AGEN POKER
Cerita Dewasa / Cerita Sex / Cerita ABG / Cerita Dewasa Hot / Cerita Dewasa SMA / Kumpulan Cerita Dewasa
Suatu malam di rumah Sovi. Sovi duduk sendirian di sofa, merangkul kedua lututnya sendiri sambil
menundukkan kepala. Sudah hampir seminggu berlalu sejak insiden salah
tangkap terhadap dirinya dan Citra yang menyebabkan mereka berdua
terpaksa melayani sekelompok aparat. Tapi apa benar terpaksa? Itulah
yang membuat Sovi sudah tersiksa secara batin selama seminggu. Sovi tak
tega menceritakan kepada Bram apa yang terjadi di kantor aparat bersama
Gede dan anak buahnya. Bukan cuma karena Gede mengancam akan membeberkan
kejadian salah tangkap itu kalau Sovi cerita ke siapa-siapa. Tapi lebih
karena rasa bersalah Sovi sendiri.
Ia ingat bahwa malam itu, dia dengan sengaja dan sadar menyanggupi
permintaan Gede untuk melayaninya layaknya suami-istri. Memang, saat itu
dia tak pikir panjang karena ingin menyelamatkan Citra, tapi setelah
semuanya selesai, barulah Sovi menyadari bahwa yang diperbuatnya tetap
tak pantas. Dia adalah istri Bram… hanya Bram yang berhak menikmati
tubuhnya. Dia menyadari bahwa ada yang berubah dalam dirinya, dan
beberapa minggu lalu dia khilaf ketika dalam suatu hari dia bermain api
dengan si tukang sayur, Pak Giman, dan dua pengamen, Marvel dan Bolang.
Sovi sudah bertekad akan menjaga kehormatannya sebagai istri, namun
ternyata dia tak mampu menahan godaan yang muncul dari dalam dirinya
sendiri, mulai dari dorongan untuk menggoda para karyawan di kantor,
berpenampilan seksi ketika di mall, bahkan ketika seharusnya dia bisa
menjaga kehormatan waktu dipaksa Gede.
Ya, Sovi sedang merasa lemah dan bersalah kepada Bram. Sovi juga
takut rumah tangganya dengan Bram akan tergoncang kalau Bram tahu apa
yang terjadi. Seminggu itu Sovi tak banyak bicara, dan sering menangis.
Bram bingung dibuatnya. Awal-awalnya, Bram berkali-kali berusaha
menghibur Sovi dengan berbagai cara, dari membelikan baju baru sampai
mengajak makan di luar, tapi Sovi tetap murung. Sovi juga sudah seminggu
tidak menanggapi ajakan Bram untuk berhubungan seks. Ada sedikit trauma
yang hinggap dalam benak Sovi.
Sovi kali Bram mendekatinya dan
berusaha berintim-intim, misalnya dengan merangkul dan mencium, Sovi
selalu teringat kembali akan kasar dan brutalnya Gede serta anak
buahnya. Jadilah dia selalu menolak dengan halus. Bram bisa merasakan
istrinya sedang bermasalah, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa ketika
Sovi tidak merespon semua usahanya.
Telepon berdering. Sovi menjawab.
“Halo…”
“Halo sayang,” rupanya Bram. Terdengar berisik melatar belakangi suara Bram.
“Aku mesti pulang malam lagi hari ini,” kata Bram.
“Ya udah, aku tiduran di ruang tamu saja Mas, nunggu Mas Bram datang,” kata Sovi dengan nada datar.
Percakapan itu berakhir tanpa emosi. Bram mengucapkan rasa sayang
dan dijawab oleh Sovi, seolah berbasa-basi. Di ujung lain jalur
percakapan itu, Bram menutup sambungan telepon dan kembali ke apa yang
sedang dilakukannya. Lagi-lagi dia berada di satu klub malam, bersama
Mang Enjup, dua orang lagi anggota DPRD yang sedang mereka lobi untuk
meloloskan proyek, berikut beberapa wanita penghibur berpakaian seksi
yang merubung keempat laki-laki itu, berharap ikut kecipratan sedikit
dari deal proyek yang pastinya bernilai sangat besar.
“Aya naon, Bram?” tanya Mang Enjup sambil merangkul salah satu pramuria.
“Sovi, Mang…” keluh Bram.
“Kayaknya dia ada masalah, tapi nggak mau cerita, udah seminggu dia nggak mau ngomong banyak.”
Mang Enjup tertarik mendengar nama Sovi disebut. Sudah agak lama
sejak terakhir kali dia bertemu Sovi. Dan Mang Enjup belum lupa dengan
niat busuknya terhadap Sovi. Tentu saja, Mang Enjup tidak akan
menunjukkan itu semua di depan Bram. Laki-laki tua cabul itu sudah
sangat berpengalaman. Jadi dia hanya memberi saran.
“Bram,” kata Mang Enjup,
“Gimana kalo si Sovi disuruh ke psikolog aja? Siapa tau kalau ke
orang yang ahli, Sovi mau cerita. Sukur-sukur masalahnya bisa dibantu.”
Mang Enjup merogoh kantongnya, membuka dompet, mencari-cari sesuatu di
dalamnya, lalu akhirnya mengambil satu kartu nama putih dengan tulisan
warna merah dan biru.
“Ini ada kenalan Mamang. Psikolog ahli biarpun masih muda. Coba ajah kamu ajak Sovi ketemu dia,” kata Mang Enjup.
Bram melihat nama yang tertulis di kartu itu. Dr. Lorencia Partomo,
M.Psi. Spesialis Trauma Psikologis. Mungkin bisa dicoba, pikir Bram.
Dikantonginya kartu nama Dr. Lorencia.
*****
“Sayang… kamu mau dengar saranku nggak?” kata Bram pada pagi berikutnya, ketika sedang sarapan bersama Sovi.
“Saran apa, Mas?” ujar Sovi.
“Aku tahu ada yang ngganggu pikiran kamu… tapi kamu sepertinya nggak
bisa cerita ke aku, atau Citra, atau keluarga kita. Iya kan?” Bram
melanjutkan.
“Sebenarnya aku pengen banget bisa bantu kamu langsung, apalagi aku
kan suamimu, harusnya kita bisa beresin semua masalah kita sama-sama,
yang.”
Sovi meringis mendengar kata-kata ‘aku kan suamimu’, yang dirasa
menohok, karena sangat berkaitan dengan dilema hatinya. Dia diam saja.
“Kalau kamu nggak bisa bicara dengan aku… Bagaimana kalau dengan yang
profesional aja? Aku dikasih info tentang psikolog. Siapa tahu dia bisa
bantu kamu.” Bram menunjukkan kartu nama Dr. Lorencia.
Sovi memperhatikan kartu nama itu. Spesialis Trauma Psikologis. Dan
perempuan. Orang ini profesional, jadi pasti akan menjaga rahasia. Dan
dia juga tidak ada kepentingan, jadi semestinya Sovi tak usah takut
konsekuensi macam-macam, ketimbang kalau dia cerita ke suaminya sendiri.
Mungkin bisa dicoba. Bram tahu-tahu sudah berada di samping Sovi,
merangkul dan membelai rambut Sovi, lalu mengecup lembut pipi istrinya.
Sovi merinding, masih belum bisa menghilangkan trauma-nya.
“Kamu mau, kan?” bisik Bram mesra.
“Aku pengen lihat kamu senyum lagi seperti biasa, nggak murung terus
seperti ini. Kalau kamu mau, sekarang juga kita ke tempat dia. Dia
praktek pagi. Aku bisa antar kamu ketemu dia sambil berangkat ke
kantor.”
“Mas…” kata Sovi sambil menoleh. Jawaban Sovi disampaikan berupa anggukan kepala.
Pagi itu, ketika berangkat bersama Bram, Sovi belum bisa tersenyum
lepas. Tapi siapa tahu orang yang akan ditemuinya bisa membantu. Tempat
praktik Dr. Lorencia Partomo terletak di satu rumah mewah, agaknya rumah
pribadi sang psikolog spesialis. Bram dan Sovi masuk dan disambut
asisten Dr. Lorencia.
“Sudah ada janji?” tanya si asisten.
“Ya, kemarin malam saya sudah buat janji jam 9,” kata Bram.
“Atas nama Sovi.”
“Oke. Sebentar ya Pak,” kata si asisten, yang lantas menggunakan interkom.
“Bu Loren, yang perjanjian jam 9 sudah datang.”
“Suruh langsung masuk saja,” jawab suara di interkom. Bram menengok ke Sovi. “Kamu nggak apa-apa kan sendirian, yang?” tanyanya.
“Nggak apa-apa, Mas…” kata Sovi pelan. “Nanti kutelepon kalau sudah selesai.”
“Oke, aku berangkat dulu ya,” kata Bram yang kemudian mengecup kening istrinya. wajah Sovi tetap tanpa ekspresi.
Bram kemudian meninggalkan Sovi dan berangkat ke kantor. Si asisten
mengarahkan Sovi menuju ke satu pintu besar, dan membukakan pintu itu.
Sovi masuk sendirian ke ruangan di belakangnya. Ruang praktik Dr.
Lorencia terbilang besar dan mewah, dengan meja jati ukir yang terlihat
mahal di tengah-tengah, beberapa kursi antik, dan satu sofa besar.
Dindingnya tertutup wallpaper berwarna kuning muda, dihias beberapa
lukisan, antara lain satu lukisan pemandangan dan satu lukisan perempuan
Bali yang bertelanjang dada. Terlihat juga beberapa pot tanaman dan rak
buku. Lantai marmernya sebagian tertutup permadani empuk.
Sovi mencium semacam wewangian di dalam ruangan itu, baunya tidak
biasa, tapi menenangkan. Di samping ruangan itu ada satu pintu tertutup.
Di balik meja jati, di kursi putar yang besar dan nyaman, duduklah Dr.
Lorencia Partomo. Dr. Lorencia memandangi perempuan yang baru masuk ke
kantornya. Sovi yang bertubuh sintal, tidak terlalu pendek maupun
tinggi, berumur dua puluhan pertengahan, dengan rambut panjang yang
digerai dan wajah cantik dipoles make-up tipis (sejak shock, Sovi tidak
lagi berdandan tebal seperti sebelumnya). Wajah Sovi terlihat tak
santai, bibirnya tak sekalipun tersenyum.
Sovi memandang Dr. Lorencia dan tidak bisa tidak mengagumi sang
spesialis. Dr. Lorencia adalah perempuan yang sangat cantik, mengenakan
kacamata berbingkai warna emas, kira-kira beberapa tahun lebih tua
daripada Sovi, mungkin seumuran Citra. Rambut tebal Dr. Lorencia yang
diwarnai pirang gelap seperti madu dikepang dan dijadikan sanggul besar
di belakang kepala.
Wajahnya berkesan tegas dan kuat, gairahsex.com
sedangkan tubuhnya yang agak montok namun tetap seksi itu terbungkus
blazer, kemeja, dan celana panjang putih yang membuatnya kelihatan
profesional. Tapi Sovi bisa melihat kemeja yang dikenakan Dr. Lorencia
terbuka sedikit di bagian dada, dan dalaman hitam berenda yang dipakai
di bawah kemeja itu terlihat menyelip, memberikan kesan seksi yang
misterius. Sovi bergerak ke arah kursi di depan meja Dr. Lorencia. Dr.
Lorencia berdiri dan menjabat tangan Sovi sambil memperkenalkan diri.
“Ibu Sovi, kan? Atau boleh kupanggil Sovi saja? Panggil saja aku Loren,” katanya.
“Nggak apa-apa nih?” tanya Sovi malu-malu.
“Apa nggak sebaiknya Bu Loren atau Mbak Loren…”
“Jangan, jangan. Loren aja. Biar kita bisa lebih akrab,” kata Dr. Lorencia dengan ramah.
Sovi merasakan tatapan mata Loren yang amat tajam dan kata-katanya
yang berirama. Sekilas Sovi terpikir tentang seseorang, tapi dia tidak
bisa mengingat siapa yang tingkah lakunya mirip dengan Loren.
“Silakan duduk,” kata Loren.
“Jadi…”
Sovi diam saja, tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana.
“Masih bingung kenapa ketemu saya?” ujar Loren.
“Nggak apa-apa. Suamimu sudah cerita sedikit tentang keadaan kamu.
Dia rasa kamu ada masalah yang nggak bisa kamu ceritakan ke dia, betul
kan?”
“Nggg…” Sovi ragu-ragu untuk menjawab. Dia belum tahu apa yang diceritakan Bram ke si psikolog.
“Nggak usah ragu-ragu. Aku juga sebenarnya belum tahu kok apa
masalahnya. Tapi kalau Sovi mau cerita, mungkin bisa kubantu bereskan
masalah itu. Dan apapun yang diceritakan di ruang ini, nggak akan
keluar. Kode etik. Rahasia pasien harus dijaga,” Loren menjelaskan.
“Gimana?”
Sovi terus menatap wajah Loren yang cantik dan terlihat menenangkan
itu. Pelan-pelan, Sovi mulai merasa bisa percaya dengan si psikolog.
Loren berdiri dari kursinya dan berjalan ke samping Sovi. Si psikolog
lalu menepuk bahu Sovi.
“Sovi, kita pindah tempat ya? Coba kamu tiduran di sofa itu. Kalau
kamu santai, kamu bisa cerita dengan lebih enak,” bisik Loren.
Ketika bahunya ditepuk, Sovi merasa pikirannya kosong. Mirip ketika waktu itu…
“Ya…” Sovi mengiyakan saran Loren, lalu berdiri dan menuju sofa besar
di sebelah meja Loren. Loren berjalan di sampingnya. Di sebelah sofa
itu ada kursi. Loren duduk di kursi itu sementara Sovi berbaring di
sofa.
“Oke…” kata Loren.
“Sekarang kamu kosongkan pikiran. Posisimu sudah enak belum? Kalau
belum, cari posisi yang enak. Anggap aja sedang tiduran di ranjang
sendiri. Santai saja. Santai… Jangan mikir apa-apa dulu. Apapun masalah
Sovi, lupakan saja dulu. Nikmati aja dulu posisi seperti ini, tenang,
hening, damai…”
Sovi mulai nyaman mendengarkan sugesti dari Loren. Dia bisa
melemaskan otot-otot bahu dan punggungnya, mengendorkan ketegangan
pikirannya, hanya dengan berbaring di sofa besar itu dan mendengarkan
kata-kata Loren. Si psikolog duduk di sampingnya, dengan posisi
menghadap dirinya. Tangan Loren menggenggam dan menggoyang-goyang tangan
Sovi. Suasana damai, sofa empuk, gerakan teratur yang dipandu Loren,
suara Loren yang lembut, serta wangi ruangan yang tak biasa tapi
menyenangkan itu semuanya membuat Sovi merasa aman. Dan mengantuk.
“Bagaimana, Sovi? Sudah merasa santai? Nyaman? Rileks? Sekarang…” Mendadak Loren menarik tangan Sovi dengan gerakan menyentak.
“Tidur!”
Sontak mata Sovi terpejam dan kepalanya terkulai. Sovi tertidur atas
perintah Loren, tapi sebenarnya itu bukan tidur. Loren terus menggenggam
dan menggoyang-goyang tangan Sovi.
“Sovi, Sovi… bisa dengar kata-kataku? Kalau bisa dengar, tolong buka mata.” Mata Sovi terbuka kembali. Tatapannya kosong.
“Bagus. Sekarang dengar semua kata-kataku. Kalau ngerti, tolong kedipkan mata.”
Sovi berkedip. Loren tersenyum. Sovi sudah berada dalam keadaan hipnotik.
“Sovi. Mulai sekarang, kalau kamu bicara denganku, kamu tidak akan
ragu-ragu bercerita. Kamu ngerti? Kalau ngerti tolong bilang ‘Ya’,” kata
Loren.
“Ya,” jawab Sovi.
“Bagus. Kamu akan jawab semua yang kutanya tanpa kecuali, biarpun
kamu selama ini malu untuk menceritakannya. Ngerti? Kalau ngerti bilang
ya,” Loren meneruskan sugesti.
Tanpa dapat melawan, kembali Sovi menjawab
“ya”.
“Bagus, Sovi. Satu lagi. Semua saran yang akan kamu dengar dariku,
akan selalu kamu ingat, bahkan kalau kamu belum setuju. Ngerti? Kalau
ngerti bilang ya.”
Lagi-lagi,
“Ya.”
“Terima kasih Sovi. Sesi terapi kita sekarang bisa dimulai dengan
lancar. Sesudah ini kamu akan tidur sebentar, dan lupa kamu pernah
mendengar kata-kata tadi dariku, tapi kamu tidak akan lupa apa-apa yang
tadi sudah disampaikan. Begitu aku tepuk tangan sekali, kamu akan tidur
lagi, lalu sesudah aku tepuk tangan dua kali, kamu akan bangun lagi
seperti biasa.”
Loren bertepuk tangan satu kali. Sovi terpejam dan kepalanya
terkulai. Lalu Loren bertepuk tangan dua kali dan Sovi terbangun. Ketika
terbangun Sovi bingung.
“Em… tadi aku… ketiduran?” kata Sovi.
“Itu tidak penting, anggap biasa saja,” kata Loren, dan berkat pengaruh sugesti barusan, kebingungan Sovi langsung hilang.
“Nah… Sovi, silakan ceritakan masalahmu.”
Sovi sudah merasa nyaman berbaring di kantor Dr. Lorencia. Dia merasa
sangat percaya kepada si psikolog yang cantik itu. Dia tak lagi ragu
untuk berbicara. Entah kenapa. Mulailah Sovi bercerita.
“Aku bingung, Ren… Aku ngerasa sedang berubah,” kata Sovi lirih.
“Berubah? Jadi apa?” balas Loren.
“Jadi…” Sovi masih sulit mengatakannya.
“Jadi…”
“Jangan ragu, Sovi… Kamu bisa cerita apa saja ke aku… Nggak apa-apa,” kata Loren dengan nada suara sugestif.
“Jadi…”
“Bilang aja, Sovi, jangan takut…” kata Loren sambil mengusap rambut Sovi seolah ibu yang menenangkan anaknya.
“Jadi perempuan nggak bener…” nada bicara Sovi berubah berat seolah
dia tak rela menyebut dirinya sendiri dengan istilah demikian.
“Jadi seperti… pelacur.”
“Oohh,” Loren menanggapi. Suaranya bernada tertarik.
“Kenapa seperti itu, ya? Coba ceritakan, Sovi.”
“Ungh…” Sovi ragu-ragu. Loren kembali membelai rambut Sovi dan berkata perlahan,
“Jangan ragu-ragu, Sovi, kamu bisa percaya aku. Ceritakan…”
Sentuhan dan ucapan Loren membuat Sovi makin nyaman. Sovi akhirnya mulai bercerita.
“Awalnya waktu aku nemu foto-foto… perempuan lain di HP Mas Bram. Pelacur. Suamiku itu ternyata punya hobi jajan di luar. Tapi…”
“Stop,” Loren menghentikan cerita Sovi.
“Seperti apa foto-fotonya? Jelaskan.”
“Emm… mungkin ada 2 atau 3 cewek yang berbeda. Di foto-foto itu mereka berpose… seksi.”
“Seperti apa?”
“Ada yang seperti mau nyium kamera… ada yang pamer buah dadanya… ada yang tiduran sambil pake lingerie…”
“Ceritakan penampilan mereka,” Loren melanjutkan.
“Ya seperti biasanya perempuan nggak bener… Baju seksi, tank top, rok
mini, malah ada yang difoto cuma pakai bra dan celana dalam… Ada yang
rambutnya dicat pirang… Semuanya pake make-up tebal, bedak tebal,
lipstik merah, blush on…”
“Oke. Sekarang teruskan cerita kamu. Sesudah kamu lihat foto-foto itu, gimana?”
“Aku ngadu ke Kak Citra,” kemudian Sovi menceritakan siapa itu Citra.
“Kata Kak Citra, Bram emang suka jajan dari dulu. Terus… Kak Citra
ngasih saran… katanya aku suruh tiru saja penampilan mereka supaya Bram
nggak usah lagi nyari ke luar.”
AGEN POKER TERPERCAYA
Sementara Sovi bercerita, Loren terus memandanginya sambil membelai
rambutnya dan sesekali mengeluarkan komentar pendek seperti “Hmm” atau
“Terus?”
“Jadi aku coba sarannya Kak Citra. Dia dandani aku supaya jadi… seperti mereka. Terus kutemui Mas Bram…” Sovi berhenti.
“Terus?” Loren mendorong Sovi untuk melanjutkan.
“Ayo dong cerita.”
Sepintas Sovi tersenyum kecil, mukanya memerah. Tapi kemudian mukanya kembali ke ekspresi kosong semula.
“Yang jelas malam itu sih kami… bercinta… nggak seperti biasanya,
emmm rasanya lebih… hebat aja dari sebelumnya,” bisik Sovi lirih.
“Tapi Mas Bram juga waktu itu seperti berubah… kelihatan sekali dia lebih nafsu.”
“Oke…” kata Loren,
“Jadi awalnya begitu. Terus?”
“Mas Bram minta aku terus seperti itu… jadi kucoba saja terus.
Awalnya risi dan nggak biasa, mesti dandan terus dan bergenit-genit,
gairahsex.com dari dulu aku nggak pernah begitu. Tapi…” Sovi mencoba
mengingat sesuatu, tapi yang ingin diingatnya tak kunjung muncul.
“Ada satu malam, waktu itu aku dandan seksi untuk Mas Bram, dan dia
pulang diantar teman-teman kantornya karena mabuk… nggak ingat apa yang
terjadi sesudah itu, tapi rasanya dia semangat sekali bercinta malam itu
biarpun mabuk. Nah…”
“Ayo teruskan.”
“Rasanya sesudah malam itu aku berubah… aku jadi lebih terbiasa tampil seksi, nggak lagi malu-malu… Tapi…”
“Ada apa?”
“Kadang aku seperti lepas kendali,” suara Sovi kembali melemah setelah sebelumnya naik karena bersemangat.
“Aku… aku nggak tahu harus cerita atau nggak… aku…”
“Ayo cerita, Sovi… Kalau kamu nggak cerita, masalahmu nggak akan selesai…” bujuk Loren.
“Pernah dalam satu hari aku nggoda beberapa orang sekaligus… dan
mereka orang asing… bukan Mas Bram. Tukang sayur langganan. Pengamen
yang datang ke rumah.”
“Waah…” Loren berkomentar.
“Apa yang kamu lakukan ke mereka?”
“Umh…” Sovi ragu, mukanya memerah.
“Aku… kalau ke Pak Giman itu nggak sengaja… waktu itu aku beli terong dari dia, terus…”
“Terus?”
“Umm… aku main-main dengan terong itu… Nggak tahunya Pak Giman masuk rumah mergoki aku… tapi aku malah jadi… jadi…”
“Kamu apain dia, Sovi?”
“…Oral dia…”
“Hmm…” Loren berkomentar tanpa kaget, tapi tetap terdengar tertarik.
“Terus dengan pengamen tadi? Gimana tuh?”
“Pengamennya berdua, masih ABG… salah satunya aku kenal. Jadi kuajak
masuk dan kukasih makan… tapi satunya usil, dia nyolek bokongku…”
“Terus? Kamu marah nggak?”
“Ungh… anehnya… enggak. Akhirnya malah kuladenin mereka berdua… yang
satu kuisep… yang satu lagi kubiarkan gesek-gesek kemaluannya ke
pantatku sampai dia keluar…”
“Oke… Tapi kamu nggak sampai berhubungan seks dengan mereka kan?”Gairah sex
“Iya… syukurnya…” kata Sovi.
“Kenapa syukurnya?” tanya Loren.
“Soalnya waktu itu aku seperti ingat… aku istrinya Mas Bram. Aku cuma boleh setubuh sama Mas Bram…”
“Oh gitu. Ceritamu masih lanjut kan Sovi?”
“…masih.”
“Tolong lanjutkan.”
“Sesudahnya… suatu hari aku ke kantor bareng Mas Bram. Aku sengaja
dandan dan pakai baju biasa. Tapi… aku tetap dilihat orang. Semua orang
nengok kalau aku lewat.”
“Gimana perasaan kamu, Sovi, waktu diperhatikan orang kantor?”
“…kok… aku seperti senang, ya?”
“Wajar. Sovi,” kata Loren.
“Kamu cantik.”
“Aku… cantik?” Pujian Loren membuat Sovi tersipu. Memang seperti
biasanya perempuan, Sovi senang dipuji, apalagi mengenai kecantikannya.
“Iya…” Loren kembali membelai rambut Sovi, dan kini malah terus membelai pipi Sovi.
“Kamu cantik… makanya semua orang suka melihat kamu. Semua orang itu. Orang kantor. Pengamen. Tukang sayur. …Aku juga, Sovi…”
Sovi berdebar-debar ketika Loren berkata seperti itu.
“Aku pengen cium kamu, Sovi,” pinta Loren. Tanpa menunggu jawaban,
Loren langsung mencium pipi Sovi, tepat di ujung bibir Sovi. Sovi merasa
geli seperti kesemutan, dan perasaan itu makin menjadi ketika Loren
melanjutkan melumat bibir Sovi, memainkan lidahnya dalam mulut Sovi.
Untuk pertama kalinya Sovi merasakan ciuman mesra dengan sesama
perempuan, mulut bertemu mulut. Loren melepas bibir Sovi, kemudian
kembali bicara.
“Kamu senang kan dikagumi orang, Sovi?” kata Loren.
“…Iya…” jawab Sovi. Loren tersenyum, sugestinya masuk sendiri tanpa
dilawan. Dilihatnya mata Sovi setengah terpejam, membayangkan nikmatnya
ciuman barusan.
“Terusin ceritamu,” kata Loren.
“Sesudah dari kantor aku ketemu Kak Citra di mall… Kak Citra cantik
banget… dia juga dilihatin semua orang… Malah lebih hebat lagi, orang
sampai meleng karena gak bisa lepas matanya dari Kak Citra. Aku… iri.”
“Hmm… Iri? Iri karena Kak Citra lebih cantik?”
“Iri karena Kak Citra lebih menarik perhatian… tapi sesudah itu aku di-makeover, terus ganti baju juga…”
“Terus gimana? Kamu masih iri?”
“Terus… kami… Kami…” Sovi seperti susah menceritakan lanjutannya.
Jelas itu karena yang terjadi adalah dia dan Citra diciduk aparat, lalu
digilir. Bukan sesuatu yang bisa diceritakan dengan mudah, bahkan di
bawah pengaruh hipnotis Loren. Jadi Loren menaikkan tingkat pengaruhnya.
“Susah ya ceritanya?” kata Loren sambil tangannya mulai hinggap di
tubuh Sovi. Loren mulai menyentuh dan meremas-remas payudara Sovi. Sovi
pagi itu mengenakan kemeja merah jambu dan rok hitam selutut. Sementara
tangan kanan Loren mencopot satu dua kancing kemeja Sovi, tangan kiri
Loren menyelinap ke dalam rok Sovi. Loren kemudian menyelipkan tangan
kanannya ke dalam baju Sovi, dan langsung menyentuh kulit payudara Sovi.
Dia mencari-cari dan menemukan pentil Sovi yang sudah terasa keras.
Sementara tangan kiri Loren mulai meraba-raba daerah kemaluan Sovi.
Loren menemukan sesuatu di sana.
“Hmmm… Sovi, kamu ngerasa basah nggak?” bisik Loren.
“Iya…” kata Sovi jujur.
“Basah mananya, Sovi?” Loren mendorong lagi.
“Basah di…” Sovi berhenti, lalu berbisik,
“…aku malu nyebut nya…”
“Memek kamu basah, Sovi,” kata Loren tegas sambil mencubit klitoris Sovi, membuat Sovi memekik lirih,
“Aauhh!!”
“Enak kan, Sovi?” tanya Loren.
“Enak Ren…” jawab Sovi.
“Tahu nggak kenapa itu enak?”
“…”
“Soalnya kamu terangsang sewaktu kamu cerita pengalaman seks kamu,
Sovi… Mulai sekarang, kamu bakal terangsang kalau kamu cerita… Ngerti,
Sovi?”
“Iya… ahhh…”
“Bagus. Kamu mau cerita semuanya kan, Sovi?”
“Iya…”
“Semuanya akan kamu ceritakan, Sovi. Dan kamu mau cerita apa saja, karena itu enak, kan?”
“Ya…”
“Oke… Sovi… Ayo cerita apa yang terjadi sesudahnya.” Tangan Loren
tetap di kemaluan Sovi, membuat celana dalam Sovi makin basah dengan
cairan kewanitaan Sovi.
“Ah… Kami pulang… tapi terus ditangkap aparat…”
“Ditangkap? Hmm. Cerita terus deh…. Eh tapi tolong ganti posisi. Duduk tegak ya. Nyender aja,”
Loren membantu Sovi bangun, sehingga Sovi duduk bersender di sofa,
dengan kedua kaki kembali menjejak lantai. Loren duduk di depan Sovi,
dan memegang kedua lutut Sovi. Pelan-pelan Loren menggerakkan kedua
lutut Sovi saling menjauh, membuat pasiennya mengangkang. Sovi sudah
pasrah menjadi boneka Loren yang bisa diposisikan semaunya. Si psikolog
cantik kemudian turun dari kursinya, lalu berlutut di depan selangkangan
Sovi. Dia menyibak rok Sovi dan kemudian mengesampingkan celana dalam
Sovi yang sudah basah.
“Cerita terus, Sovi… Aku dengar dari bawah sini,” kata Loren sambil
mulai menggarap vagina Sovi, dengan satu jilatan dari bawah ke atas
sepanjang rekahan itu. Semestinya Sovi bingung, karena jelas praktik
psikolog normal bukan dengan menggerayangi dan bahkan melakukan seks
oral dengan pasien… tapi Sovi sudah keburu menganggap wajar semua yang
Loren lakukan, karena sugesti tadi.
“Aku… umh ditangkap karena disangka… pelacur… Aku dan Kak Citra dibawa ke kantor… terus… uhh…”
“Emm… *lep lep* Terus apa, Sovi?” kata Loren sambil terus menjilati
gurihnya kemaluan Sovi. Loren mulai menjamah klitoris Sovi pula…
menyedot dan mencium.
“Aahh… Terus Kak Citra masuk ketemu komandan mereka… aku ditinggal
lama… waktu kutengok… ternyata Kak Citra lagi digarap sama mereka…”
“Gimana perasaanmu waktu melihat Kak Citra digarap, Sovi?” Loren
mengatakan itu semua dengan sangat tenang, nyaris tanpa perasaan.
“Aku kasihan… Kak Citra kesakitan… Dia… dia lagi disetubuhi merekaa… di… pantatnya… Pantatnya di…”
“Dientot sama mereka?” Loren membantu.
“Iya… pantat Kak Citra dientot sama mereka… Aku minta mereka stop…
Kasihan Kak Citra… ahh…hhh” Sovi jelas keenakan dioral oleh Loren yang
rupanya ahli memberikan kenikmatan kepada sesama perempuan.
“ENGG!!” Tahu-tahu saja Sovi orgasme ketika vaginanya disodok lidah Loren, membanjiri mulut Loren dengan cairan cinta.
“So..vi,” panggil Loren dengan nada naik-turun,
“kok kamu orgasme sih? Kan kamu lagi kasihan sama Kak Citra? Hmm…”
“Awh… ah…” Sovi tak bisa menjawab, masih kaget karena mendadak orgasme.
“Oo kamu sebenarnya suka ya ngelihatnya… sampai kamu terangsang sendiri… terus gimana ceritanya?”
“Suka? Hh… ehh…” selagi dia mulai pulih, baru Sovi bicara lagi,
“Aku… tawarin buat gantiin Kak Citra… daripada Kak Citra kecapekan… biar aku yang dientot sama mereka…”
“Waktu itu kamu sampai basah seperti sekarang, kan…” sugesti Loren.
“Iya…?” Sovi merasa aneh karena ceritanya diubah Loren. Tapi dia tak
kuasa menolak Loren. Ditambah lagi akal sehatnya sedang kewalahan
sehabis dilanda orgasme mendadak.
“Iya Sovi… kamu basah karena terangsang melihat kakakmu digilir sama
aparat… Lalu kamu minta gantiin? Biar kamu ganti dientot sama mereka?”
“Ehm… iya?”
Loren bangkit lalu tiba-tiba menjambak sebagian rambut Sovi. Namun
gerakannya tetap luwes, tidak sampai membuat Sovi sakit. Dan anehnya
Sovi tak melawan, dia seolah sudah jadi boneka yang bisa digerakkan
Loren seenaknya. Loren mendorong kepala Sovi ke samping sampai Sovi
terempas di dudukan sofa.
“Kamu nakal, Sovi…” kata Loren, pelan tapi tegas.
“Nakal… Kamu suka ya, keseksian badanmu dikagumi laki-laki? Kamu suka
ya, kalau laki-laki terangsang gara-gara kamu goda? Kamu pengen ngentot
sama siapa aja? Sama banyak orang sekaligus?” Sambil mengatakan semua
itu, Loren kembali memainkan tangannya di klitoris dan vagina Sovi,
merangsang alat kelamin yang baru saja orgasme.
“Iya kan, Sovi? Ayo jawab!”
“Ah, uhh, ah… iyaahhh…” Sovi mengiyakan, tanpa sadar apa yang dikatakannya.
“Terus gimana ceritanya, Sovi…” Loren mengurangi intensitas godaannya, memberi kesempatan bagi Sovi untuk bercerita.
“Aku… awalnya aku nggak mau… tapi terus aku kasih mereka… Mereka kusepong…”
“Apanya?” tanya Loren sambil langsung memberi jawaban,
“Kontolnya?”
“Kontol… nya…” lanjut Sovi,
“terus aku buka baju… komandannya… ngentotin aku… badannya besar…
kontolnya juga… sampai sesak ditindih dia… ah… Ren… tambah basah nih…”
Loren terus membuat Sovi terangsang, membangun asosiasi antara
kenikmatan dengan cerita mengenai pengalaman seksual. Si psikolog terus
mendengarkan cerita Sovi.
“Tapi nya enakh… ah… enak banget digenjot dia… aku sampai keluar…
enak… terusnya yang lain ikutan juga… aku dientot juga… sekali dua… ahh…
di pantat juga…” (sambil Loren mulai main di lubang anus Sovi)
“mereka muncrat di dalam… di luar… enak… ah!!!” Orgasme lagi-lagi melanda Sovi.
“Hmm… terus?”
“Ahah… hh… ah… habis itu… selesai… aku diantar pulang sama mereka…”
“Ooh gitu… Terus gimana?”
“Mas Bram pulang… aku… aku… ehhh!?” Sovi tiba-tiba seperti bingung.
“Aku… aku bingung… aku dientot orang lain… aku… ga berani cerita sama Mas Bram…uuhhh…. Hhuuu…”
Tiba-tiba Sovi menangis. Loren menyimpulkan, di situlah trauma Sovi.
Dia dengan tegas berbicara ke Sovi, dan berhenti menggerayangi Sovi.
“Hmm… jadi itu masalahnya? Kamu nggak bisa cerita sama suami bahwa kamu disetubuhi orang lain?”
“Iya…*hiks*” jawab Sovi sambil terisak.
“Kenapa?”
“Aku… istri Mas Bram… seharusnya nggak boleh tidur dengan orang lain… tapi…” kata Sovi di sela-sela nafasnya yang sesenggukan.
“Tenang, Sovi. Berhenti menangis,” Loren kembali membelai Sovi dan Sovi pun terdiam.
“Kamu merasa bersalah, Sovi?” Gairah sex
“Iya…”
“Tapi kamu merasa apa waktu disetubuhi mereka, Sovi?”
“Ahh,” ketika Sovi mau menjawab, Loren menundukkan kepala dan
mengecup lehernya. Loren juga membuka kancing kemeja Sovi semua dan
melepas kemeja Sovi. “Enak kah?” tanya Loren.
“Iya…”
“Ya, Sovi. Kamu ngerasa enak kok disetubuhi mereka. Sama aja kan dengan suami sendiri,” ujar Loren.
“Sama…? AHH!!” Jawaban Sovi diganggu pagutan Loren ke bagian atas
payudaranya. Selanjutnya Loren membuka BH Sovi sehingga kini tubuh Sovi
dari pinggang ke atas sudah tak berbusana. Loren berhenti bicara dan
memberi kenikmatan ke Sovi dengan mulutnya di sepasang payudara Sovi.
Sovi menggigit bibir, keenakan, kemaluannya kembali membanjir.
“Enak kan… Sovi?” Loren membuka blazer dan kemeja putihnya, memperlihatkan bra seksi hitam berenda di bawah itu.
Si psikolog juga membuka celana panjangnya, memperlihatkan sepasang
kaki yang jenjang dan indah, serta G-string hitam. Kemudian Loren
melucuti sisa pakaian Sovi, rok dan celana dalam. Sovi terbaring
telanjang di sofa Loren, dan Loren kembali mencium bibir Sovi. Lama,
dalam, dan penuh nafsu. Sovi terengah keenakan ketika Loren akhirnya
melepaskan mulutnya, seutas liur menyambungkan mulut kedua perempuan
jelita itu.
“Tunggu sebentar ya cantik…” ujar Loren mesra, lalu si psikolog
beranjak ke mejanya, mengeluarkan sesuatu dari laci, dan kembali lagi.
Loren memamerkan benda yang baru diambilnya kepada Sovi. Sovi
membelalak melihatnya.Sesuatu yang mirip celana dalam kulit, namun di
bagian depannya terdapat dildo, mainan tiruan penis. Berujung dua, yang
kalau dipakai satu akan menghadap ke luar dan satu lagi ke dalam.
Loren melepas celana dalamnya sendiri, lalu mengenakan celana dalam
dildo itu. Sovi melihat ekspresi lapar di wajah Loren ketika Loren
memasukkan satu ujungnya ke dalam kemaluannya sendiri. Sungguh
pemandangan yang ganjil, seorang perempuan cantik seperti Loren di
hadapannya dengan hanya mengenakan bra dan celana dalam, tapi dengan
batangan yang mencuat gagah di depan selangkangannya. Sovi menahan
nafas, melihat betapa penis palsu Loren begitu panjang dan besar dan
keras, tak kalah dengan semua yang pernah dirasakannya. Kedua perempuan
itu pun kembali saling cium, Loren mengajak, Sovi menerima. Sovi mulai
terbiasa mendapat sentuhan intim dari sesama perempuan, dalam pikirannya
dia merasakan kenikmatan yang sama seperti dari Bram… atau dari semua
pengalamannya dengan laki-laki.
“Sovi… Jangan anggap aku perempuan. Anggap saja aku laki-laki yang
punya penis, yang mau bercinta denganmu, ngerti? Tapi aku bukan
suamimu,” kembali sugesti datang dari Loren. Loren tersenyum nakal
selagi dia mengacak-acak pikiran pasiennya yang cantik itu. Harus
diakui, dia mulai tertarik dengan Sovi. Dan andai saja dia bisa berbuat
semaunya, dia sendiri ingin mencoba merebut Sovi dari siapapun yang
memilikinya. Tapi…Loren kembali menggunakan mulutnya pada vagina Sovi,
mencium dan menjilat dan memastikan kewanitaan Sovi cukup basah. Sovi
merintih keenakan, apalagi ketika Loren mengganti mulut dan lidahnya
dengan satu jari, lalu dua jari. Kemudian Loren mengangkangi perut Sovi,
sengaja memamerkan penis palsu di selangkangannya, dengan panjang 20cm
dan garis tengah hampir 3 cm… mungkin sebesar penis orang bule atau
Afrika. Yang tercolok ke dalam vagina Loren sendiri tak sepanjang itu.
Sovi gemetar membayangkan batang itu memasuki tubuhnya… dan itu akan
terjadi sebentar lagi…Setelah memberi pelumas pada penis palsu itu Loren
menempatkan ujungnya di bukaan kemaluan Sovi, lalu pelan-pelan mendesak
masuk. “UNNGGHH!” jerit Sovi tertahan. Loren juga merintih selagi
desakan dari depan membuat bagian yang tertancap dalam kemaluannya
sendiri bergeser. Pelan-pelan, senti demi senti, batang itu melesak ke
dalam vagina Sovi. Sovi melotot, matanya menganga, dilanda rasa sakit
bercampur nikmat akibat penyusupan benda berukuran tak senonoh di
kemaluannya. Sampai menitik air mata Sovi dibuatnya. Loren tak sampai
memasukkan seluruh batang itu dan mulai bergerak maju mundur, awalnya
pelan, makin lama makin cepat. Loren menatap mata Sovi; Sovi seolah akan
gila terlanda nafsu. “Enak kan, Sovi?” kata Loren sambil menggenjot
pasiennya.
“AAHHH!! AHKHH!! AIAAHH!!” Sovi tak menjawab, hanya bisa
menjerit-jerit keenakan. Tubuh Sovi menggeliat-geliat hebat, tapi tak
mampu ke mana-mana karena tubuh Loren tepat di atasnya; Loren membungkam
mulut Sovi dengan ciuman selagi Sovi mengalami orgasme ketiga.
“OOHHhHhMMmMMm!M!!!”
Tapi Loren tak berhenti, dia terus menghajar vagina Sovi tanpa ampun
sampai-sampai Sovi orgasme untuk kedua kalinya, susul-menyusul dengan
orgasme sebelumnya.
Sovi nyaris pingsan andai saja Loren masih mau terus melanjutkan,
tapi si psikolog merasa sudah cukup dan dia menarik keluar penis
palsu-nya dari dalam tubuh Sovi. Sovi terkapar kelelahan, keenakan
setelah dua orgasme berturut-turut, pikirannya melayang ke mana-mana,
rentan…
“Tadi enak kan, Sovi…? Orgasme itu enak ya, Sovi,” kata Loren sambil membetulkan posisi kacamatanya.
“Kamu suka?”
“Ah… iya… hhh…” kata Sovi lemah.
“Kamu tadi dibikin orgasme, bukan oleh suamimu. Bagaimana rasanya, Sovi?”
“Emm… enak…”
“Sama aja kan? Sama-sama enak?”
“Iya…”
“Bagus… Sebenarnya nggak ada bedanya kamu orgasme karena suami
ataupun orang lain… enak kan? Nggak ada salahnya… nggak ada bedanya,”
Loren terus memberi sugesti.
“Nggak ada bedanya…” Sovi mengikuti, tanpa sadar.
“Yang penting hanya orgasme… hanya kenikmatan… Pahami itu, Sovi.”
“Ya…”
“Nikmati saja semuanya… Nggak usah pikirkan suami kamu… Pikirkan saja kenikmatannya… Kenikmatan itu tidak salah…”
“Ya…”
“Bagus,” kata Loren sambil mencium kening Sovi.
“Sekarang… pakai lagi bajumu,” perintah Loren. Loren sendiri juga
melepas celana dalam dildo-nya dan kembali mengenakan bajunya. Setelah
dia selesai berpakaian, dilihatnya Sovi duduk manis di sofa, sudah
kembali ke penampilan semula.
“Baik, Sovi… sesudah ini kamu akan tidur sejenak, dan kalau bangun
lagi kamu tidak akan ingat apa yang barusan kita lakukan, tapi kamu akan
ingat semua saranku dan semua kenikmatannya. Kamu tidak akan lagi
ragu-ragu, tidak akan trauma lagi. Ngerti?”
“Ya…”
“Bagus. Tidur, Sovi… Tidur…” Kepala Sovi tertunduk, tidur,
“Kuhitung mundur dari sepuluh sampai satu, kalau sudah satu kamu akan bangun.”
“Sepuluh. Sembilan. Delapan. Tujuh. Enam… Lima… Empat… Tiga… Dua…”
“Satu.”
Sovi membuka mata. Dia tersenyum, merasa nyaman dengan dirinya
sendiri. Dilihatnya Dr. Lorencia duduk di depannya, menggenggam
tangannya.
“Gimana, sudah enakan?” tanya sang psikolog dengan ramah.
“Emm… iya… Ren…” Sovi memang merasa beban pikirannya sudah lenyap.
Dan entah kenapa, dia merasa sangat ingin bertemu suaminya, karena
kangen.
“Aku nggak tau, tapi kok rasanya aku sudah tentram ya…”
“Baguslah. Masalahmu sudah selesai. Kamu sudah bisa pulang… Nanti kalau masih ada masalah, jangan segan-segan mampir lagi… oke?”
Sovi mengangguk, dan dia berterimakasih kepada Dr. Lorencia.
Sebenarnya dia agak penasaran apa saja yang sudah dilakukan sang
psikolog, tapi entah kenapa dia tak merasa perlu bertanya. Dia sudah
merasa nyaman dan memang itulah yang dicarinya. Dia kemudian membereskan
urusan yang masih tersisa kemudian meninggalkan rumah Dr. Lorencia.
No comments:
Post a Comment