jajan? Mungkin saran kakak iparnya bisa dicoba.
Sovi memberikan HP kepada kakak iparnya untuk memperlihatkan
foto-foto yang diambilnya dari HP suaminya, Bram. Vera, kakak ipar Sovi,
menyandarkan punggung ke kursi salon yang didudukinya sambil membuka
satu per satu foto-foto itu. Di cermin terlihat pantulan muka Sovi yang
cemberut.
“Oo,” gumam Vera tanpa ekspresi,
“Beginian. Dasar Bram. Penyakit lama, nih”.
Sovi agak kesal melihat kakak iparnya—merangkap pemilik salon tempat
mereka berdua ngobrol—‘biasa saja’ melihat foto-foto perempuan lain yang
membikin Sovi dan Bram bertengkar dua hari lalu. Waktu itu Sovi makin
marah ketika Bram mengakui bahwa perempuan-perempuan itu PSK.
“Penyakit lama, Kak Vera? Apa dari dulu Mas Bram memang suka jajan?”
“Emmm…” gumam Vera sambil mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang ada di meja,
“Iya sih. Lho kamu kok malah baru tahu. Gimana. Kamu kan istrinya.”
Sovi malu sendiri. Tapi dia memang tidak bisa disalahkan, karena
pernikahannya dengan Bram baru berjalan setahun, dan sebelumnya mereka
berdua tidak pernah pacaran. Keduanya memang dijodohkan oleh orangtua
masing-masing yang rekanan bisnis, dan sekarang mereka sama-sama
disiapkan jadi penerus usaha keluarga besar mereka. Sovi dan Bram sudah
kenal sejak kecil, tapi mereka baru mulai saling mengakrabkan diri
setelah menikah. Satu yang Sovi tahu, keluarga Bram memang longgar dalam
mendidik anak-anaknya.
Jadi seharusnya dia tidak heran kalau Bram
ketahuan punya kebiasaan buruk seperti itu. Sama saja dengan kakak Bram,
Vera. Vera yang sekarang berumur 30-an tadinya malah disiapkan untuk
dijodohkan dengan seorang saudara Sovi, tapi karena terbiasa bergaul
sangat bebas, Vera dihamili temannya waktu kuliah dan terpaksa
dinikahkan—dan selanjutnya diusir karena bikin malu keluarganya.
“Terus gimana nih?” Vera bicara sambil menjepit rokok yang baru
dinyalakan dengan bibirnya yang tersaput lipstik merah jambu tebal.
“Kamu udah dua hari nggak ngomong sama Bram. Apa mau terus-terusan?
Ah, tapi kamu kan anak baik. Pasti kamu mikirin keluarga besar kita. Gak
enak sama mereka kalau sampai… cerai.”
“Nggak!” jerit Sovi.
“Bram emang salah sih, tapi Kak, aku nggak niat cerai sama dia. Aku
udah mulai belajar sayang dia Kak. Dan aku juga baru tahu kebiasaan dia
yang ini. Makanya aku datang minta saran Kak Vera, gimana baiknya aku
hadapi masalah ini. Kak Vera kan lebih kenal Bram,” suara Sovi mengecil
karena malu,
“…lagian aku nggak mau nyusahin orangtua kita semua.”
Baik banget ini anak, pikir Vera. Cuma saat itu juga Vera merasa
dapat satu lagi alasan yang bisa dia kasih kalau ada orang tanya
pendapat dia tentang menikah tanpa pacaran. Sovi, yang tidak pernah
pacaran dengan Bram, kaget waktu kebiasaan buruk Bram ketahuan sekarang.
Kalau Sovi pacaran dulu sama Bram, pastinya mereka bisa lebih saling
ngerti, atau bisa putus tanpa repot kalau memang Sovi nggak suka. Vera
mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu menyemburkan asap dari mulut. Sovi
menghindar sambil mengipas-ngipas di depan muka.
Kakak iparnya itu sudah
merokok sejak SMA, dan kadang-kadang Sovi mengira Vera selalu
bermake-up tebal (seperti saat mereka ngobrol sekarang) untuk menutupi
penuaan dini di mukanya yang sudah belasan tahun kena asap rokok. Vera
memang tidak pernah tampil tanpa riasan lengkap, rambut tertata, dan
pakaian mencolok; tidak hanya sejak dia membuka salon, tapi sejak dia
remaja. Sovi melihat Vera seperti berpikir sambil merokok, lalu
membetulkan tali sackdressnya yang melorot dari bahu. Sackdress hitam
agak transparan itu gagal membuat bra merah yang ada di bawahnya tidak
kelihatan. Vera lalu menaruh rokoknya di asbak, tersenyum, berdiri, lalu
mendekati Sovi.
“Kalau menurutku sih begini saja…”
………………………………
“KOK GITU SIH CARANYA???” Sovi tidak bisa menahan volume suaranya
setelah mendengar saran Vera sampai habis. Yang memberi saran dengan
santainya mengambil lagi rokok yang tadi ditinggal lalu meneruskan
menyedot batang rokok.
“Terserah kamu sih. Saranku ya gitu. Kalau mengingat sifatnya Bram
sih kupikir cara itu mempan. Kalau kamu mau coba tanya orang lain,
silakan.”
“…” Sovi diam saja.
“Kalau kamu mau, aku siap bantu. Gratis,” kata Vera, sambil nyengir.
“Bukan cuma sekali, tapi seterusnya juga boleh. Hitung-hitung balas budi
sama kalian yang udah bantu aku selama ini.”
“…Sebentar. Aku pikir-pikir dulu,” bisik Sovi, menimbang-nimbang.
Ternyata dia perlu waktu lama sekali buat menimbang-nimbang.
Berkali-kali dilihatnya lagi foto-foto yang diambilnya dari HP Bram.
“Mas, aku mau bicara sama kamu nanti malam.” SMS itu Sovi kirim ke HP Bram.
Bram, yang sudah uring-uringan sejak bertengkar dengan Sovi setelah
‘foto-foto kenangan’nya ketahuan, menarik nafas lega di kantor.
Menjelang sore.
Sesudah memastikan jalanan di luar kosong, Sovi langsung keluar dari
salon Vera dan secepatnya menuju rumah besar di sebelahnya. Rumah itu
rumah Bram dan Sovi; Vera tinggal dan buka usaha di sebelah rumah mereka
berdua. Sewaktu mau membuka pagar rumahnya sendiri, Sovi kalang-kabut
ketika melihat mobil Mercedes-Benz hitam muncul di ujung jalan. Tapi dia
sempat masuk ke rumah sebelum Mercy itu lewat. Mercy itu tidak berhenti
di rumahnya, karena memang itu mobil orang lain; mobil mewah itu
berhenti di depan salon Vera. Dari balik pintu supirnya keluar seorang
laki-laki, yang lantas mengunci Mercy itu, lalu masuklah dia ke salon
Vera. Semua itu tidak sempat diperhatikan Sovi. Sovi sendiri sudah cukup
lega karena tidak kepergok siapapun dalam perjalanan yang cuma beberapa
meter saja dari tempat kakak iparnya.
“Aku pulang kira-kira sejam lagi.” SMS dari Bram masuk ke HP Sovi.
Sovi duduk sendirian di dalam kamar di depan cermin. Normalnya dia
bakal melihat rona mukanya sendiri berubah merah karena perasaannya yang
campur aduk, tapi kali ini agak susah bagi dia. Rumah itu baru terisi
mereka berdua, Bram dan Sovi, yang menikah tahun lalu. Belum ada anak.
Selama ini kehidupan mereka lancar-lancar saja. Sovi ‘si anak baik’
menerima saja ketika orangtuanya dan orangtua Bram memutuskan perjodohan
mereka. Bram juga bukan suami brengsek. Setidaknya sampai belangnya
ketahuan beberapa hari lalu. Hanya saja Sovi sering merasa Bram seperti
bosan dengan dirinya.
Sovi masih muda. Bram lebih tua sedikit. Setelah lulus kuliah
keduanya dijodohkan dan tak lama sesudahnya menikah. Karier mereka
berdua terjamin karena mereka berdua akan meneruskan usaha yang dirintis
orangtua-orangtua mereka, dan mereka sama-sama sedang bekerja di sana,
hanya di bagian yang berbeda. Sovi punya banyak waktu luang dan bisa
bekerja di rumah, sedangkan Bram banyak bepergian keliling kota dan
kadang-kadang ke daerah. Sebenarnya Bram tidak bisa dibilang rugi
dijodohkan dengan Sovi, yang berwajah lumayan menarik.
Vera, yang sudah
kenal duluan dengan Sovi sebelum Sovi mengenal Bram, pernah bilang dia
iri dengan tubuh Sovi yang lebih sintal daripada tubuhnya sendiri. Tapi
kalau keduanya berjejer, orang bakal lebih banyak yang menengok ke arah
Vera daripada Sovi, gairahsex.com karena Vera selalu tampil ‘meriah’
dengan dandanan cenderung menor dan pakaian seksi, sementara Sovi selalu
terlihat polos dan biasa berpakaian konservatif. Sovi masih tidak
percaya kenapa akhirnya dia setuju mencoba saran Vera. Tapi, pikirnya,
dicoba sajalah… tidak ada salahnya.
Bram menyetir pulang membawa oleh-oleh kue coklat untuk istrinya yang
dia kira masih ngambek, tapi sudah beritikad baik mengajak berdamai.
Dia sadar, dia sendiri salah. Sudah kawin kok masih doyan jajan. Tapi,
yah, kebiasaan lama susah luntur. Dan ada hal-hal yang dia kira tidak
bakal dia dapat dari Sovi. Bunyi SMS datang di antara bunyi radio mobil.
Pesan dari seorang perempuan yang fotonya sampai tadi pagi ada di HP
Bram. Sekarang semua foto itu sudah hilang dari HP Bram (tapi pindah ke
tempat-tempat lain, tentu saja). Dan Bram tidak menanggapi ajakan dalam
SMS itu.
“Jangan dulu deh”, pikir Bram.
Sovi mendengar bunyi mobil Bram dan sesudahnya bunyi pintu rumah
dibuka. Dia menenangkan diri, mengulang lagi semua yang mau dia lakukan
(atas saran Vera), dan bersiap-siap. Tangannya dingin. Berjam-jam sudah
dia habiskan untuk persiapan dengan dibantu Vera tadi. Dalam hati dia
berusaha membenarkan pilihannya dengan mengatakan, mungkin ini memang
perlu, demi kami berdua, dan demi keluarga. Tapi dalam hatinya
berkali-kali terselip rasa penasaran. Dia ingin tahu, bagaimana jadinya
nanti. Bagaimana kira-kira reaksi Bram. Bagaimana kira-kira reaksi dia
sendiri.
“Sudah waktunya.” pikirnya
Bram melongo di pintu, memelototi Sovi yang berdiri di depannya.
Malam itu, Sovi berubah. Sovi yang sederhana dan terkesan baik-baik
sedang tidak hadir. Sebagai gantinya…Sovi tampil beda. Dia memakai gaun
mini ketat berbahan satin berwarna hitam yang panjangnya tidak sampai
menutupi setengah pahanya, sehingga memperlihatkan stocking jala hitam
yang membungkus kedua kakinya sampai berujung ke sepasang stiletto hak
tinggi. Di atas pinggang, gaun mini itu mendesak sepasang payudara Sovi
sampai nyaris tumpah ke luar, sementara pundaknya terbuka.
Kebetulan
warna kulit Sovi coklat muda. Bukan putih atau kuning atau sawo matang,
tapi warna di antaranya. Itu juga yang membuat lapisan bedak yang
membuat mukanya lebih putih terkesan lebih kentara, karena kontras
antara warna muka dan badan. Ketika Sovi berkedip, tampak rona biru muda
di kelopak matanya, di bawah alis yang dibentuk dan dipertegas.
Kedipannya juga menunjukkan bulu mata palsu yang menempel di kedua mata.
Pipinya bersemu merah, tapi karena polesan.
“Kok bengong aja, Mas? Kamu suka yang kayak gini, kan?”
Kata-kata itu meluncur dengan nada menantang dari sepasang bibir Sovi
yang kali ini tidak telanjang. Biasanya Sovi paling-paling hanya
memakai lip gloss, namun malam itu mata Bram tidak bisa lepas dari bibir
Sovi yang tampak lebih penuh dan sensual. Merah, mengilap, menantang.
Seperti itulah saran Vera untuk Sovi.
“If you can’t beat ‘em, join ‘em.” Vera kenal benar dengan Bram.
Adiknya itu tidak bisa dibilang ganteng, malah tampangnya terhitung
pas-pasan. Maka itu sejak dulu Bram selalu kurang mujur dalam
percintaan; biarpun dia anak pengusaha, tetap saja jarang ada cewek yang
mau dengannya. Jadi dia terbiasa lewat jalan pintas dengan jajan. Dan
seleranya jadi terbentuk ke arah penampilan ‘khas’ cewek-cewek penjaja
cinta: dandanan seksi tapi terkesan murahan. Perempuan-perempuan macam
itulah yang fotonya Sovi temukan di HP Bram.
“Sovi… kamu… ini maksudnya…?”
Melihat Bram bengong saja, Sovi mengingat-ingat lagi apa kata Vera
mengenai bagaimana dia harus bersikap. Jadi dia segera maju mendekati
Bram dan menarik dasi Bram. Bram melihat istrinya menatap tajam matanya,
sambil mencium bau parfum yang lumayan keras.
“Kenapa? Gak seneng kalo aku kayak gini?”
Bram kewalahan, takut salah ngomong di depan istrinya yang entah
kesambet apa sampai mendadak makeover jadi seperti WP langganannya. Dia
cuma bisa menjawab pelan-pelan.
“Bukan… bukan gitu… tapi kamu… Aku… nggak…”
Sovi tambah sewot. Maksudnya apa itu? Apa dia malah gak suka aku jadi
seperti ini? Melihat muka Bram yang tambah panik, Sovi memberanikan
diri untuk agresif. Dipepetnya Bram ke tembok, sambil masih memegang
pangkal dasi Bram—seperti siap mau mencekik. Bram lebih besar dari Sovi,
tapi saat itu seperti tidak punya kekuatan untuk melawan Sovi.
Sementara tangan kanannya siap membuat Bram susah bernafas, tangan kiri
Sovi mencari-cari bagian tubuh Bram yang paling jujur.
Tuh, kan… pikir Sovi. Dia merasakan kemaluan Bram mengeras di balik celana.
Sovi meremas pelir Bram.
“Masih mau bohong?” katanya sengit.
AGEN POKER TERPERCAYA
“Aku udah tahu. Kamu paling suka ngelihat cewek dandan sampe
kelihatan murahan kayak gini kan? Itu kan alasannya kamu masih terus aja
jajan di luar biarpun kamu udah punya aku kan?”
Bram mau menjawab, sekaligus merasa agak nyeri di bijinya yang ada di
cengkeraman Sovi. Sovi sudah kelihatan marah sekarang. Tapi Bram tidak
bisa menyangkal bahwa dia terangsang melihat Sovi berani tampil seperti
itu. Cuma dia tidak berani bilang.
“Gak usah nyangkal,” desis Sovi.
“Aku udah tahu seperti apa kamu sebenarnya, Mas. Tapi aku gak senang
kalau kamu gak terus terang aja. Aku kan istri Mas Bram? Apa susahnya
sih ngasih tau aku apa yang kamu suka?”
“Habisnya…” Bram meringis.
“…ya, kupikir dibilangin juga kamu ga bakal mau…”
“Jadi kamu ga nanya dulu, nyangka aku ga mau, makanya kamu milih
ngentot sama lonte? Gitu? Apa ga pernah kepikiran kalau aku bisa aja mau
ngikutin kemauan Mas?”
Bram menunduk, tidak berani bicara. Pada saat yang sama, dia tambah
terangsang mendengar Sovi berani ngomong jorok seperti itu. Tambah
sempit saja celananya terasa. Sovi juga merasakan itu.
“Tuh, yang di bawah situ udah ngaku,” sindir Sovi.
“Bilang aja kalo suka, Mas. Jujur aja.”
“Eh… i… iya… kamu… em… cantik?” Bram merasa salah ngomong, tapi tidak tahu yang benarnya seperti apa.
“Cih. Kaya’ gini yang dianggap cantik? Seleramu payah amat, Mas,”
maki Sovi, walaupun dalam hati kecilnya dia senang juga dipuji seperti
itu.
“Tapi daripada kamu gak mau berhenti jajan…” Sudah waktunya, pikir Sovi. Lanjut…
“…mending kukasih aja.”
Didorongnya Bram ke sofa ruang depan sampai Bram terduduk. Dengan
tidak sabaran Sovi langsung naik ke pangkuan Bram dan memaksa mencium
bibir Bram. Bram awalnya kelabakan, tapi langsung menyerah pada desakan
Sovi. Hampir 10 menit bibir mereka bertempur, lidah mereka saling
serang. Buat Sovi sendiri, perlu kekuatan tekad sangat besar untuk bisa
berpenampilan dan bersikap seperti saat itu. Seumur hidup belum pernah
dia seagresif itu, jadi dia deg-degan sendiri waktu akhirnya berani
bicara keras di muka Bram. Tapi itu baru permulaan. Dia sudah berniat
mau habis-habisan malam itu, dan meyakinkan Bram untuk seterusnya bahwa
dia tidak mau lagi Bram main-main di luar. Artinya, dia sendiri harus
melakukan semuanya supaya Bram tidak lagi punya alasan. Tangan kiri Sovi
membuka kancing dan resleting celana Bram. Sovi belum pernah melakukan
seks oral dengan Bram sebelumnya, karena Bram tak pernah minta, dan Sovi
sendiri kurang inisiatif. Tapi malam itu Sovi tidak ragu-ragu dan tidak
menunggu Bram.
Setelah penis Bram yang sudah mengeras terbebas dari celana, Sovi
langsung menggarapnya. Jilat dan sedot. Bram terpana melihat bibir merah
Sovi naik-turun mengelus anunya. Bukan pertama kali dia disepong;
cewek-cewek langganannya lebih kenal dengan rasa kemaluan Bram daripada
Sovi. Karena itu juga Bram mulai bisa tenang lagi, menghilangkan kaget
sambil memikirkan apa yang sedang terjadi. Sambil menjilati ereksi Bram,
Sovi terus menahan rasa malu dan segan. Dia sudah tidak merasa jadi
diri sendiri sejak pertama kali Vera selesai mempermak habis
penampilannya dan dia melihat sendiri mukanya di cermin. Wajah perempuan
bermake-up tebal yang asing itu terlihat norak sekaligus menggoda. Sovi
sempat terpikir bahwa itu sudah berlebihan, tapi dia mencoba menerima
saja hasil karya Vera di mukanya.
Perempuan di cermin itu tidak terlihat seperti dia, tapi itu memang
dia. Pakaian yang dipinjamkan Vera pun tidak mencerminkan kepribadiannya
yang biasa, tapi Sovi diam saja. Biarpun harus menahan malu, dia harus
mencoba dulu. Demi Bram. Demi dia sendiri…Berhubung Sovi baru pertama
kali mempraktekkan fellatio, aksinya masih canggung. Dia tidak tahu
apakah Bram suka atau tidak. Dia berhenti lalu melirik ke arah muka
Bram. Bram sudah merasa pegang kendali. Satu hal yang tidak diceritakan
Vera ke Sovi, karena Vera sendiri tidak tahu: kalau bersetubuh dengan
wanita bayaran, Bram terbiasa dominan dan cenderung melecehkan lawan
mainnya. Itu juga salah satu alasan Bram ragu-ragu meminta Sovi
mengikuti kemauannya. Bram tidak yakin istrinya bakal mau, dan kuatir
kalau Sovi tahu apa kesukaannya, masalah bisa muncul. Beda kalau dengan
PSK; dia tinggal bayar lebih supaya mereka mau meladeni permintaannya,
atau cari cewek lain yang mau. Sekarang ternyata Sovi sendiri memberi
sinyal bahwa sebenarnya dia mau mengikuti kemauan Bram. Dan Bram mulai
sadar bahwa justru itulah yang dia tunggu-tunggu.
“Kok berhenti?” kata Bram, dengan nada tegas.
“Udahan, nih?”
Sekarang gantian Sovi yang kaget. Dia menganggap apa yang dia lakukan
itu semacam akting, role-playing, bermain peran. Dia tidak menyangka
Bram bakal secepat itu mengerti dan ikut ‘bermain’. Gara-gara salah
perhitungan itu, perannya buyar. Dia merasa konyol karena bengong
sementara bibirnya masih di seputar burung Bram.
“Jangan dipaksain kalo emang gak bisa,” kata Bram, mulai yakin bahwa
dia sudah membalik keadaan. “Tapi kamu sendiri yang ‘masang’. Ya udah.
Sekalian.”
Sovi melihat sekilas Bram nyengir jahat lalu merasakan kedua tangan
Bram mencengkeram kedua sisi kepalanya. Sebelum Sovi sempat bicara, Bram
berdiri, lalu dengan gencar memaksa kepala Sovi bergerak maju-mundur
menyervis anunya. Sovi kelabakan sendiri, dan cuma bisa mengeluarkan
bunyi-bunyi tak jelas selagi mulutnya berubah jadi alat masturbasi Bram.
Bram memutar tubuh sambil menarik Sovi sehingga sekarang Sovi
membelakangi sofa. Lalu Bram menundukkan badan sehingga kepala Sovi
terdorong sampai berbantalkan jok sofa. Setelah dalam posisi itu, Bram
langsung menggerakkan pinggulnya membabi-buta, penisnya mengaduk-aduk
seisi mulut Sovi yang tidak bisa apa-apa selain menerima. Beberapa
genjotan kemudian, Bram melenguh keras dan muncrat di dalam mulut Sovi.
Setelah ejakulasi, Bram keluar dari mulut Sovi. Sovi terbatuk, berusaha
mengeluarkan mani Bram dari dalam mulutnya. Bram melihat itu dan
langsung menghardik.
“Heh. Siapa suruh muntahin? Telan.” Sovi yang masih kaget tidak
sempat berpikir apa-apa lagi, secara refleks diikutinya perintah Bram.
Sovi memalingkan muka selagi menelan. Dia berusaha bangun, sementara
Bram berdiri mengangkang di atas badannya. Sovi beringsut ke sofa. Bram
tersenyum penuh kemenangan sambil membuka dasinya. Dilihatnya Sovi
meringkuk di sofa. Sekarang istrinya itu terlihat ketakutan. Memang.
Sovi seperti baru melepaskan anjing galak dari ikatan, dan sekarang
anjing galak itu malah mengancamnya.
Ganti Bram yang mendesak Sovi di sofa. Kedua tangan Bram memegangi
kedua pundak Sovi sementara tubuhnya merapat ke tubuh Sovi. Dilihatnya
lagi wajah Sovi yang sedang main pura-pura jadi sundal itu. Walau ada
yang cemong sedikit gara-gara mukanya tadi digagahi, bibir Sovi masih
merah, maskaranya belum luntur, bedaknya masih ketebalan. Topeng wanita
murahan-nya masih ada. Cuma ekspresinya memang berubah; kalau tadi
ekspresi PSK cari mangsa, sekarang tampang PSK kena razia. Tapi Bram
yang mulai menikmati perubahan istrinya tidak mau membiarkan Sovi balik
lagi seperti yang dulu. Bram terpikir untuk bersikap gentleman dengan
langsung melepas Sovi, meminta Sovi menghapus semua rias wajahnya dan
ganti baju biasa, lalu meminta maaf dan kembali bersikap mesra. Tapi
Bram tidak mau buru-buru melepas kesempatan. Mumpung istrinya lagi ingin
bergaya binal, kenapa tidak dimanfaatkan sepuasnya?
“Mestinya dari dulu kamu begini,” kata Bram di depan muka Sovi, “Tapi
kalo udah susah-susah dandan kayak gini, jangan setengah-setengah dong!
Terusin aja.” Sovi seperti berusaha meraih mukanya—maksudnya mau minta
french kiss dari Bram, tapi Bram berkelit. Dia belum lupa tadi habis
membuang apa di mulut Sovi. Selagi Sovi kecewa, Bram menyerang sasaran
lain. Dibuatnya leher, pundak, dan bagian atas payudara Sovi berbekas
cupang merah. Lalu diangkatnya ujung bawah gaun mini Sovi. Di situ Bram
mendapati Sovi tidak pakai celana dalam.
“Niat banget, ya? Sengaja ga pake CD?” goda Bram.
“Atau sedari tadi kamu udah gak tahan jadi self service dulu?” Yang digoda membuang muka karena malu.
Dengan leluasa Bram melalap selangkangan istrinya. Hingga malam itu
kehidupan seks Sovi dan Bram relatif monoton; mereka biasanya cuma
berhubungan seks biasa, sekadar bermesraan, petting, setubuh dengan
posisi normal, tak banyak variasi. Sovi tidak mempermasalahkan; Bram
merasa kurang tapi tidak mau bilang ke Sovi dan memilih melampiaskannya
di luar. Jadinya, ya, baru kali itu juga Sovi menikmati memeknya dimakan
Bram. Sensasinya langsung membuat Sovi mendesah-desah keenakan sambil
menjepit kepala Bram dengan kedua pahanya. Sovi sampai lupa terpikir
untuk membalas perlakuan Bram tadi dengan tindakan yang sama, berhubung
posisinya sekarang kebalikan yang tadi. Bram berkali-kali menyenggol
G-spot Sovi dengan lidahnya.
“Mmmhhh…. Aaa!!Mass Brammm!!”
Sovi terengah-engah karena kenikmatan melanda badannya. Tangannya
gemetaran, mulutnya menganga. Tapi tiba-tiba Bram berhenti dan berdiri.
“Yahh??” Sovi merengek kecewa. Bram menatapnya dengan pandangan
lapar… dan iseng. Bagaimana kalau kita main-main dulu… pikir Bram.
“Mas Bram… terusin dong…” pinta Sovi. Bram cuek.
“Gak mau.”
“Mas Braamm…”
Bram maju. Tangannya memegang tangan Sovi. Bibirnya mendekati bibir
Sovi, seolah mau mencium, tapi sekali lagi Bram berkelit dan malah
mengulum telinga Sovi. Sementara itu tangannya membawa tangan Sovi ke
arah kemaluan Sovi.
“Main sendiri. Sana. Di depanku. Aku pengen lihat lonteku ngobok mekinya sendiri. Gih.”
Bram lalu mundur dan melepas tangan Sovi. Sovi diam sejenak, lalu
dengan ragu-ragu mulai. Entah kenapa, biarpun kata-kata Bram tadi sangat
melecehkan kalau dalam keadaan normal, Sovi justru malah terangsang
mendengarnya. Dia membebaskan buah dadanya dari balik baju dan
mencubit-cubit pentilnya yang mengencang. Tangan satunya lagi
mengelus-elus bibir vagina.
“Kayak gini Mas?… Gimana… ah… ahhh… Lihat aku Mas…”
Bram sendiri sibuk mengocok anunya, sambil terus ngomong.
“Ya. Terus. Gitu. Masukin jarimu ke sana. Jangan cuma satu, tapi dua
sekalian. Kobel terus. Gimana. Udah tahu gimana rasanya jadi sundal?
Enak?”
“Ah… ah… Mas lihatin aku… enak mas…“
“Mainin terus tuh pentilmu… jepit, cubit. Ah, sayang susumu gak
segede itu. Kalo lebih gede kamu bisa gigit-gigit sendiri tuh pentil.
Remas terus. Pencet terus.”
“Maafin kalo kurang gede Mas… uh, ungh… Mas aku jangan dibiarin sendiri terus dong… isep toketku Mas…”
“Gak. Pokoknya aku mau lihat kamu sampe klimaks. Terusin aja ngentot jari-nya.”
“Ah… ah… iya Mas… ini kuterusin… engh…” Erangan Sovi diseling suara becek dari vaginanya yang dia obok-obok sendiri.
“Gimana Sovi? Suka gak jadi lonte? Tau nggak, aku langsung ngaceng
begitu lihat kamu yang dandan abis tadi. Sampe sekarang juga masih.
Biarpun tadi udah, kayaknya sebentar lagi aku ngecrot lagi.” Bram terus
memancing-mancing Sovi.
“Auhhh…. Engg… Hahh, iya, iya Mas, ah… ah…”
“Ini baru di dalam rumah. Coba kalo kamu tadi keluar. Bayangin orang banyak ngelihat kamu. Apa nggak konak semua mereka.”
Kata-kata Bram memancing khayalan Sovi. Bram tidak tahu tadi Sovi
sempat ada di luar sebentar, waktu buru-buru pergi dari salon Vera ke
rumah. Tadi Sovi bersyukur tidak kepergok siapapun termasuk orang di
mobil Mercy hitam yang lewat. Sekarang dia membayangkan sendiri andai
dia tadi kepergok. Bukan cuma oleh satu orang, tapi banyak. Dan mereka
semua terangsang melihat penampilannya yang menggoda. Dan dia dikerubuti
oleh mereka, dipegangi, ditelanjangi, dipaksa…
“AHH~!!” Bibir merah Sovi menganga, mengerang tertahan, selagi
kepalanya tersentak ke belakang dan sekujur tubuhnya gemetar. Dia
orgasme gara-gara khayalan tadi.
“Ah… hah… ah…” nafas Sovi tersengal-sengal setelah mencapai klimaks.
Bram mendekati Sovi, setengah mati berusaha menahan semburan dalam
penisnya, menarik Sovi, dan dengan lega menyemprotkan spermanya ke muka
Sovi yang bermake-up tebal itu.
“CROTT…. CROTT…”
Sovi terduduk di lantai. Dia mau mengusap cairan lengket di mukanya, tapi Bram menahan tangannya.
“Biarin dulu! Aku mau lihat mukamu kayak gini!”
Bram melihat maninya berleleran melintang di pipi dan hidung Sovi.
Muka pelacur yang habis dientot. Dia merasa lebih suka istrinya yang
versi ini.
“Ahh… Maass…” Sovi merengek. Entah karena apa. Dan Bram merasa masih kuat melanjutkan. Tapi dia perlu istirahat sebentar—
“Gak pernah aku lihat kamu seseksi ini,” kata Bram. “Tuh, yang di bawah udah pengen lagi.”
“Kamu juga jadi lain, Mas…” Sovi bilang,
“Aku baru tahu… apa ini yang Mas dapat dari cewek-cewek lain itu?”
Bram agak kesal karena Sovi masih juga mengungkit-ungkit
kebiasaannya, dan tidak menjawab. Dia malah menyuruh Sovi menungging di
depannya. Sovi menurut, berharap Bram melanjutkan ronde 3. Biarpun sudah
orgasme satu kali, Sovi masih ingin vaginanya dipenetrasi. Dia
merasakan tangan Bram di pinggangnya, sementara penis Bram yang mulai
tegang lagi menggosok-gosok bibir bawahnya.
“…masukin dong Mas…” bisik Sovi.
“Apa?” Bram pura-pura nggak mendengar.
“Masukin dong Maaas,” rengek Sovi.
“Masukin apa ke mana? Yang jelas dong?”
Sovi terdiam sebentar lalu berkata,
“Masukin kontolmu ke memekku Mas…” dengan malu-malu.
“Bagus… kamu udah bisa ngomong kayak mereka,” celetuk Bram, sambil menyodok memek istrinya.
Sovi tidak menjawab, dan cuma mendesah karena nikmat. Tapi Bram masih
terus berniat menggoda istrinya. Sambil merapat ke punggung Sovi, Bram
berbisik.
“Becek amat di dalam sana, licin. Hayo ngaku. Udah dipake berapa orang kamu hari ini, lonte?”
Sovi menggigit bibir, malu karena diledek Bram. Dia mendengking waktu
Bram menampar pantatnya. Tapi ternyata beberapa lama kemudian Bram
mencabut burungnya dari kemaluan Sovi. Sebelum Sovi sempat protes, Bram
menggenggam satu tangannya dan mendorong Sovi ke arah sofa sampai
kepalanya bersandar di sofa. Sovi bertanya-tanya apa mau Bram, tapi dia
langsung sadar ketika Bram menowel-nowel lubang anusnya…
“Mas? Mas Bram mau apa…?”
“Mau merawanin pantatmu…”
Sesudahnya, ada jeritan yang sampai terdengar oleh Vera di rumah
sebelah. Vera tersenyum puas mendengar suara berisik di rumah adik dan
adik iparnya. Sarannya kepada Sovi untuk coba berubah menjadi seperti
perempuan-perempuan yang fotonya ada di HP Bram sepertinya manjur.
Baguslah, pikirnya. Daripada Bram bawa pulang penyakit atau anak haram,
mendingan dengan Sovi. Orang yang tadi datang dengan Mercy hitam baru
saja pergi dari salon Vera, puas dengan pelayanan Vera dan memberi tips
cukup banyak. Vera kembali memulaskan lipstik di bibirnya; tadi
lipstiknya terhapus ketika dia memberi servis blowjob kepada si
pengendara Mercy.
Satu jam sudah berlalu sejak Bram pulang. Sekarang dia terlentang
telanjang, mandi keringat, di ruang tamu. Di dadanya bersandar Vera yang
awut-awutan, make-up tebalnya luntur setelah entah berapa ronde
berperan sebagai pelacur demi Bram. Dari lubang duburnya yang terasa
agak nyeri, mengalir sedikit benih Bram yang tadi dikeluarkan Bram di
sana. Dua-duanya terlalu capek untuk ngobrol ataupun merasa bersalah.
Yang jelas, Sovi merasa tambah yakin Bram tidak akan perlu lagi jajan di
luar. Dan sepertinya, Sovi sendiri juga menemukan sisi baru dalam
dirinya…
No comments:
Post a Comment